Hormat! Rupiah Sakti di Hari Kesaktian Pancasila

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 October 2020 09:15
Ilustrasi Penukaran Uang (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Rupiah mampu terapresiasi meski cukup banyak sentimen negatif, terutama di dalam negeri.

Pada Kamis (1/10/2020), US$ 1 dibanderol Rp 14.800 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,27% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Hari ini, sebenarnya ada sentimen negatif yang bisa menjadi beban bagi langkah mata uang Tanah Air. Pertama, IHS Markit mengumumkan Purchasing Managers' Index (PMI) pada September 2020 berada di angka 47,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,8.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di bawah 50 berarti kontraksi, di atas 50 berarti ekspansi.

Penurunan pada September adalah yang pertama setelah PMI terus merangkak naik sejak April. Menurut IHS Markit, penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang lebih ketat pada pertengahan September menjadi penyebabnya.

"Penerapan kembali PSBB di Jakarta pada medio September di tengah peningkatan kasus infeksi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) berdampak terhadap penjualan produk manufaktur dan proses produksi. Setelah kenaikan yang solid pada Agustus, permintaan baru turun drastis pada September meski tidak separah Maret," sebut keterangan tertulis IHS Markit yang dirilis Kamis (1/10/2020).

Penurunan permintaan membuat produksi kembali turun. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja ikut berkurang. Bahkan laju Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin cepat.

Selain itu, dunia usaha juga mengurangi pembelian bahan baku sebagai upaya efisiensi. Laju penurunan pembelian bahan baku pada September bahkan menjadi yang tercepat dalam tujuh bulan terakhir.

Situasi yang sulit bahkan membuat dunia usaha sampai menurunkan harga jual produk demi mendongkrak penjualan. Ini membuat tekanan inflasi pada kuartal III-2020 sangat ringan, bahkan hampir tidak ada.

Dalam kurun setahun ke depan, pelaku usaha memang masih optimistis bahwa produksi dan permintaan akan meningkat. Namun optimisme ini akan sangat tergantung dari bagaimana pandemi bisa dikendalikan.

"Angka PMI terbaru menunjukkan bahwa sektor manufaktur Indonesia masih menghadapi tantangan dalam beberapa bulan ke depan. Pemulihan ekonomi akan tergantung dari kemampuan mengendalikan pandemi," tegas Bernard Aw, Principal Economist IHS Markit, seperti diwartakan dari siaran tertulis.

Kedua, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan akan mengumumkan data inflasi September 2020 pada pukul 11:00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi deflasi 0,03% secara bulanan (month-to-month/MtM). Ini membuat inflasi tahunan (year-on-year/YoY) menjadi 1,43% dan inflasi inti tahunan 2%.

Sebelumnya, deflasi sudah terjadi pada Juli dan Agustus masing-masing 0,1 dan 0,05%. Jadi kalau September betul-betul deflasi lagi, maka deflasi akan terjadi sepanjang kuartal III tanpa terputus.

Deflasi, apalagi sampai berbulan-bulan seperti ini, mencerminkan ekonomi sedang 'sakit'. Dunia usaha tidak berani menaikkan harga karena khawatir permintaan semakin anjlok. Konsumen pun cenderung menahan pembelian karena ketidakpastian pendapatan, apakah besok masih bisa gajian atau tidak.

Ya, tanda-tanda pelemahan daya beli memang semakin nyata. Ini terlihat dari pergerakan inflasi inti yang terus menukik. Inflasi inti berisi harga barang dan jasa yang susah bergerak (persisten). Jadi kalau harga yang susah bergerak saja sampai turun, apalagi dalam kecepatan yang konstan, maka berarti permintaan sedang benar-benar lesu karena rumah tangga menahan belanja.

Sepertinya pelemahan konsumsi rumah tangga semakin hari kian terlihat nyata. Sementara konsumsi rumah tangga adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi pengeluaran.

Oleh karena itu, kontraksi atau pertumbuhan negatif PDB pada kuartal III-2020 adalah sebuah keniscayaan. Dengan demikian, Indonesia akan segera sah masuk ke jurang resesi karena PDB menyusut dalam dua kuartal beruntun.

So, apa yang membuat rupiah bisa tetap perkasa? Sepertinya faktor eksternal lebih berperan.

Kebetulan dolar AS sedang melemah. Pada pukul 08:02 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,05%. Dalam sepekan terakhir, indeks ini melemah 0,55%.

Sepanjang kuartal III-2020, Dollar Index anjlok sekitar 3,5%. Ini adalah koreksi kuartalan terdalam sejak kuartal III-2017.

Hari ini, pelemahan dolar AS didorong oleh optimisme investor terhadap stimulus fiskal terbaru di Negeri Paman Sam. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengungkapkan dirinya sudah berkomunikasi dengan Nancy Pelosi, Ketua House of Representatives (satu dari dua kamar legislatif di AS). Pemerintah mengajukan paket stimulus baru senilai US$ 2,2 triliun yang menunggu lampu hijau dari Kongres.

"Kami membuat banyak kemajuan dalam beberapa hari terakhir. Memang belum ada kesepakatan, tetapi kami akan terus bekerja," kata Mnuchin, seperti dikutip dari Reuters.

"Kami sudah menemukan hal-hal yang perlu klarifikasi lebih lanjut. Pembicaraan semacam ini akan terus berlanjut," tambah Pelosi. Rencananya House akan melakukan pemungutan suara untuk menggolkan paket stimulus terbaru pada Kamis waktu Washington.

Pelaku pasar pun bergairah. Stimulus akan memberi harapan pemulihan ekonomi di Negeri Adidaya, yang akan mendongrak kinerja ekspor negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Pada kuartal II-2020, US Bureau of Economic Analysis melaporkan PDB AS terkontraksi -31,4% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Ini adalah rekor terendah sejak pemerintah mulai membuat catatan pada 1947.

Namun pada kuartal III-2020 ekonomi AS diperkirakan sudah bangkit. Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang Atlanta dalam laman GDPNow menyebut, prakiraan pertumbuhan ekonomi AS untuk kuartal III-2020 mencapai 32%.

"Optimisme pulih karena berita stimulus. Kita butuh berita-berita positif. Setiap ada berita positif, pasar akan 'lompat'," ujar Amo Sahota, Executive Director Klarity FX yang berbasis di San Francisco, seperti dikutip dari Reuters.

Perkembangan ini membuat pasar berani mengambil risiko, tidak sekadar bermain aman. Sikap risk off seperti ini membuat aset-aset berisiko di negara berkembang ramai peminat, termasuk di Indonesia. Hasilnya, rupiah bisa 'sakti' pada Hari Kesaktian Pancasila.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Next Page
Deflasi Lagi?
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular