Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,26% ke 5.115,12. Data perdagangan mencatat, investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 527 miliar di pasar reguler dengan nilai transaksi menyentuh Rp 9,6 triliun.
Rupiah juga melemah tipis 0,03% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.625/US$. Begitu juga dengan obligasi, dimana yiled Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun naik 0,3 basis poin (bps) ke 6,612%.
Untuk diketahui, pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Saat harga naik, maka yield akan menurun, sebaliknya ketika harga turun maka yield akan naik.
Data ekonomi dari dalam negeri mampu meredam pelemahan aset-aset Indonesia.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya artinya ekspansi. Meski masih mengalami kontraksi, tetapi sektor manufaktur Indonesia kembali menunjukkan kemajuan.
Kemudian Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan terjadi inflasi di Indonesia pada Oktober 2020. Ini memutus rantai deflasi selama tiga bulan beruntun.
Pada Oktober, terjadi inflasi 0,07% secara bulanan (month-to-month/MtM). Tidak jauh dari konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan 0,075%.
Indonesia yang kembali mengalami inflasi tentunya menjadi kabar bagus, artinya roda perekonomian sudah mulai berjalan kembali.
Sementara itu dari eksternal, China terus menunjukkan pemulihan ekonomi. Caixin melaporkan PMI manufaktur bulan Oktober tumbuh menjadi 53,6 dari bulan sebelumnya 53,0, dan lebih tinggi dari prediksi Reuters sebesar 53,0.
Meski demikian, fokus pelaku pasar saat ini sudah tertuju pada pemilihan presiden (pilpres) AS yang akan digelar hari ini, Selasa (3/11/2020) waktu setempat. Artinya pencoblosan baru mulai dilakukan malam hari waktu Indonesia. Bagaimana dampak pilpres di AS ke pasar keuangan dalam negeri, serta beberapa faktor penggerak pasar hari ini akan dibahas pada halaman 3 dan 4.
Bursa saham AS (Wall Street) menguat tajam pada perdagangan Senin waktu setempat, setelah data menunjukkan sektor manufaktur negeri Paman Sam naik ke level tertinggi dalam 2 tahun terakhir.
Indeks Dow Jones menguat 1,6% ke 26,925,05, S&P 500 +1,23% ke 3,310,24, dan Nasdaq +0,42% ke 10.957,61.
Institute for Supply Management (ISM) melaporkan PMI manufaktur di bulan Oktober melesat menjadi 59,3 dari 55,4 di bulan sebelumnya. PMI di bulan Oktober tersebut merupakan yang tertinggi sejak September 2018.
Rilis tersebut menunjukkan jika momentum pemulihan ekonomi di AS masih terakselerasi di kuartal IV-2020.
Pada Kamis pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari produk domestik bruto (PDB) tumbuh 33,1% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized).
PDB di kuartal III-2020 tersebut lebih tinggi dari prediksi Reuters sebesar 31,9% maupun Dow Jones sebesar 32%, dan membalikkan kontraksi (tumbuh negatif) 31,4% di kuartal II-2020 lalu.
Jika dilihat secara tahunan (year-on-year/YoY), PDB di kuartal III-2020 masih mengalami kontraksi 2,9%, meski lebih baik ketimbang 3 bulan sebelumnya minus 9%.
Meski demikian, sepanjang pekan lalu, ketiga indeks utama tersebut mencatat kinerja terburuk sejak Maret. Indeks Dow Jones dan S&P 500 ambrol 6,5% dan 5,6% sepanjang pekan lalu, sementara Nasdaq merosot lebih dari 5%.
Sebabnya, jumlah kasus pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang mencatat rekor penambahan harian, dikhawatirkan membuat pemulihan ekonomi terhambat. Melansir CNBC International, pada Kamis lalu, jumlah kasus Covid-19 di AS bertambah sebanyak 88.521 kasus, menjadi yang terbanyak sejak pertama kali terpapar.
Selain itu, pelaku pasar sebenarnya juga menanti hasil pemilihan presiden (pilpres) di AS.
"Dunia secara umum masih memegang pola bahwa investor menunggu kepastian seputar pilpres AS," tutur Adam Crisafulli, pendiri Vital Knowledge, dalam laporan riset yang dikutip CNBC International. "Dunia sepertinya bakal jauh lebih terang dalam beberapa hari berkat pilpres, pembahasan stimulus di Washington, dukungan bank sentral lebih jauh."
Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia yang menguat jelang pilpres di AS tentunya mengirim sentimen positif ke pasar Asia hari ini, sehingga IHSG memiliki peluang untuk kembali ke zona hijau.
Sentimen pelaku pasar yang bagus juga bisa mendongkrak kinerja rupiah, begitu juga pasar obligasi.
Seperti disebutkan sebelumnya, melesatnya PMI manufaktur di AS menjadi salah satu pendongkrak kinerja Wall Street. Ternyata tidak hanya di Negeri Paman Sam, di Eropa sektor manufakturnya juga menunjukkan kenaikan.
Markit melaporkan PMI manufaktur zona euro naik menjadi 54,8, di bulan Oktober, dari bulan sebelumnya 53,7. PMI di bulan Oktober tersebut merupakan yang tertinggi sejak Juli 2018 lalu.
Jerman, motor penggerak ekonomi Eropa mencatat kenaikan PMI manufaktur menjadi 58,2 dari sebelumnya 56,4.
Sementara Inggris, PMI manufakturnya mengalami penurunan menjadi 53,7 dari sebelumnya 54,1, tetapi masih menunjukkan ekspansi.
China juga melaporkan ekspansi sektor manufaktur, yang sudah disebutkan di halaman 1.
Data PMI global tersebut menunjukkan pemulihan momentum pemulihan ekonomi masih berlanjut di kuartal IV-2020. Tetapi ada sedikit yang mengganjal, yakni kebijakan lockdown yang baru diterapkan di negara-negara Eropa, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah sektor manufaktur masih akan mempertahankan ekspansi di bulan ini.
Sementara itu, pasar hari ini juga akan menanti pengumuman kebijakan moneter dari bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) yang diprediksi akan memangkas suku bunga acuannya.
Hasil survei Reuters menunjukkan RBA diprediksi akan memangkas suku bunga acuan menjadi 0,1% dari saat ini 0,25% di bulan November.
Pada Selasa (20/10/2020), rilis notula rapat kebijakan moneter RBA yang dihelat 6 Oktober lalu menunjukkan jika suku bunga akan kembali di pangkas pada bulan November. Tidak hanya memangkas suku bunga, RBA juga akan menggelontorkan miliaran dolar untuk memacu perekonomian.
Dalam notula tersebut, RBA melihat jika memangkas suku bunga saat ini akan memberikan dampak lebih besar ke perekonomian ketimbang saat pada bulan April dan Mei lalu.
Gubernur RBA, Philip Lowe, yang berbicara di acara konferensi investasi tahunan Citi Group Kamis (15/10/2020) pekan lalu mengatakan pelonggaran moneter lebih lanjut akan mendukung pasar tenaga kerja serta mengurangi tekanan dari penguatan dolar Australia.
Data terbaru yang dirilis oleh Biro Pusat Statistik menunjukkan tingkat pengangguran Australia naik menjadi 6,9% pada bulan September, dari bulan sebelumnya 6,8%.
"Ketika pandemi berada di titik terburuk dan diperparah dengan pembatasan aktivitas, kami melihat dampak dari pelonggaran moneter tidak terlalu besar," kata Lowe sebagaimana dilansir news.com.au, Kamis (15/10/2020).
"Saat ekonomi mulai dibuka, akan masuk akan untuk memperkirakan pelonggaran moneter lebih lanjut akan mendorong perekonomian berputar lebih cepat ketimbang sebelumnya," tambahnya.
Lowe juga mengatakan, suku bunga tidak akan dinaikkan setidaknya dalam 2 sampai 3 tahun ke depan.
Pelonggaran moneter, baik itu penurunan suku bunga serta program pembelian aset selalu direspon positif oleh pasar saham.
Pilpres AS akan menjadi fokus utama di pekan ini, mengingat dampak besar yang akan ditimbulkan, baik dari segi ekonomi hingga politik dunia. Oleh sebab itu, ada kecenderungan pelaku pasar akan wait and see sebelum mengalirkan investasinya dalam jumlah besar, termasuk juga di negara emerging market, seperti Indonesia.
Pilpres kali ini mempertemukan petahana dari Partai Republik Donald Trump dengan lawannya dari Partai Demokrat Joseph 'Joe' Biden. Seandainya Trump kembali memenangi pemilu kali ini, tentunya tidak akan ada perubahan signifikan dari kebijakan yang diterapkan saat ini. Perang dagang dengan China misalnya, masih akan tetap berkobar. Kemudian, dari segi perpajakan tentunya tidak akan berubah, setelah dipangkas pada periode pemerintahannya saat ini.
Sementara jika lawannya, Joe Biden, yang memenangi pilpres, bisa dipastikan akan ada perubahan kebijakan. Perang dagang dengan China kemungkinan tidak akan berkobar, sementara pajak kemungkinan akan dinaikkan.
Tetapi patut diingat, pemilihan kali ini tidak hanya menentukan siapa yang akan menjadi orang nomer 1 di Negara Adi Kuasa, tetapi juga menentukan komposisi Kongres (DPR dan Senat), yang tentunya bisa mempermudah atau menghambat kebijakan presiden terpilih.
Saat ini, DPR AS dikuasai Partai Demokrat, yang merupakan oposisi. Hal tersebut menjadi salah satu faktor alotnya pembasahan stimulus fiskal jilid II di AS. Pemerintah dan DPR sama-sama ngotot mengajukan nilai stimulus fiskal, yang hingga saat ini belum mencapai titik temu. Sementara itu, Senat AS dikuasai oleh Partai Republik, juga bisa menentukan kebijakan pemerintah.
Jika Gedung Putih, DPR, hingga Senat dikuasai oleh satu partai saja, maka penerapan kebijakan akan berjalan dengan mulus.
Survei terakhir yang dilakukan oleh NBC News/Wall Street Journal menunjukkan Joe Biden masih diunggulkan dengan memperoleh 52% suara dalam survei tersebut, sementara Donald Trump 42%.
Konsensus di pasar menunjukkan jika Joe Biden dan Partai Demokrat memenangi pemilihan umum, maka akan berdampak negatif bagi pasar saham. Namun menurut bank investasi ternama, JP Morgan, kemenangan tersebut akan berdampak netral bagi pasar saham.
"Konsensus menunjukkan jika Partai Demokrat menang di November akan berdampak negatif bagi pasar saham. Namun, kami melihat akan memberikan dampak netral hingga sedikit positif," kata Dubravko Lakos, kepala strategi saham dan kuantitatif di JP Morgan, dalam sebuah riset yang dirilis 29 Oktober lalu.
Alasan memberikan outlook netral tersebut dikarenakan ada katalis positif yang akan diberikan, misalnya stimulus fiskal yang lebih besar atau pembangunan infrastruktur, sementara katalis negatifnya adalah kenaikan pajak perusahaan.
Lakos mempertahankan target untuk indeks S&P 500 di akhir tahun berada di level 3.600. Sementara jika Trump dan Partai Republik yang memenangi pemilu, yang merupakan favorit pasar, Lakos memprediksi indeks S&P 500 akan mencapai level 3.900 di akhir tahun.
Melihat prediksi tersebut, seandainya Biden dan Partai Demokrat yang berkuasa di AS, bursa saham global termasuk IHSG kemungkinan akan bereaksi negatif terlebih dahulu, meski ke depannya akan kembali menguat.
Saat pasar saham bereaksi negatif, mata uang safe haven seperti dolar AS akan diuntungkan dan rupiah akan terpukul.
Sebaliknya, jika Trump lanjut 2 periode, dan Kongres AS dikuasai Partai Demokrat, maka pasar berpeluang merespon positif, bursa saham akan menguat dan rupiah bisa bertenaga kembali.
Namun, jika pemerintahan dan Kongres dikuasai oleh partai yang berbeda, aksi jual yang lebih besar kemungkinan akan terjadi di pasar saham, sebab ketidakpastian akan semakin meningkat. Apalagi jika sampai terjadi terjadi kisruh hasil pemilu.
Meski demikian, menurut Lakos pasar saham dan mata uang emerging market di Asia akan lebih diuntungkan dalam jangka panjang jika Biden dan Demokrat yang memenangi pemilu, sebab perang dagang kemungkinan tidak akan berkobar.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data Inflasi Korea Selatan (6.00 WIB)
- Pengumuman Kebijakan Moneter RBA (10.30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Nilai |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (Oktober 2020 YoY) | 1,42% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2020) | 4% |
Defisit Anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal II-2020) | -1,18% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal II-2020) | US$ 9,24 miliar |
Cadangan devisa (September 2020) | US$ 135,15 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA