AISA, BUMI dkk Ekuitasnya Negatif Lho, Layak Beli Gak Sih?

Tri Putra, CNBC Indonesia
07 September 2020 14:07
Kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand di Bursa Efek Indonesia, Senin (18/2/2019). kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand di Bursa Efek Indonesia, Senin (18/2/2019). kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Selama beberapa pekan terakhir terjadi anomali di pasar modal. Anomali ini adalah banyaknya emiten yang fundamental perusahaannya belum membaik, tapi harga sahamnya berhasil melesat tinggi.

Tercatat emiten-emiten yang memiliki ekuitas negatif, harga sahamnya justru berhasil melesat hingga puluhan persen selama 2 minggu terakhir.

Emiten dengan ekuitas negatif artinya emiten tersebut memiliki utang lebih banyak daripada aset. Imbasnya, apabila emiten tersebut sudah tidak mampu membayar utangnya maka meskipun seluruh aset dijual tetap tidak akan cukup untuk membayar utang. Bila hal ini terjadi, biasanya pemegang saham publik terpaksa gigit jari.

Investasi jangka panjang di emiten-emiten ini tidak banyak direkomendasikan para analis karena selain ekuitasnya negatif, good corporate governance (GCG) juga dipertanyakan, berikut juga dengan kelangsungan usaha emiten terkait.

Karena hal inilah biasanya emiten-emiten yang sudah lama memiliki ekuitas negatif dalam jumlah besar yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) akan ditandai oleh regulator bursa dengan notasi E agar investor dapat waspada dan mengecek kembali sebelum melakukan pembelian saham tersebut.

Memang investor tidak bisa langsung mengecap saham dengan ekuitas negatif itu sebagai saham 'kaleng-kaleng' karena ada beberapa perusahaan besar dan terkenal juga memiliki ekuitas negatif.

Contohnya perusahaan produsen rokok global asal Amerika Serikat, Philip Morris International (PMI) per Q2 2020 memiliki ekuitas sebesar negatif US$ 11,997 miliar atau Rp 177 triliun (kurs Rp 14.750/US$).

Akan tetapi pemegang rokok merek Marlboro ini memiliki ekuitas negatif karena manajemen perusahaan getol melakukan pembelian kembali saham yang beredar di pasar alias buyback.

Bahkan jika melihat laporan keuangan perusahaan yang pada kuartal kedua tahun ini masih mampu membukukan keuntungan bersih sebesar US$ 3,83 miliar atau Rp 56 triliun sehingga negatifnya ekuitas PMI dapat di justifikasi.

Bahkan keberanian manajemen untuk terus melakukan buyback saham bisa dijadikan sinyal positif bagi para investor untuk berinvestasi di saham ini.

Tapi bagaimana di Indonesia?

Apakah saham-saham dengan ekuitas negatif dapat dijustifikasi dan masih layak untuk investasi?

Atau lebih baik investor hanya melakukan scalping alias trading jangka pendek atau menengah saja di saham ini?

Simak tabel berikut.

Kenaikan tertinggi saham dengan ekuitas negatif selama 2 pekan terakhir dipimpin oleh PT Acset Indonusa Tbk (ACST) yang harga sahamnya berhasil melesat 69,43%.

Anak usaha Astra yang memiliki ekuitas sebesar negatif Rp 23,7 miliar ini baru saja merampungkan rights issue di harga Rp 262/saham untuk melunasi utangnya kepada induk usahanya, PT United Tractors Tbk (UNTR).

UNTR adalah anak usaha Astra sehingga menurut prospektus rights issue transaksi ini merupakan transaksi afiliasi dengan pemegang saham mayoritas yang sama secara tidak langsung.

Meskipun berhasil melesat tinggi belakangan ini, akan tetapi tercatat sebagian besar perusahaan yang memiliki ekuitas negatif tidak mampu membukukan keuntungan.

Keuntungan bersih per saham (EPS) paling rendah dibukukan oleh PT Bakrie Sumatra Plantations Tbk (UNSP) yang membukukan rugi bersih sebesar Rp 2.429/saham. Pada kuartal pertama tahun 2020 sendiri UNSP terpaksa merugi Rp 1,52 triliun. UNSP sendiri memiliki ekuitas negatif terbesar yakni minus Rp 5,99 triliun.

Akan tetapi pasar tampaknya tidak mengindahkan hal ini sebab harga saham UNSP berhasil melesat tinggi 63,79% selama 2 minggu terakhir.

Sedangkan untung bersih hanya mampu dibukukan oleh PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA) sebesar Rp 2/saham, atau hanya sebesar Rp 2,7 miliar pada kuartal pertama 2020. Sahamnya sendiri berhasil melesat 39,29% setelah sahamnya sempat 'dipenjara' oleh BEI selama 2 tahun.

Meskipun berhasil mencetak laba, kemampuan AISA untuk bertahan di tengah pandemi virus corona juga masih belum dapat dilihat seutuhnya pasca restrukturisasi karena laporan keuangan kuartal kedua tahun 2020 belum dirilis.

Apalagi AISA tampaknya masih belum mampu rutin membukukan keuntungan setiap tahun. Tercatat AISA masih membukukan rugi bersih pada tahun 2017 dan 2018.

Pada tahun 2019 AISA berhasil membukukan keuntungan bukan dari operasional perusahaan tapi dari pos pendapatan lainnya yakni pembalikan atas penurunan nilai piutang sebesar Rp 990 miliar.

Perusahaan produsen makanan ringan Taro juga baru saja berencana untuk mencari modal tambahan dengan melakukan aksi korporasi private placement senilai Rp 1,2 triliun.

Dana yang diperoleh dari private placement ini rencananya akan digunakan untuk memperbaiki kondisi keuangan perusahaan khususnya membayar utang-utang atau kewajiban-kewajiban finansial perusahaan, serta memperkuat struktur permodalan.

Selain itu emiten berekuitas negatif yang juga berhasil membukukan keuntungan adalah PT Ancora Indonesia Resources Tbk (OKAS).

Sejatinya total ekuitas OKAS nilainya positif yakni US$ 14,97 juta akan tetapi tercatat pos kepentingan non-pengendali tercatat sebesar US$ 16,88 juta sehingga ekuitas yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk hanyalah sebesar minus US$ 1,91 juta karena kepentingan non-pengendali bukan milik para pemegang saham.

Pada kuartal pertama tahun 2020 OKAS berhasil membukukan laba bersih sebesar US$ 3,5 juta, dengan kurs Rp 14.750/US$, laba per saham disetahunkan OKAS berada di angka Rp 116/saham.

Akan tetapi lagi-lagi kemampuan perusahaan tambang ini untuk bertahan di tengah pandemi virus corona juga masih belum dapat dilihat seutuhnya pasca restrukturisasi karena laporan keuangan kuartal kedua tahun 2020 belum dirilis.

Tak hanya itu, OKAS juga masih belum mampu rutin membukukan keuntungan bersih setiap tahun.

Hal inilah yang menyebabkan saham-saham yang memiliki ekuitas negatif menurut Tim Riset CNBC Indonesia, belum cocok dibeli sebagai instrumen investasi jangka panjang oleh para investor yang memiliki tingkat toleransi risiko yang rendah.

Saham ini biasanya lebih cocok untuk di-trading-kan jangka pendek dan menengah oleh para day trader dan scalper.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular