
Komoditas Paling Cuan di Agustus Goes to...Minyak Mentah!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada bulan Agustus, harga komoditas yang melesat paling tinggi adalah minyak mentah, kemudian disusul oleh minyak sawit mentah (CPO) baru batu bara.
Sampai dengan akhir Agustus, pandemi Covid-19 masih terus merebak di seluruh penjuru dunia. Lebih dari 25 juta orang telah terjangkit Covid-19 sejak awal tahun ini. Meski ada perbaikan dari sisi mobilitas, namun tetap saja aktivitas ekonomi belum pulih.
Harga-harga komoditas yang tadinya berguguran mulai bergerak naik terutama harga minyak mentah. Sejak relaksasi lockdown mulai dilakukan di banyak negara pada awal Mei, harga minyak rebound.
Kemudian harga minyak cenderung bergerak dengan volatilitas rendah setelahnya. Di bulan Agustus harga minyak untuk kontrak Brent dan WTI keduanya masing-masing mengalami kenaikan 4,87% dan 5,81%.
Meski dari sisi pasokan organisasi eksportir minyak dan koleganya (OPEC+) mulai menurunkan pemangkasan produksi dari 9,7 juta barel per hari (bpd) menjadi 7,7 juta bpd, ke depan pertambahan pasokan tidak akan sampai 2 juta bpd.
Alasannya karena permintaan yang berangsur membaik serta komitmen anggota OPEC+ terhadap pakta pemangkasan produksi. Lagipula negara-negara yang memiliki kepatuhan rendah seperti Iraq juga berjanji untuk memberikan kompensasi atas kelebihan kuota produksinya pada bulan-bulan sebelumnya.
Meskipun ada Badai Laura yang menerjang wilayah pantai AS dan Mexico tempat beroperasinya produksi minyak, tetapi hal tersebut dapat diantisipasi sehingga tidak terlalu berdampak pada pasokan minyak AS. Sehingga tidak terjadi lonjakan harga yang signifikan.
Mengutip Reuters, Goldman Sachs memperkirakan harga Brent akan naik pada 2021, didukung oleh pasar minyak yang lebih ketat dan pemulihan ekonomi dari kemerosotan yang disebabkan oleh pandemi virus corona serta dibantu oleh kemungkinan ditemukannya vaksin.
Goldman memperkirakan harga Brent akan naik ke US$ 65 per barel pada kuartal ketiga 2021 dan rata-rata US$ 59,40 untuk tahun ini.
"Kunci bagi ketahanan harga spot meskipun ada penarikan persediaan yang terhenti di musim panas ini adalah reli yang terjadi untuk harga jangka panjang," kata bank investasi global tersebut dalam sebuah catatan tertanggal 30 Agustus.
Beralih ke komoditas unggulan asal Indonesia dan Malaysia yakni sawit, harga CPO juga ikut mengalami penguatan di bulan lalu. Di sepanjang Agustus, harga CPO untuk kontrak yang aktif ditransaksikan menguat 3,52%.
Meski ekspor turun 13,1% dari bulan sebelumnya menjadi 1,4 juta ton serta memasuki musim puncak produksi, stok diperkirakan tak akan terlalu melonjak tinggi.
Pasalnya kekurangan pekerja perkebunan di Negeri Jiran hingga penurunan produksi Indonesia di sepanjang semester I yang kemungkinan akan berlanjut jadi faktor pemicu mengapa harga CPO masih mampu menguat.
Berbeda dengan minyak mentah dan CPO, harga batu bara cenderung nelangsa. Harga batu bara sempat tertekan hebat dan turun ke bawah US$ 50/ton dan menyentuh level terendahnya dalam empat tahun terakhir.
Penurunan permintaan akibat kontraksi konsumsi listrik sektor komersial dan industri dan masih tingginya stok menjadi pemicu anjloknya harga. Apalagi akibat pandemi Covid-19 mulai banyak negara yang akan beralih dari batu bara ke sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan.
Setidaknya harga gas yang terlampau murah dan berlimpah membuat banyak negara yang beralih dari batu bara ke gas untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listriknya. Di samping itu kenaikan penggunaan energi terbarukan juga mulai menggerus pangsa pasar batu bara.
Dalam rilis laporan terbarunya yang bertajuk Global Energy Review 2020, badan energi internasional (IEA) memperkirakan permintaan batu bara global diproyeksikan turun 8% dibanding tahun 2019. Ini merupakan penurunan paling tajam sejak perang dunia kedua (PD II).
IEA memperkirakan permintaan batu bara China sebagai konsumen terbesarnya di tahun ini bakal turun 5%. Penurunan permintaan batu bara juga akan dialami oleh negara-negara lain, seperti halnya India yang menjadi konsumen terbesar kedua setelah China.
Perlambatan aktivitas ekonomi global disertai dengan kelimpahan tinggi dan harga gas yang murah memicu banyak negara beralih dari batu bara ke gas.
Pandemi Covid-19 juga dimanfaatkan sebagai momentum untuk mendongkrak pangsa pasar sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan. Hal ini banyak dilakukan di negara-negara terutama Eropa.
Di belahan dunia lainnya, permintaan batu bara akan menurun tajam pada tahun 2020. Bahkan di Asia Tenggara, wilayah dengan pertumbuhan tercepat dalam beberapa tahun terakhir, di mana pembangkit listrik tenaga batu bara dibatasi oleh permintaan listrik yang lebih rendah, terutama di Malaysia dan Thailand.
"Kami juga memperkirakan penurunan permintaan batu bara yang signifikan di negara-negara maju: sebesar 25% di Amerika Serikat, sekitar 20% di Uni Eropa, dan 5% hingga 10% di Korea dan Jepang." tulis IEA dalam laporannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Naik 88%, Minyak Jadi Jawara Komoditas Sepanjang Mei