Newsletter

DKI Jakarta Tak 'PSBB Total', IHSG & Rupiah Siap Tancap Gas?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
14 September 2020 06:10
Anies Baswedan, Konferensi Pers Status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta. Dok: Tangkapan layar youtube pemprov DKI Jakarta
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan domestik oleng (shaky) pekan kemarin setelah berbagai kabar tak sedap dari dalam maupun luar negeri berhembus. Sentimen yang negatif membuat aset-aset berisiko tertekan.

Hanya butuh waktu satu hari saja untuk membuat cuan pasar saham RI yang dikumpulkan dalam tiga bulan ludes seketika saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) drop 5%.

Otoritas bursa pun kembali menerapkan kebijakan trading halt atau penghentian perdagangan selama 30 menit. Ini menjadi kali ketujuh trading halt dilakukan sejak pandemi Covid-19 merebak.

Meski ditutup menguat lebih dari 2,5% di hari terakhir perdagangan Jumat (11/9/2020), dalam sepekan IHSG ambrol 4,26%. Kejatuhan pasar saham domestik tak terlepas dari kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan yang tiba-tiba menarik rem darurat secara mendadak.

Pada Rabu (9/9/2020) malam, Anies mengungkapkan mulai Senin (14/9/2020) ibu kota akan menerapkan kembali PSBB total. Karyawan kembali diminta untuk bekerja dari rumah masing-masing.

"Dalam rapat disimpulkan bahwa kita akan menarik rem darurat yang itu artinya kita terpaksa kembali menerapkan PSBB seperti pada masa awal pandemi dulu. Bukan lagi PSBB transisi tapi kita harus melakukan PSBB sebagaimana masa awal dulu," ujar Anies di Balai Kota Jakarta, Rabu (9/9/2020).

Sontak, keesokan harinya pelaku pasar merespons kebijakan tersebut dengan melakukan aksi jual besar-besaran. Pasar pun kebakaran dibuatnya.

Sebagai pusat pemerintahan sekaligus perekonomian, kontribusi Jakarta terhadap output perekonomian nasional merupakan yang terbesar dengan sumbangsih 17,7% terhadap PDB RI kuartal kedua lalu.

Kebijakan rem darurat yang membuat pasar goyah pun seolah mengisyaratkan bahwa ekonomi RI sudah bisa dipastikan mengalami kontraksi lanjutan di kuartal ketiga. Pasalnya saat kuartal kedua DKI minus 8,22% (yoy), PDB RI juga menyusut 5,32% (yoy).

Kelanjutan kontraksi di kuartal ketiga ini tentunya menjadi pertanda yang nyata bahwa RI terjerembab ke jurang resesi seperti lebih dari 40 negara lain di dunia. Resesi yang kian pasti juga membuat nilai tukar rupiah anjlok terhadap dolar.

Dalam seminggu terakhir, mata uang Garuda itu terdepresiasi 0,88% terhadap greenback. Kini US$ 1 semakin mendekati level Rp 15.000. Jelang akhir pekan, rupiah ditutup di Rp 14.860/US$ di pasar spot.

Sementara itu di pasar surat utang negara (SUN) yield mengalami kenaikan yang artinya harga turun. Bank Indonesia (BI) mencatat, premi CDS (Credit Default Swaps) Indonesia 5 tahun naik ke 91,36 bps per 10 September 2020 dari 86,71 bps per 4 September 2020.

Berdasarkan data transaksi 7-10 September 2020, nonresiden di pasar keuangan domestik jual neto Rp0,50 triliun, dengan jual neto di pasar saham sebesar Rp2,37 triliun dan beli neto di pasar SBN sebesar Rp1,87 triliun.

Tak hanya bursa saham domestik saja yang kebakaran, pasar modal AS juga mengalami nasib serupa. Dalam seminggu terakhir tiga indeks saham utama Paman Sam terbenam di zona merah dengan koreksi besar-besaran pada harga saham-saham sektor teknologi.

Dalam sepekan, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) drop 1,66%. S&P 500 anjlok 2,51% pada periode yang sama dan Nasdaq Composite memimpin pelemahan dengan koreksi mingguan mencapai 4,06%.

"Pasar terus berjuang menemukan keseimbangan," kata Mark Hackett, kepala riset investasi di Nationwide, kepada CNBC International. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa volatilitas ini mencerminkan perubahan emosional pasar.

Ke depan Hackett menduga volatilitas tanpa arah ini masih akan berlanjut. Tarik menarik antara tren bullish dan bearish akan sangat bergantung pada injeksi likuiditas yang dilakukan oleh bank sentral the Fed, perbaikan kondisi ekonomi, risiko ketidakpastian yang tinggi serta kenaikan valuasi.

Sejak crash Maret lalu, harga saham-saham AS mulai rebound terutama untuk sektor teknologinya. Kenaikan harga saham ini terbantu oleh injeksi likuiditas besar-besaran the Fed yang disebut dengan quantitative easing.

Saham teknologi konstituen FAANG (Facebook, Apple, Amazon, Netflix & Google) naik gila-gilaan. Saham Amazon bahkan naik lebih dari 70% sepanjang tahun berjalan. Valuasi yang sudah terlalu tinggi membuat analis melihat ada fenomena 'bubble' untuk sektor ini.

"Saya pikir kita pasti berada dalam zona bubble," kata Jonathan Bell, kepala investasi di Stanhope Capital, kepada CNBC International. Bell mengingatkan, kenaikan harga saham tersebut patut dikhawatirkan bukan karena bisnisnya yang tidak bagus, melainkan karena adanya euforia yang berlebihan. 

Seperti diketahui bersama, kelima saham teknologi AS tersebut menyumbang 20% dari total kapitalisasi pasar saham Negeri Paman Sam. Jelas angka tersebut sangatlah besar mengingat size Wall Street yang fantastis. Kelima saham tersebut juga menyumbang 12% dari total indeks MSCI global.

Dengan meminjam istilah mantan bos the Fed Alan Greenspan, Bell mengatakan fenomena ini merupakan bentuk euforia atau 'irrational exuberance'. Meski banyak yang meyakini saham-saham tersebut dalam kondisi bubble, tetapi analis belum melihat adanya tanda gelembung tersebut akan pecah dalam waktu dekat.

Hanya saja, jika alokasi portofolio investor terlalu terkonsentrasi pada saham-saham tersebut maka risikonya menjadi sangatlah besar. Selain koreksi harga saham-saham teknologi AS yang mewarnai pasar pekan lalu, ada beberapa kabar buruk yang juga membuat pasar tertekan.

Secara mengejutkan, AstraZeneca selaku pengembang vaksin Covid-19 yang terdepan memutuskan untuk menghentikan sementara waktu uji klinis tahap akhirnya setelah salah satu relawan di Inggris dilaporkan mengalami gangguan saraf yang serius pasca injeksi vaksin. 

Di sisi lain anjloknya harga minyak mentah akibat diskon harga Aramco serta ketegangan antara AS-China yang kembali mencuat juga menjadi sentimen negatif lain yang membuat Wall Street terkapar di zona merah.

Untuk perdagangan awal pekan ini, investor perlu mencermati berbagai sentimen baik yang datangnya dari dalam negeri maupun luar negeri. Pergerakan saham dengan volatilitas tinggi pekan lalu kemungkinan masih akan berlanjut untuk pekan ini.

Ada beberapa kabar baik. Namun disela-sela kabar baik tersebut juga terselip kabar yang patut diwaspadai oleh investor maupun trader. Kabar pertama datang dari dalam negeri.

Meski besok PSBB akan mulai diberlakukan lagi, tetapi pelaku pasar boleh sedikit lega, pasalnya tak akan ada perubahan signifikan antara PSBB besok dengan yang sudah-sudah jika mengacu pada keterangan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Dalam paparannya kemarin, Anies mengatakan beberapa fasilitas umum yang masih tutup yaitu sekolah, tempat rekreasi dan hiburan termasuk bioskop, taman kota serta fasilitas publik lain yang kaitannya dengan kerumunan khalayak ramai.

Restoran baik yang berdiri sendiri maupun di pusat perbelanjaan pun juga diperbolehkan buka. Namun dengan catatan hanya diizinkan untuk melayani pesan antar (delivery order) serta bawa pulang saja (take away). Untuk aktivitas makan di tempat tidak diizinkan.

Konsekuensi dari hal tersebut berimbas kepada layanan transportasi online (ojol) yang diperbolehkan untuk mengangkut barang serta penumpang, tentunya dengan protokol kesehatan. 

Masyarakat pun masih diperbolehkan pergi ke kantor. Hanya saja dengan kapasitas 25% dari maksimum. Pasar tradisional juga masih dibuka dan dibatasi hanya 50% dari kapasitas maksimal layaknya yang sudah diterapkan saat PSBB transisi.

Paparan Anies tersebut menunjukkan bahwa ibu kota tidak benar-benar dikunci. Kejelasan ini seharusnya membuat aset berisiko seperti saham punya sedikit tenaga. IHSG berpeluang menguat menyambut kabar gembira ini.

Pekan ini bank sentral dunia seperti the Fed hingga BI juga akan mengumumkan kebijakan moneternya. Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI akan digelar pada 16-17 September.

Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan MH Thamrin akan menahan suku bunga acuan demi menjaga pasar keuangan RI tetap menarik sehingga dapat meminimalkan aliran modal keluar (outflow).

Bank sentral AS juga akan mengumumkan kebijakan moneternya pekan ini. Stance dovish the Fed masih terasa. Ketua the Fed Jerome Powell mengatakan sebelumnya bahwa the Fed akan membiarkan inflasi yang lebih tinggi terjadi dengan target sasaran inflasi di 2%. 

Inflasi yang tinggi berarti mengindikasikan bahwa nilai mata uang akan tergerus. Jelang rapat komite pengambil kebijakan the Fed ini, indeks dolar berpotensi bergerak volatil dan cenderung melemah. Pelemahan dolar diharapkan mampu menjadi angin segar bagi rupiah yang sudah dilibas greenback  0,9% sepekan lalu.

Kabar gembira lainnya kini datang dari AstraZeneca. Setelah menghentikan uji klinis tahap akhirnya pekan lalu, perusahaan yang bermarkas Cambridge, Inggris itu dikabarkan akan melanjutkan uji klinis tahap III-nya. AstraZeneca melanjutkan kembali uji klinisnya setelah mendapat lampu hijau dari otoritas kesehatan Inggris. 

"Perusahaan akan terus bekerja dengan otoritas kesehatan di seluruh dunia dan dipandu kapan uji klinis lain dapat dilanjutkan untuk menyediakan vaksin secara luas, adil dan tanpa keuntungan selama pandemi ini," kata AstraZeneca dalam sebuah pernyataan, mengutip CNBC Internasional.

Kabar ini akan membangkitkan harapan semua orang akan vaksin penangkal Covid-19. Tanpa adanya vaksin, prospek perekonomian akan suram. Kehidupan normal tanpa masker, work from home hingga jaga jarak aman akan susah ditempuh. 

Kabar kelanjutan vaksin AstraZeneca ini juga mendukung risk appetite investor akan membaik dan harapannya mampu mengangkat aset-aset keuangan yang berisiko seperti saham.

Ada beberapa kabar melegakan memang. Namun ada hal yang juga perlu dikhawatirkan. Apalagi kalau bukan hubungan antara dua raksasa ekonomi dunia yang sedang sengit-sengitnya dalam dua tahun terakhir.

Ribut antara AS dan China makin tak berujung. Kini giliran Beijing yang melempar serangan ke AS. Jumat malam waktu setempat, China mengumumkan pembatasan baru pada aktivitas diplomat AS yang bekerja di China daratan dan Hong Kong.

Kebijakan tersebut merupakan salah satu aksi balasan China terhadap perlakuan AS Oktober tahun lalu. Seorang juru bicara kementerian luar negeri mengatakan aturan akan berlaku untuk diplomat senior dan semua personel lainnya di Kedutaan Besar Amerika di Beijing dan konsulat di seluruh China, sebagaimana diwartakan CNBC International.

Untuk masalah ini, China masih membuka diri untuk bernegosiasi. Pembatasan ini akan dicabut jika AS juga mencabut kebijakan serupa untuk China yang dilakukannya tahun lalu.

"Sekali lagi kami mendesak pihak AS untuk segera memperbaiki kesalahannya dan mencabut pembatasan tidak wajar yang diberlakukan pada Kedutaan Besar China dan konsulat serta staf mereka. China akan membuat tanggapan timbal balik atas tindakan AS, " kata juru bicara yang tidak disebutkan namanya, dikutip Minggu (13/09/2020).

AS dan China memang 'bertempur' hampir di segala lini. Setelah Trump mengancam akan menutup TikTok di AS kecuali jika menjualnya ke perusahaan AS, China dikabarkan menolak ancaman tersebut. 

CNBC International melaporkan Beijing lebih memilih TikTok ditutup daripada harus menjualnya ke perusahaan AS. Hal tersebut akan membuat China menjadi terlihat lemah akan tuntutan Washington, menurut salah seorang sumber yang familiar dengan permasalahan tersebut.

ByteDance sebagai induk perusahan TikTok mengatakan dalam sebuah pernyataan kepada Reuters bahwa pemerintah China tidak pernah menyarankan kepada mereka untuk menutup TikTok di Amerika Serikat atau di pasar lain mana pun.

Namun kantor informasi dewan negara China serta kementerian luar negeri dan perdagangannya tidak segera menanggapi permintaan komentar yang dikirim setelah jam kerja.

Perkembangan hubungan yang rumit antara kedua raksasa ekonomi dunia tersebut patut untuk terus dipantau dan dicermati. Pasalnya jika eskalasi terus terjadi dan tak menuai titik temu, bahkan decoupling terjadi, tentu ini akan membuat pemulihan ekonomi global akan semakin berat. 

Bagaimanapun juga risiko ketidakpastian masih ada. Tak menutup kemungkinan volatilitas yang tinggi di pasar juga masih berlanjut pekan ini. So stay awake ya!

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Riis data indeks harga rumah China Agustus (08:30 WIB).
  2. Rilis data tingkat pengangguran kuartal kedua Singapura (09:30 WIB).
  3. Rilis data produksi industri Jepang bulan Juli 2020 (11:30 WIB).
  4. Rilis data produksi industri Euro Area Juli 2020 (16:00 WIB).
  5. Rilis data ekspektasi inflasi konsumen AS periode Agustus 2020 (22:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY)

-5,32%

Inflasi (Agustus 2020 YoY)

1,32%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Agustus 2020)

4%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-6,34% PDB

Transaksi berjalan (kuartal II-2020)

-1,18% PDB

Neraca pembayaran (kuartal II-2020)

US$ 9,24 miliar

Cadangan devisa (Agustus 2020)

US$ 137,04 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular