Jakarta PSBB Total Lagi, Sudah Waktunya "Ternak" Dolar AS?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 September 2020 15:57
mata uang dolar rupiah dollar
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan kembali menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) total, mulai 14 September mendatang akibat tren penambahan kasus pandemi penyakit virus corona (Covid-19).

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan hal tersebut kemarin malam. Pengumuman tersebut memberikan efek kejut terhadap rupiah pada perdagangan hari ini, Kamis (10/9/2020).

Rupiah sempat melemah 0,68% ke Rp 14.880/US$, sebelum mengakhiri perdagangan di level Rp 14.820/US$, melemah 0,27% di pasar spot, melansir data Refinitiv. 

"Kita akan menarik 'rem darurat' yang itu artinya kita terpaksa kembali menerapkan PSBB seperti pada masa awal pandemi dulu. Bukan lagi PSBB Transisi, tetapi kita harus melakukan PSBB sebagaimana masa awal dulu," kata Anies.

Artinya perkantoran, pabrik, restoran, kafe, pusat perbelanjaan, dan sebagainya terpaksa ditutup lagi.

Bank Dunia dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juli 2020, dengan judul The Long Road to Recovery memperkirakan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi -2% pada 2020 jika resesi global ternyata lebih dalam dan pembatasan sosial (social distancing) domestik lebih ketat.

"Ekonomi Indonesia bisa saja memasuki resesi jika pembatasan sosial berlanjut pada kuartal III-2020 dan kuartal IV-2020 dan/atau resesi ekonomi dunia lebih parah dari perkiraan sebelumnya," tulis laporan Bank Dunia.

Dengan demikian, Indonesia hampir pasti mengalami resesi di kuartal ini. Bahkan, produk domestik bruto (PDB) di kuartal IV juga berisiko terkontraksi jika PSBB total berlangsung hingga bulan depan. Maklum saja, kontribusi Jakarta terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional adalah yang tertinggi dibandingkan provinsi lainnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali mengingatkan risiko kontraksi ekonomi di kuartal III-2020.

"Kontraksi ekonomi Indonesia di tahun 2020 ini di kuartal kedua kemungkinan masih akan berlangsung, dari sisi kuartal ketiga meskipun suasana kuartal ketiga mungkin relatif lebih baik dari kuartal kedua tersebut," ujarnya di Gedung DPR RI.

Sri Mulyani mengatakan kuartal III masih akan berada di zona negatif karena penyebaran Covid-19 masih terus meluas sehingga kebijakan pembatasan sosial kembali dilakukan.

Dengan kondisi ini, maka outlook ekonomi Indonesia di tahun ini pun direvisi ke bawah. Pertumbuhan ekonomi sebelum Covid-19 diprediksi bisa tumbuh 5,3% dan saat ini menjadi -1,1 sampai 0,2%.

Akibatnya, rupiah tentunya dibayangi sentimen negatif, sehingga ada risiko melemah ke depannya. Bahkan, disebut bisa saja menjadi Rp 17.000/US$ oleh Direktur PT TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi, saat berbincang dengan CNBC indonesia.

"Kemungkinan besar bergerak di kisaran Rp 14.700/US$ sampai Rp 15.500/US$ karena ada kekecewaan pasar. Tapi bisa saja sampai Rp 17.000/US$ karena hiruk pikuk yang terjadi," jelasnya.

Kondisi dolar AS sebenarnya juga sedang kurang bagus, bahkan ada yang memprediksi akan melemah hingga tahun depan. Sehingga meski rupiah sedang tertekan, belum tentu juga akan mengalami pelemahan yang signifikan.

Pada pekan lalu, indeks dolar AS menyentuh level terendah dalam lebih dari 2 tahun terakhir. Salah satu pemicu lesunya dolar AS yakni pemulihan ekonomi yang diprediksi akan berjalan lebih lambat ketimbang negara-negara lainnya, khususnya negara di Eropa.

Selain itu kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunga acuannya menjadi 0,25, serta menerapkan kembali program pembelian aset atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE), membuat perekonomian AS menjadi banjir likuiditas, akibatnya dolar AS melemah.

Kebijakan terbaru The Fed memperburuk kinerja the greenback. Bos The Fed, Jerome Powell, pada Kamis (27/8/2020) malam mengubah pendekatannya terhadap target inflasi. Sebelumnya The Fed menetapkan target inflasi sebesar 2%, ketika sudah mendekatinya maka bank sentral paling powerful di dunia ini akan menormalisasi suku bunganya, alias mulai menaikkan suku bunga.

Kini The Fed menerapkan "target inflasi rata-rata" yang artinya The Fed akan membiarkan inflasi naik lebih tinggi di atas 2% "secara moderat" dalam "beberapa waktu", selama rata-ratanya masih 2%.

Dengan "target inflasi rata-rata" Powell mengatakan suku bunga rendah bisa ditahan lebih lama lagi, guna membantu perekonomian yang mengalami resesi akibat pandemi Covid-19.

Suku bunga rendah yang ditahan dalam waktu yang lama tentunya berdampak negatif bagi dolar AS.

"Pemicu utama pelemahan dolar AS dalam 4 atau 5 bulan terakhir adalah kebijakan moneter The Fed," kata Lee Hardman, ekonom di MUFG, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (4/9/2020).

Selain itu, ketidakpastian politik di AS jelang Pemilu Presiden bulan November, serta keraguan pasar akan pemulihan ekonomi Paman Sam juga menjadi penekan dolar AS.

Hasil survei Reuters terhadap 75 analis di bulan menunjukkan sebanyak 31% memprediksi harga dolar AS masih akan merosot hingga tahun depan. Namun, terjadi penurunan yang lumayan dibandingkan survei bulan Agustus dimana ada 39% yang memprediksi hal yang sama.

Sementara itu, sebanyak 32% dari total yang merespon survei Reuters meramal tren penurunan dolar AS kana berhenti kurang dari 3 bulan ke depan. Persentase tersebut meningkat tajam ketimbang bulan Agustus sebesar 18%. Artinya para analis juga semakin banyak yang melihat perekonomian AS mulai ke arah positif.

Jika dolar AS diramal masih akan melemah hingga tahun depan, rupiah sedang mendapat angin segar, setidaknya pekan lalu.

Survei terbaru yang dirilis Reuters menunjukkan bahwa investor kini mulai mengambil posisi beli (long) terhadap rupiah, setelah mengambil posisi jual (short) dalam 4 survei beruntun atau dalam 2 bulan terakhir.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.

Hasil survei yang dirilis pada Kamis (3/9/2020), menunjukkan angka -0,19 turun tipis dibandingkan hasil survei sebelumnya 0,43. Angka yang masih negatif mengindikasikan investor masih mengambil posisi beli rupiah, dan jual terhadap dolar AS.

Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah di tahun ini. Dalam 2 bulan terakhir, saat investor mengambil posisi jual, rupiah mengalami pelemahan 2,68%.

Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor.

Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.

Kini dengan investor kembali mengambil posisi beli, rupiah punya peluang untuk kembali menguat.

Memang survei ini dilakukan sebelum PSBB total kembali diterapkan di Jakarta. Survei terbaru akan dirilis pada Kamis (17/9/2020) pekan depan, dan bisa memberikan gambaran bagaimana sentimen investor asing.

Jika posisi yang diambil masih long, artinya PSBB total tidak terlalu mempengaruhi sentimen investor asing. Tetapi jika posisi yang diambil kembali short, patut waspada dolar AS akan menguat, "ternak" dolar berpotensi menguntungkan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular