Parah Bat! 7 Kasus Gagal Bayar Ini Bikin Boncos Rp 49 T

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
16 November 2020 15:17
Nasabah Indosurya saat sidang Verifikasi Bilyet di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat  (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Nasabah Indosurya saat sidang Verifikasi Bilyet di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Gagal bayar lagi. Sektor finansial dan investasi Tanah Air lagi-lagi mendapat sentimen negatif dengan tambahan kasus gagal bayar yang dilakukan perusahaan keuangan.

Setelah sebelumnya ramai perusahaan asuransi, kini giliran perusahaan investasi yakni PT Indosterling Optima Investa (IOI), salah satu entitas di bawah Grup Indosterling yang dibangun oleh Sean William Hanley.

Ini adalah kasus gagal bayar dari salah satu produk investasi yang dikelola IOI, yakni Indosterling High Yield Promissory Notes (HYPN). Produk investasi ini menjanjikan imbal hasil atau return investasi 9% hingga 12% setiap tahun.

Promissory notes (PN) atau surat sanggup bayar adalah surat berharga komersial yang diterbitkan oleh korporasi non-bank berbentuk surat sanggup (promissory note) dan berjangka waktu sampai dengan 1 tahun yang terdaftar di Bank Indonesia. Definisi ini tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/1/PADG/2018.

Kasus Indosterling ini sebetulnya bukan persoalan baru lantaran CNBC Indonesia pernah memberitakan awal sinyal gagal bayar ini pada Mei silam. Saat itu, Indosterling Optima Investa tengah menyampaikan skema restrukturisasi atas produk HYPN atau surat sanggup bayar yang diterbitkan perusahaan.

Dalam dokumen yang diperoleh CNBC Indonesia, skema ini disampaikan kepada pemegang HYPN mengacu pada surat yang disampaikan manajemen pada 14 Mei 2020 perihal pemberitahuan rencana restrukturisasi.

Namun kasus gagal bayar yang cukup menyita perhatian publik ialah PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

CNBC Indonesia mencatat, ada sedikitnya 7 kasus gagal bayar yang sempat terjadi, baik dari perusahaan investasi, asuransi jiwa, hingga koperasi simpan pinjam (KSP). Nilainya, berdasarkan laporan keuangan, pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pengakuan nasabah diprediksi mencapai Rp 44,9 triliun, di antaranya termasuk potensi kerugian negara Jiwasraya Rp 16,8 triliun.

Lembaga pemeringkat Fitch Ratings bahkan menyebut, beberapa kasus gagal bayar yang menjadi perhatian publik itu menghasilkan kerugian hingga US$ 3,5 miliar atau setara Rp 49 triliun (kurs Rp 14.000/US$).

"Kegagalan terkait tata kelola telah menghasilkan kerugian hingga US$ 3,5 miliar bagi investor sejak 2018," tulis Fitch 6 Juli silam.

"Serangkaian kasus gagal bayar baru-baru ini akibat kegagalan tata kelola perusahaan di industri keuangan di Indonesia," tulis Fitch Ratings.

NEXT>>Dari Jiwasraya, Kresna Life, hingga Indosterling

1. PT Asuransi Jiwasraya Persero (estimasi kerugian negara Rp 16,8 T)

Skandal Jiwasraya menjadi pemberitaan yang begitu ramai di media massa. Jiwasraya pertama kali mengumumkan gagal bayar pada Oktober 2018. Dalam pengumuman itu, Jiwasraya tak mampu lunasi klaim polis nasabah sebesar Rp 802 miliar.

Kemudian angka gagal bayar produk JS Saving Plan pun terus bertambah. Manajemen baru Jiwasraya pun menegaskan tidak akan sanggup membayar polis JS Saving Plan milik nasabah senilai Rp 12,4 triliun yang jatuh tempo Oktober-Desember 2019. Namun perseroan akan berupaya mengusahakan pengembalian dana polis tersebut ke nasabah, di tahun 2020.

"Tentu tidak bisa [dikembalikan secepatnya], sumbernya dari corporate action. Mohon maaf ke nasabah, dari awal saya enggak bisa pastikan tanggal berapa karena ini dalam proses," kata Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan komisi VI DPR RI, Senin (16/12/2019).

Hexana menyebut tetap akan mengusahakan pengembalian dana polis tersebut ke nasabah pada tahun ini dengan cara mencari dana dari investor dengan skema penjualan anak usaha PT Jiwasraya Putera.

Dalam dokumen Periode Penyehatan Jiwasraya, yang diperoleh CNBC Indonesia, disebutkan periode penyehatan Jiwasraya terbagi dalam lima periode, yakni Periode I 2006-2008, Periode II 2009-2010, Periode III 2011-2012, Periode IV 2013-2017, dan Periode V 2018-sekarang.

Pada Periode I, terungkap defisit pertama kali terjadi per 31 Desember 2006 adalah sebesar Rp 3,29 triliun.

"Isu utama perusahaan adalah adanya defisit yang disebabkan jumlah aset perusahaan yang jauh lebih rendah dari kewajibannya. Pada 2006, diketahui defisit perusahaan menembus Rp 3,29 triliun," tulis dokumen tersebut.

Adapun defisit Jiwasraya ini semakin membengkak setiap tahun. Pada 2008, defisit secara internal dihitung mencapai Rp 5,7 triliun, ini di bawah angka yang diberikan aktuaris independen yang memperkirakan defisit pada 2008 mencapai Rp 8-10 triliun.

Kasus Jiwasraya pun saat ini mengarah pada dugaan korupsi dan tengah disidangkan.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga merilis perhitungan kerugian negara (PKN) akibat kasus mega skandal Jiwasraya.Hasilnya, jumlah PKN yang dihitung BPK mencapai Rp 16,81 triliun. Jumlah itu terdiri dari investasi saham sebesar Rp 4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi reksa dana Rp 12,16 triliun. Jumlahnya beda tipis dengan proyeksi awal Kejaksaan Agung (Kejagung) Rp 17 triliun.

Sudah ada vonis terhadap enak terdakwa kasus ini pengadilan Tipikor di PN Jakarta Pusat. Selain ada vonis, masih ada 2 tersangka dan 13 tersangka perusahaan manajer investasi yang tengah diperiksa oleh Kejaksaan Agung.

2. PT Asuransi Jiwa Kresna/Kresna Life (estimasi nasabah Rp 6,4 T)

Kresna Life mengalami gagal bayar dua produk asuransinya. Kedua produk tersebut Kresna Link Investa (K-LITA) dan Protecto Investa Kresna (PIK).

"Pada 20 Februari Kresna memberikan surat untuk memperpanjang polis secara sepihak selama 6 bulan sampai Agustus. Tapi setelah itu, pada 14 Mei, manfaat disetop, jadi dari 20 Mei, sebetulnya manfaat masih ada [sampai Agustus]," kata salah satu nasabah Kresna Life, saat ditemui CNBC Indonesia, di gedung OJK.

Atas pemeriksaan Kresna Life, OJK pun mengeluarkan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) kepada Kresna Life yang dinilai telah melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan rekomendasi atas hasil pemeriksaan sebelumnya.

Sanksi ditetapkan melalui surat OJK nomor S - 342/NB.2/2020 tanggal 3 Agustus 2020, sebagaimana disampaikan oleh Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK Anto Prabowo dalam keterangan resmi.

Sebelumnya, OJK telah melakukan pemeriksaan untuk periode tahun 2019 yang dilakukan pada Februari 2020. Pada pemeriksaan tersebut, OJK menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Kresna Life khususnya pada produk K-LITA.

Dari pelanggaran tersebut, OJK melakukan tindakan pengawasan di antaranya mewajibkan Kresna Life untuk membayar klaim yang telah diajukan oleh pemegang polis.

Pada Februari 2020, untuk mencegah risiko kesulitan pembayaran klaim atas polis jatuh tempo yang lebih besar dan melindungi kepentingan pemegang polis, OJK memerintahkan Kresna Life untuk menghentikan produk K-LITA.

OJK tetap meminta manajemen dan pemegang saham Pengendali/Pengendali Asuransi Jiwa Kresna untuk bertanggungjawab terhadap kewajibannya kepada pemegang polis karena ini sudah kesepakatan ataupun ikatan perdataan antara Asuransi Jiwa Kresna dengan pemegang polis.

Dari dokumen yang diperoleh CNBC Indonesia, untuk produk K-Lita Kresna, manfaat investasi yang ditawarkan sejak 10 Juni 2019 cukup tinggi, di atas rata-rata deposito perbankan bahkan ada yang manfaat investasi per tahunnya mencapai 9,75% fixed rate.

Perinciannya, untuk kategori pertama dengan jumlah premi di kisaran Rp 50 juta sampai Rp 500 juta, imbal hasil dengan jangka 3 bulan sebesar 7,75%, tertinggi 24 bulan 9%.

Pada kategori kedua, dengan nilai premi Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar, imbal hasilnya 8% untuk jangka waktu pembayaran premi 3 bulan dan 9,25% untuk 24 bulan.

Kategori selanjutnya dengan nilai premi Rp 1 miliar sampai Rp 2,5 miliar, manfaat investasi sebesar 8,25% dengan jangka waktu 3 bulan dan tertinggi 9,50% untuk jangka waktu 24 bulan.

Terakhir, premi di atas Rp 2,5 miliar, imbal hasilnya sebesar 9% untuk jangka waktu 3 bulan dan 24 bulan sebesar 9,75%.

Pada 4 November pekan lalu, OJK resmi mengakhiri Sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha kepada Kresna Life melalui surat nomor S- 458/NB.2/2020 tanggal 4 November 2020. Sanksi OJK ini diberikan sejak 3 Agustus lalu atau sekitar 3 bulan.

Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan NonBank II OJK Moch. Ihsanuddin mengatakan pengakhiran Sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha diberikan karena Kresna Life telah mengatasi penyebab dikenakannya sanksi dengan memenuhi ketentuan dengan melaksanakan rekomendasi pemeriksaan tahun 2019.

"Dengan diakhirinya Sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha, Kresna Life dapat melakukan kegiatan penutupan pertanggungan baru untuk seluruh lini usaha bagi perusahaan asuransi sejak tanggal 4 November 2020 dan senantiasa mengacu pada ketentuan perundangan yang berlaku," katanya seperti dikutip laman resmi OJK, Minggu (15/11/2020).

Sebelumnya nasabah mengatakan jumlah gagal mencapai angka Rp 6,4 triliun. "Kresna itu ada 8.900 nasabah, 11.000 polis korbannya, dengan Rp 6,4 triliun dananya yang saat ini bermasalah di Kresna," kata Retna, salah satu perwakilan nasabah Kresna Life dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI, Selasa (25/8/2020)

3. PT Asuransi Jiwa Bakrie Life (estimasi Rp 500 M)

Kasus gagal bayar perusahaan asuransi milik Grup Bakrie tersebut terjadi pada produk Diamond Investa yang berjenis unit link (asuransi dan investasi).

Produk tersebut mengalami gagal bayar pada 2008 karena perusahaan terlalu agresif berinvestasi di pasar saham, pada masa itu saham-saham berguguran karena krisis global yang dipicu kasus subprime mortgage di Amerika Serikat (AS).

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), yang kini telah berubah nama menjadi OJK, menyatakan gagal bayar Diamond Investa mencapai Rp 500 miliar. Untuk menyelesaikan masalah ini dicapai kesepakatan Bakrie Life akan mencicil kewajiban.

Namun pencicilan yang dilakukan Bakrie Life bermasalah. Tidak semua pemegang polis dananya dikembalikan hingga akhirnya pada 2016, OJK mencabut izin operasional Bakrie Life.

Pada bulan September lalu Kuasa Hukum para Nasabah Korban Bakrie Life, Jimmy Theja SH, MBA menyampaikan permohonan langsung kepada Kapolri dan Kabareskrim agar memberikan atensi khusus terhadap nasib para pemegang polis Bakrie Life.

"Kami sudah ditelantarkan selama 11 tahun dengan dampak sangat massive di mana korban Bakrie Life yang tersebar hampir di seluruh Indonesia ada yang depresi, stroke, meninggal, gagal studi, cerai," terang Jimmy dalam pesan WhatsAppnya kepada CNBC Indonesia, Senin (9/9/2019).

4. PT Asuransi Bumi Asih Jaya

OJK mencabut izin usaha di Bidang Asuransi atas PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ) pada 18 Oktober 2013 tidak mampu lagi untuk memenuhi ketentuan terkait dengan kesehatan keuangan (Risk Based Capital) dan rasio perimbangan investasi terhadap cadangan teknis dan utang klaim.

Dalam perjalannya setelah dicabut, Bumi Asih Jaya belum dapat melaksanakan kewajibannya kepada sehingga OJK mengajukan gugatan pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

5. Asuransi Jiwa Bumiputera 1912 (estimasi Rp 5,3 T)

Permasalahan pada Bumiputera lebih terfokus kepada miss management atau kesalahan mengelola perusahaan. Pada Januari 2018 perusahaan mengaku mengalami keterlambatan pembayaran klaim dalam 1 - 2 bulan karena minimnya premi yang dihasilkan perusahaan.

Pada akhir tahun 2018, perusahaan mengalami permasalahan solvabilitas sebesar Rp20,72 triliun, dimana aset yang tercatat hanya sebesar Rp 10,279 triliun tetapi liabilitas perusahaan mencapai Rp31,008 triliun.

Hingga semester I-2019, rasio RBC Bumiputera minus 628,4%, sedangkan rasio kecukupan investasinya hanya sebesar 22,4%, dan rasio likuiditas 52,4%.

Pengurus AJB Bumiputera yang baru pun berkomitmen dan berjibaku menyelesaikan tunggakan klaim tahun 2020 jumbo Rp 5,3 triliun dari sebanyak 365.000 pemegang polis di seluruh Indonesia.

Direktur Utama AJBB, Faizal Karim mengakui, kondisi yang mendera perseroan sangat, sangatlah berat. Sejumlah jurus sedang disiapkannya, mulai dengan mengoptimalisasi aset properti milik perseroan yang dikelola ke produk-produk pasar modal seperti Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (EBA), KIK DINFRA dari aset perseroan yang nilainya mencapai hampir Rp 7 triliun.

Selanjutnya melalui program dari internal Bumiputera dan kerja sama dengan perbankan.

"Insya Allah program internal dalam tempo dua bulan sudah jadi. Kalau Tuhan ijinkan akhir tahun ini masih ada 5 bulan kan, paling kurang 50%. Karena uang itu kan akan masuk dengan segera, internal dan pasar modal tadi, masuk itu," tutur Faizal, di kantor AJB Bumiputera, Sudirman Jakarta dalam wawancara khusus dengan CNBC Indonesia di kantornya, akhir pekan lalu, Jumat (24/7/2020),

AJBB juga sedang merancang tiga strategi agar pembayaran klaim nasabah bisa mulai dibayarkan mulai di semester kedua di tahun ini.

6. KSP Indosurya Cipta (estimasi Rp 14 T)

Kasus gagal bayar Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta atau Indosurya Simpan Pinjam (ISP) ramai pada Juni silam. Saat itu, Jumat (19/6/2020), Pengadilan Negeri Bungur, Jakarta Pusat, menggelar sidang verifikasi bilyet nasabah Indosurya.

Informasi terbaru yang mengejutkan terungkap dari para nasabah menyebutkan bahwa nilai potensi kerugian dari gagal bayar ini mencapai Rp 14 triliun, lebih tinggi dari data terakhir yang disampaikan para nasabah saat audiensi dengan DPR RI pada Jumat (8/5/2020).

"Kalau yang mendaftar di PKPU [penundaan kewajiban pembayaran utang] itu ada 14 triliun rupiah lebih ya, yang sebenarnya ada juga yang hanya mendaftar pidana, dia tidak ikut PKPU, ada juga yang sudah pasrah begitu kan, jadi angkanya harusnya lebih dari ya atas itu," kata salah satu nasabah KSP Indosurya, Rudi Jamin, di PN Jakpus.

Dia mengatakan keuntungan yang dijanjikan KSP Indosurya di atas rata-rata bunga bank.

"Saya rasa mereka menjanjikan sesuatu yang bunganya di atas rata rata bunga, di atas bank tapi yang bikin ini si marketing yang sangat aktif mereka unggulnya di marketing karena mereka mengajak marketing marketing dari bank," jelas Rudi.

"Berkisar kalau setahun dan beberapa tahun itu beda tingkatan bunganya, bunga yang ditawarkan itu antara 9% sampai 12%," katanya.

Kasus gagal bayar Indosurya mulai terungkap pada Februari 2020. Michael, salah satu nasabah Indosurya Simpan Pinjam (ISP) yang tidak bersedia nama aslinya dimunculkan, mengatakan dana yang dia simpan di koperasi tersebut sudah tidak dapat diambil dan sudah mulai tidak diberikan bunga seperti yang dijanjikan di awal.

Dia mengatakan dana yang sudah dia investasikan di koperasi tersebut Rp 10 miliar, di mana dari dana tersebut dijanjikan imbal hasil keuntungan bunga sebesar 11% per tahunnya atau berarti Rp 1,1 miliar per tahun.

"Saya dihubungi orang dari Indosurya pada Selasa yang memberitahukan bahwa koperasi itu memutuskan tidak ada pembayaran bunga lagi [terhadap simpanan nasabah]," ujar laki-laki berumur 42 tahun tersebut kepada CNBC Indonesia, kala itu (20/2/20).

Di situs institusi keuangan itu, Indosurya Simpan Pinjam menyatakan sudah mendapat izin dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sejak 27 September 2012 dengan nomor badan hukum 430/BH/XII.1/-1.829.31/XI/2012 dan Nomor Induk Koperasi (NIK) 3173080020001.

Komisi VI DPR RI menangani perindustrian, perdagangan, koperasi UKM, dan investasi pun sudah memantau kasus ini dan membuka opsi membentuk tim khusus untuk menangani perkara penyelesaian kasus gagal bayar KSP Indosurya Cipta yang mencapai Rp 10 triliun.

Martin Y Manurung, Wakil Ketua Komisi VI, menegaskan pihaknya akan mengawasi Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop) dan isu ini harus dibawa dalam rapat selanjutnya.

DPR akan memantau langkah apa yang sudah dilakukan Kemenkop dan opsi solusi yang visible bagi pihak-pihak terkait didesak untuk memberikan jalan penyelesaian.

"Saya turut prihatin kepada nasabah," kata Martin, anggota DPR dari Dapil Sumut II, Fraksi Partai Nasdem, dalam rapat virtual dengan nasabah Indosurya, Jumat (8/5/2020).

7. PT Indosterling Optima Investa (estimasi Rp 1,9 T)

Gagal bayar kali ini menimpa nasabah Indosterling Optima Investa (IOI), salah satu entitas di bawah Grup Indosterling yang dibangun oleh Sean William Hanley.

Perkara ini merupakan gagal bayar untuk produk Indosterling High Yield Promissory Notes (HYPN). Produk investasi ini menjanjikan imbal hasil atau return investasi 9% hingga 12% setiap tahun.

Menurut kuasa hukum nasabah IOI, Andreas dari Global Eternity Law Firm, PT IOI menghimpun dana sejak 2018/2019 dengan menjual produk HYPN dengan bunga mulai dari 9%-12%.

Namun, sejak April 2020 mulai gagal bayar. Para nasabah juga baru mengetahui bahwa produk HYPN tersebut tidak memiliki ijin menghimpun dana dari OJK maupun Bank Indonesia.

"Padahal di dalam perjanjiannya pada pasal 6 huruf e dikatakan, mereka memiliki segala jenis ijin yang diperlukan termasuk dari lembaga keuangan," terang Andreas, dihubungi CNBC Indonesia, Senin (16/11/2020).

Dengan dasar tersebut, sebanyak 58 nasabah dengan nilai kerugian mencapai Rp 95 miliar melapor ke Bareskrim dengan nomor laporan LP 0364/VII/2020/Bareskrim pada 6 Juli 2020.

Ada tiga pihak yang dilaporkan yakni PT IOI, SWH (Sean William Hanley) selaku direktur dan JBP (Juli Berliana Posman) selaku komisaris.

Klien Andreas memilih menempuh jalur pidana ketimbang PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) di Pengadilan karena, PKPU menawarkan pencairan selama 4-7 tahun ini, hal inilah yang kemudian ditolak oleh klien.

Sebelumnya Andreas mengatakan, "kalau menurut PKPU, nasabah Indosterling mencapai 1.200-2.000 orang, dengan total dana dihimpun kurang lebih Rp 2-3 triliun. Tapi berdasarkan terlapor bilangnya Rp 1,99 triliun," kata Andreas, dilansir Detikfinance.

SWH kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 30 September 2020 karena diduga melanggar pasal 46 mengenai Undang-undang Perbankan jo pasal 3,4,5 mengenai tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.

Andreas menuturkan, dana nasabah yang disimpan di PT IOI juga beragam, mulai dari Rp 250 juta sampai Rp 11 miliar per orang.

"Para nasabah mempertanyakan kenapa belum ditahan [tersangka]? Hingga Jumat kemarin para nasabah datang lagi ke Bareskrim mendatangi Irwasum [Inspektur Pengawasan Umum Polri] dan Propam [Divisi Profesi dan Pengamanan] untuk meminta perlindungan hukum," kata Andreas.

Ada tiga permintaan nasabah dalam laporan tersebut, yakni Gelar Perkara Khusus kenapa tersangka tidak ditahan, kedua penyitaan terhadap aset tersangka dan pencekalan keimigrasian.

Kuasa hukum William Henley, Hardodi dari HD Law Firm memang membenarkan kliennya ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri Cq Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus pada 30 September 2020 lalu.

Informasi ini juga disampaikan di keterbukaan informasi dengan Nomor: S-06953/BEI.PP1/11-2020. Hal ini mengingat William Henley adalah Komisaris dari PT Indosterling Technomedia Tbk (TECH), anak usaha dari PT Indosterling Sarana Investa. Saat ini, perkembangan proses hukum tersebut telah memasuki tahap penyidikan.

Namun, penetapan tersangka tersebut bukan berarti kliennya telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilaporkan oleh pelapor.

Sebab, menurutnya, dalam penegakan hukum di Indonesia, ada asas praduga tidak bersalah yang diatur dalam Penjelasan Umum KUHAP butir 3 huruf c dan di dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Adapun, upaya hukum yang saat ini sedang ditempuh tim kuasa hukum adalah menyelesaikan kewajiban melalui putusan homologasi kepada nasabah melalui putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.174/PDT-SUS/PKPU/2020/PN.NIAGA.JKT.PST pada 2 Agustus 2020.

Selanjutnya, langkah lainnya ialah mengikuti proses hukum sesuai hukum acara pidana dan melakukan pendekatan dengan nasabah yang tidak terkait dengan putusan PKPU secara persuasif.

"Kami juga menyiapkan langkah hukum praperadilan," kata Hardodi, dalam suratnya yang diterima CNBC Indonesia, Senin (16/11/2020).

Adapun dalam keterbukaan informasi di BEI, disebutkan, "upaya hukum yang telah ditempuh oleh Sean William Henley adalah menyelesaikan kewajiban kepada para kreditor yang telah diputus dalam putusan perkara PKPU, dengan telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dijelaskan pada lampiran surat dari kuasa hukum nomor Ref_19/HD/LTR/XI/2020."


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Terseret Gagal Bayar Indosterling, Siapa Sean William Henley?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular