Newsletter

DKI Jakarta Tak 'PSBB Total', IHSG & Rupiah Siap Tancap Gas?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
14 September 2020 06:10
Bursa saham Amerika Serikat (AS)  Wall Street
Foto: Anies Baswedan, Konferensi Pers Status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta. Dok: Tangkapan layar youtube pemprov DKI Jakarta

Tak hanya bursa saham domestik saja yang kebakaran, pasar modal AS juga mengalami nasib serupa. Dalam seminggu terakhir tiga indeks saham utama Paman Sam terbenam di zona merah dengan koreksi besar-besaran pada harga saham-saham sektor teknologi.

Dalam sepekan, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) drop 1,66%. S&P 500 anjlok 2,51% pada periode yang sama dan Nasdaq Composite memimpin pelemahan dengan koreksi mingguan mencapai 4,06%.

"Pasar terus berjuang menemukan keseimbangan," kata Mark Hackett, kepala riset investasi di Nationwide, kepada CNBC International. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa volatilitas ini mencerminkan perubahan emosional pasar.

Ke depan Hackett menduga volatilitas tanpa arah ini masih akan berlanjut. Tarik menarik antara tren bullish dan bearish akan sangat bergantung pada injeksi likuiditas yang dilakukan oleh bank sentral the Fed, perbaikan kondisi ekonomi, risiko ketidakpastian yang tinggi serta kenaikan valuasi.

Sejak crash Maret lalu, harga saham-saham AS mulai rebound terutama untuk sektor teknologinya. Kenaikan harga saham ini terbantu oleh injeksi likuiditas besar-besaran the Fed yang disebut dengan quantitative easing.

Saham teknologi konstituen FAANG (Facebook, Apple, Amazon, Netflix & Google) naik gila-gilaan. Saham Amazon bahkan naik lebih dari 70% sepanjang tahun berjalan. Valuasi yang sudah terlalu tinggi membuat analis melihat ada fenomena 'bubble' untuk sektor ini.

"Saya pikir kita pasti berada dalam zona bubble," kata Jonathan Bell, kepala investasi di Stanhope Capital, kepada CNBC International. Bell mengingatkan, kenaikan harga saham tersebut patut dikhawatirkan bukan karena bisnisnya yang tidak bagus, melainkan karena adanya euforia yang berlebihan. 

Seperti diketahui bersama, kelima saham teknologi AS tersebut menyumbang 20% dari total kapitalisasi pasar saham Negeri Paman Sam. Jelas angka tersebut sangatlah besar mengingat size Wall Street yang fantastis. Kelima saham tersebut juga menyumbang 12% dari total indeks MSCI global.

Dengan meminjam istilah mantan bos the Fed Alan Greenspan, Bell mengatakan fenomena ini merupakan bentuk euforia atau 'irrational exuberance'. Meski banyak yang meyakini saham-saham tersebut dalam kondisi bubble, tetapi analis belum melihat adanya tanda gelembung tersebut akan pecah dalam waktu dekat.

Hanya saja, jika alokasi portofolio investor terlalu terkonsentrasi pada saham-saham tersebut maka risikonya menjadi sangatlah besar. Selain koreksi harga saham-saham teknologi AS yang mewarnai pasar pekan lalu, ada beberapa kabar buruk yang juga membuat pasar tertekan.

Secara mengejutkan, AstraZeneca selaku pengembang vaksin Covid-19 yang terdepan memutuskan untuk menghentikan sementara waktu uji klinis tahap akhirnya setelah salah satu relawan di Inggris dilaporkan mengalami gangguan saraf yang serius pasca injeksi vaksin. 

Di sisi lain anjloknya harga minyak mentah akibat diskon harga Aramco serta ketegangan antara AS-China yang kembali mencuat juga menjadi sentimen negatif lain yang membuat Wall Street terkapar di zona merah.

(twg)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular