"Industri ini di tengah pandemi mendapatkan tekanan luar biasa, hal ini akan berdampak kepada lebih dari 5 juta pekerja di sektor ini," ungkap Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo dalam keterangan pers usai seminar online Tobacco Series#3, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (11/9/2020).
Dia menjelaskan, merujuk rencana kebijakan cukai dan strategi penerimaan negara pada 2021, AMTI merisaukan dampak lebih dalam terhadap sektor IHT.
"Ada petani yang sudah membakar daunnya. Sudah ada yang mencabut pohonnya, ini mereka frustrasi. Pemerintah harus memberikan harapan yang baik, belum kepada nasib tenaga kerja," tegasnya.
"Tekanan yang diterima industri pun bukan hanya itu, ada juga dorongan ratifikasi Pengendalian Produk Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control [FCTC] dan revisi PP 109/2012. Ditambah kenaikan cukai, situasi industri ini digambarkan melalui istilah dipoyok, dilebok." ungkap Budidoyo.
PP 109 tahun 2012 ialah tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Lebih jauh dari itu, dia menjelaskan, sektor tembakau memiliki peran vital dalam perekonomian dan tenaga kerja. Saat ini, sebagaimana data Kementerian Pertanian (Kementan), luas areal tanaman tembakau pada 2020 diproyeksikan mencapai 198.561 hektare dengan volume produksi sebanyak 212.215 ton.
Struktur pasar rokok saat ini terdiri dari 73% merupakan sigaret kretek mesin (SKM), 22% sigaret kretek tangan (SKT), dan 5% sigaret putih mesin (SPM).
Secara total, serapan tenaga kerja pada industri tembakau di sektor manufaktur dan distribusi produk tembakau mencapai 5,9 juta orang, terdiri dari 1,7 juta orang di perkebunan, 4,28 juta pekerja sektor manufaktur dan distribusi.
Dari data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), mayoritas pekerja pada industri hasil tembakau atau IHT didominasi perempuan berusia muda dan paruh baya, dengan strata pendidikan yang rendah.
Oleh karena itu, menyikapi arah kebijakan cukai, Kasubdit Hubungan Kerja Direktorat Persyaratan Kerja Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Sumondang, dalam kesempatan yang sama, mengingatkan harus diputuskan secara hati-hati mengingat dampaknya yang bersifat efek domino.
"Sudah ada pabrik atau perusahaan yang sudah tidak bisa membayar tenaga kerja, padahal industri tembakau ini sangat membantu ekonomi keluarga di mana banyak ibu dan kaum perempuan jadi tulang punggung keluarga dengan bekerja sebagai buruh di pabrik tembakau," ungkapnya.
Di pasar modal, dampak yang dirasakan industri rokok pun berpengaruh pada kinerja emiten-emiten rokok di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Terdapat empat pemain besar industri rokok di luar PT Djarum yang belum listing di Bursa Efek Indonesia (BEI). Keempatnya adalah PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Bentoel International Tbk (RMBA), dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM).
Manajemen Bentoel menilai industri rokok bukan industri yang kebal terhadap resesi apapun. Sebab itu, industri rokok Tanah Air saat ini menghadapi berbagai tekanan di tengah upaya sektor ini untuk bangkit dari resesi.
Tahun 2020, dinilai masih akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi industri tembakau. Hal ini karena kenaikan cukai rokok yang diumumkan pemerintah pada Oktober 2019 dan mulai berlaku pada 2020 ini telah memberikan tekanan yang besar bagi industri tembakau secara keseluruhan.
"Di tengah tantangan akibat kebijakan tarif cukai tersebut, dunia juga menghadapi tantangan lain akibat munculnya pandemi Covid-19 pada awal tahun 2020 yang mengakibatkan menurunnya volume penjualan dan daya beli konsumen," kata manajemen Bentoel, dalam Dokumen Hasil Paparan Publik, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (11/9/2020).
"Berdasarkan prediksi [ada] penurunan volume industri adalah sekitar 15%."
Anak usaha British American Tobacco (BAT) ini pun menegaskan, untuk Indonesia, kondisinya sedikit berbeda dengan negara lain, karena lebih dari 30 juta perokok di Indonesia berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah, di mana kemampuan daya beli masyarakat untuk membeli produk rokok menurun.
Dengan tekanan pandemi Covid-19, tulis manajemen Bentoel, tentunya berdampak kepada volume penjualan perseroan, seperti yang dialami oleh perusahaan lainnya.
"Industri hasil tembakau membutuhkan waktu untuk recovery atas penurunan penjualan yang cukup signifikan. Kami juga berharap agar pemerintah dapat lebih memperhatikan keberlangsungan industri tembakau, khususnya di tengah-tengah kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini," tulis Bentoel.
Manajemen emiten produsen rokok merek Lucky Strike dan Dunhill ni mengungkapkan tingkat kenaikan cukai pada 2015 yakni 10%, kemudian pada 2016 sebesar 14%, dan tahun 2017 sebesar 10%.
Pada 2018 cukai juga naik sebesar 10%, sementara tahun 2019 tak ada kenaikan, dan tahun 2020 naik 23%.
"Adapun kenaikan harga minimum produk rokok pada 2018 sebesar 1%, 2019 0% dan 2020 44%, sementara industri tembakau di bawah tekanan, Mengacu data Nielsen, pertumbuhan Juni minus 17,5%, dibandingkan Mei minus 25,6%, lalu bulan sebelumnya minus 17,5%, dan Maret minus 10%," kata Bentoel.
Laporan keuangan Juni 2020 mencatat, penjualan Bentoel di semester I-2020 turun 26% menjadi Rp 7,60 triliun dari periode yang sama tahun lalu Rp 10,22 triliun, sementara perusahaan juga masih mencatatkan rugi sebesar Rp 165,44 miliar meski berkurang dari rugi bersih tahun sebelumnya Rp 389,59 miliar.
Emiten rokok yang dikendalikan Philip Morris, HM Sampoerna juga mencatatkan penurunan laba bersih pada semester I-2020 secara year on year (yoy). Laba bersih melorot 28% menjadi Rp 4,89 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 6,77 triliun.
Sebagai perbandingan, pada Januari-Maret lalu, HMSP masih mengalami kenaikan laba bersih sebesar 1,09% secara year on year. Laba bersih perusahaan naik tipis menjadi Rp 3,32 triliun dari Rp 3,28 triliun di periode yang sama tahun lalu.
Data laporan keuangan yang dipublikasikan, menunjukkan koreksi laba bersih pada 6 bulan pertama tahun ini terjadi di tengah pendapatan bersih HMSP yang turun 12% menjadi Rp 44,73 triliun, dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp 50,72 triliun.
Penurunan penjualan terjadi khususnya di penjualan pasar ekspor yang melorot dari Rp 191,35 miliar menjadi Rp 142,67 miliar.
Adapun untuk pasar lokal, juga terjadi penurunan penjualan rokok yakni jenis sigaret kretek mesin (SKM) turun menjadi Rp 30,50 triliun dari sebelumnya Rp 35,93 triliun.
Sigaret putih mesin (SPM, rokok putih) juga turun menjadi Rp 4,3 triliun dari sebelumnya Rp 5,44 triliun, sementara sigaret kretek tangan (SKT) naik menjadi Rp 9,51 dari sebelumnya Rp 8,91 triliun.
Adapun Gudang Garam juga terdampak. Manajemen GGRM mengatakan terjadi penurunan volume penjualan rokok sepanjang semester I-2020 sebesar 8,8% year on year. Menurut data perusahaan, volume penjualan turun menjadi 42,5 miliar dari sebelumnya 46,6 miliar.
Direktur Gudang Garam Heru Budiman mengatakan selain karena Covid-19, kenaikan harga jual produk sejak Februari-Maret juga memicu terjadinya penurunan jumlah penjualan. Namun, kenaikan harga justru membantu perusahaan mengantongi pendapatan yang lebih besar.
"Mengalami kenaikan 1,75% timbul dari penurunan volume, karena harga jual kita mengalami peningkatan kenaikan harga yang mulai terjadi di bulan Februari-Maret," kata Heru dalam konferensi pers virtual, Senin (24/8/2020).
Penjualan terbesar masih disumbang oleh Sigaret Kretek Mesin (SKM) sebanyak 38,3 miliar batang. Meski demikian, rokok jenis ini mengalami penurunan penjualan dari sebelumnya di periode yang sama tahun sebelumnya.
Kemudian, penurunan paling besar meski tak terlalu besar dampaknya pada perusahaan, terjadi pada rokok mild yang turun menjadi 2,3 miliar batang dari sebelumnya 4,5 miliar batang.
Sedangkan Sigaret Kretek Tangan (SKT) mengalami kenaikan volume penjualan 7,5% menjadi 4,5 miliar dari sebelumnya 4,2 miliar batang.
Sementara itu, kinerja berbeda dicatatkan Wismilak Inti Makmur. Laba bersih WIIM malah terbang 409,67% annualized menjadi Rp43,6 miliar. Pada periode 6 bulan 2019, laba bersih Wismilak hanya Rp 8,55 miliar.
Peningkatan laba pada periode tersebut merupakan sumbangsih pertumbuhan penjualan 27,71% secara year-on-year menjadi Rp 829,26 miliar. Terdapat pula kenaikan pendapatan lain-lain menjadi Rp 8,5 miliar pada periode tersebut.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan Wismilak Surjanto Yasaputera mengakui pertumbuhan penjualan tahun ini didorong oleh dua produk unggulan yang baru dirilis perseroan yakni di segmen SKT (Sigaret Kretek Tangan) dengan jenama Wismilak Satya dan SKM (Sigaret Kretek Mesin) dengan jenama Diplomat Evo.
Dalam paparan publik virtual, Surjanto juga menyampaikan kenaikan tarif cukai yang mengharuskan produsen rokok tier satu menaikkan harga jual membuat produk Wismilak laku di pasaran. Pasalnya, ada peralihan konsumen loyal dari rokok tier satu ke produk Wismilak yang harganya lebih murah.
"Produk rokok kita berada pada range [harga] yang cukup affordable sehingga bisa menjadi alternatif pengganti rokok yang sebelumnya terlalu mahal harganya," ujar Surjanto.
Terkait dengan cukai, pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan kembali menaikkan cukai IHT. Dalam Nota Keuangan RAPBN 2021, penerimaan kepabeanan dan cukai pada 2021 diekspektasikan masih mampu tumbuh hingga 3,8% (yoy).
Secara lebih rinci, cukai tembakau ditargetkan naik dari Rp 164,9 triliun ke Rp 172,76 triliun atau naik 4,8%.
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo menilai kebijakan cukai selalu menjadi tantangan yang membayangi sektor IHT, tekanan kenaikan cukai dan harga rokok di tahun 2020 memberi dampak signifikan pada turunnya IHT, ditambah lagi dengan imbas pandemi Covid-19 yang belum bisa diatasi sepenuhnya.
"Rencana kenaikan cukai tahun 2021 menjadi kekhawatiran baru," katanya.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan merencanakan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) alias cukai rokok dalam beberapa tahun ke depan.
Kebijakan ditempuh guna mengejar target pembangunan dari sisi fiskal maupun peningkatan daya saing manusia di bidang kesehatan. Rencana itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024.
Di sisi lain, kebijakan tersebut harus disikapi secara hati-hati. Kepala Sub Bidang Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Sarno, mengamini sektor IHT berkontribusi besar terhadap penerimaan negara.
Terlebih di tengah pandemi, sewaktu penerimaan pajak hingga kepabeanan yang menurun, penerimaan cukai justru tetap bertumbuh.
"Cukai tumbuh 3,7%, paling besar sekitar 80% adalah cukai rokok yang sepanjang semester pertama tahun ini sudah mencapai Rp85 triliun lebih," kata Sarno, dalam pernyataan resmi usai seminar online Tobacco Series#3.
Dia mengungkapkan pemerintah menyadari peran penting IHT bagi perekonomian, sehingga setiap kebijakan terkait disusun dengan tujuan mencapai keseimbangan.
"Pelibatan berbagai kementerian telah dilakukan, bahkan untuk kebijakan pun harus melalui Ratas [Rapat Terbatas]," kata Sarno.
Hal senada juga dilontarkan Analis Kebijakan Madya Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai Bea Cukai Kemenkeu Hary Kustowo. Menurutnya, pemerintah berupaya keras menciptakan keseimbangan antara kondisi industri IHT, komitmen pro kesehatan, dan kesinambungan penerimaan negara.
"Tidak bisa memang salah satunya yang dominan, di tengah kami juga harus mengejar target cukai yang telah ditetapkan. Kenaikan cukai tinggi ini dampaknya juga rokok ilegal, sulit untuk diberantas apabila sudah masif," kata Hary.
Hendratmojo Bagus Hudoro Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian mengakui imbas kenaikan cukai maupun minimum HJE berimbas langsung kepada sisi hulu IHT, yakni para petani.
Menurutnya, dengan kenaikan cukai dan harga rokok, membuat penyerapan tembakau di sisi petani tidak optimal dan membuat ketidakpastian harga.
"Dengan menghitung dampak luas hingga sisi hulu sektor pertanian, maka perlu ditemukan keseimbangan dan solusi yang sinergis. Penurunan produksi IHT berkorelasi dengan penyerapan bahan baku tembakau dan cengkeh," tegasnya.
Di tengah banyaknya tarik menarik kepentingan kebijakan dalam IHT, Pemerintah juga menyatakan tengah berupaya menyusun peta jalan kebijakan yang komprehensif mengatur IHT.
"Untuk mengatur IHT tidak bisa melihat secara parsial, harus keseluruhan rantainya," kata Budidoyo.
"Semua pihak harus dilibatkan pada proses penyusunan peta jalan IHT. Saat kesepakatan tentang peta jalan sudah dicapai maka penting untuk semua pihak untuk komitmen menjalankan, pihak industri maupun kesehatan. Mempertimbangkan tekanan yang luar biasa pada IHT di tahun ini maka kami berharap tidak ada kenaikan cukai tembakau di tahun 2021," tegasnya.