Bikin Khawatir! Tahun Ini, Banyak Emiten Terancam Pailit

Tri Putra, CNBC Indonesia
01 September 2020 13:32
Ilustrasi Bursa, Pergerakan Layar IHSG di Gedung BEI Bursa Efek Indonesia  (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa, Pergerakan Layar IHSG di Gedung BEI Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir-akhir ini di tengah serangan pandemi virus corona yang masih belum ada kejelasan kapan akan berakhir, banyak emiten yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami kesulitan likuiditas.

Kesulitan dana tersebut menyebabkan beberapa di antaranya tidak mampu membayar utang sehingga emiten tersebut terpaksa mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) bahkan beberapa emiten ada yang sedang menghadapi gugatan pailit dan adapula yang sudah dinyatakan pailit.

Memang skema PKPU ini sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pasal 222 ayat (2) disebutkan bahwa:

"Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor."

Deretan Emiten dalam Proses PKPU, Gugatan Pailit & Pailit

Berdasarkan data di atas, dapat dilihat rata-rata emiten yang terkena masalah likuiditas memiliki rasio utang yang kurang baik.

Secara rule of thumb sendiri rasio utang dibandingkan dengan ekuitasnya (DER, debt to equity ratio) biasanya dikatakan sehat apabila berada di bawah angka 100%, akan tetapi ini tentunya berbeda-beda dari satu sektor ke sektor lainnya.

Tercatat DER perusahaan-perusahaan yang bermasalah ini berada di atas angka 100%, bahkan PT Grand Kartech Tbk (KRAH) memiliki rasio DER sebesar 1.633% yang artinya utang KRAH 16 kali lipat lebih besar daripada ekuitasnya.

Selanjutnya Quick Ratio (QR) perusahaan yang biasanya digunakan untuk melihat kemampuan perusahaan untuk membayar utang jangka pendeknya dengan melakukan perbandingan aset lancar dikurangi dengan inventorinya (karena biasanya inventori sulit untuk dilikuidisasi) dengan utang jangka pendeknya juga kurang sehat.

Tercatat emiten-emiten pesakitan ini memiliki QR di bawah 100% yang artinya terdapat potensi kegagalan bagi emiten tersebut untuk melunasi utang jangka pendeknya.

Untuk emiten-emiten yang memiliki QR di atas 100% di tabel di atas, ternyata laporan keuangannya tidak up to date sehingga tidak mencerminkan kondisi keuangan sekarang ini.

Emiten yang memiliki QR di atas 100% dan sudah merilis laporan keuangan Q2-2020 hanyalah PT Global Mediacom Tbk (BMTR) dari Grup MNC. Rasio QR BMTR berada di kisaran 104,41% sehingga BMTR tergolong mampu untuk melunasi utang jangka pendeknya.

Emiten yang baru-baru ini sahamnya diborong oleh investor kawakan Lo Kheng Hong ini digugat pailit oleh KT Corporation perusahaan asal Korea Selatan yang menyatakan bahwa BMTR tidak mampu dalam melunasi utangnya.

Pihak BMTR sudah menyatakan bahwa gugatan tersebut salah alamat.

Direktur Legal Global Mediacom Christophorus Taufik mengatakan permohonan tersebut tidak berdasar atau tidak valid karena perjanjian yang dijadikan dasar dari permohonan telah dibatalkan berdasarkan putusan PN Jakarta Selatan No. 97/Pdt.G/2017/PN.Jak.Sel tanggal 4 Mei 2017 yang telah berkekuatan hukum tetap.

"Bahwa yang mengajukan Permohonan adalah KT Corporation yang patut dipertanyakan validitasnya, mengingat pada tahun 2003 yang berhubungan dengan Perseroan adalah KT Freetel Co. ltd, dan kemudian pada tahun 2006 hubungan tersebut beralih kepada PT KTF Indonesia," kata Christophorus kepada CNBC Indonesia.

Meski demikian, di luar kasus pailit yang juga bermasalah, mayoritas emiten yang berada dalam proses PKPU, pailit dan dinyatakan pailit di atas juga datang dari sektor properti yang kita tahu terdampak cukup parah oleh virus corona.

Di tengah pandemi ini tentunya sektor properti akan kesulitan dalam menjual unit propertinya karena memang daya beli masyarakat yang sedang turun.

Beberapa emiten juga memang sudah kesulitan dalam melunasi pembayaran utang sebelum tahun 2020 karena sektor bisnis yang sudah ketinggalan zaman sehingga ketika di tahun ini Indonesia kedatangan virus corona, para emiten yang kasnya sudah seret menjadi semakin merana.

Kondisi itu seperti dialami PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE) yang sahamnya sempat disuspensi bursa karena pembayaran obligasi yang bermasalah Februari silam. Pada Juni lalu saham TELE kembali dihentikan sementara oleh bursa setelah muncul keraguan terhadap keberlangsungan usaha perseroan.

TELE sendiri merupakan perusahaan yang utamanya bergerak di sektor penjualan voucher pulsa yang dianggap sudah ketinggalan jaman sebab sekarang konsumen sudah bisa mengisi pulsa dengan lebih praktis via internet banking ataupun aplikasi pembayaran daring seperti OVO dan Gopay.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular