
Semester I: Emas Tiada Tandingan, Berkilau Sendirian

Jakarta, CNBC Indonesia - Waktu berlalu dengan cepat, tak terasa satu semester di tahun 2020 telah berlalu. Dari berbagai jenis komoditas utama yang diperdagangkan baik di pasar berjangka maupun spot, logam mulia emas memberikan imbal hasil yang paling tinggi.
Berbagai peristiwa telah terjadi dalam enam bulan terakhir. Secara umum ada beberapa tema global untuk tahun ini, mulai dari tensi dagang dan geopolitik hingga pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) yang memicu tingginya volatilitas di pasar keuangan sampai menimbulkan konsekuensi resesi global.
Tensi dagang dan geopolitik terjadi di banyak poros. Mulai dari AS-China hingga AS-Iran. Konflik antara Negeri Paman Sam dengan Iran atas terbunuhnya Jenderal Qassem Soleimani sempat memicu pasar minyak bergejolak.
Tak mau ketinggalan perseteruan juga sempat terjadi antara Arab Saudi dengan Rusia. Perseteruan terjadi di momen yang tidak pas. Kala lockdown memaksa lebih dari 3 miliar orang dikurung di rumah dan permintaan bahan bakar turun, Arab Saudi dan Rusia malah perang harga.
Alhasil harga minyak kena pukulan ganda (double hit) berupa negative demand shock sekaligus positive supply shock. Untuk pertama kalinya dalam sejarah harga minyak (WTI) jatuh ke teritori negatif.
Artinya saking banyaknya pasokan, produsen rela membayar konsumen agar mau menerima minyak secara gratis lantaran fasilitas penyimpanan sudah hampir penuh. Sungguh tragis memang.
Namun mau bagaimana lagi, harga minyak sangat bergantung pada komoditas. Saat lockdown mobilitas orang dan barang mandek. Travel ban memicu anjloknya jumlah penumpang dan penerbangan komersil, sektor pariwisata dan transportasi ikut lumpuh.
Saking masifnya lockdown permintaan minyak bahkan jatuh nyaris 30% pada April dan Mei lalu. Meski relaksasi lockdown mulai dilakukan banyak negara sejak Mei, tetapi harga minyak masih terkoreksi jika dibandingkan dengan awal tahun.
Berdasarkan data Refinitiv datastream pada semester pertama tahun ini harga minyak Brent dan WTI masih terkoreksi masing-masing sebesar 37,65% dan 35,69%.
Koreksi harga minyak juga turut mendorong jatuhnya harga komoditas lain seperti batu bara yang juga sumber energi primer serta minyak nabati seperti CPO yang juga merupakan bahan baku produk substitusi minyak.
Lockdown membuat pasar batu bara lintas laut lesu dan tak bergairah. Permintaan mengalami penurunan akibat kebutuhan listrik untuk sektor komersil seperti mall dan industri mengalami penurunan.
Harga batu bara semakin tertekan dan susah rebound dengan adanya isu retaknya hubungan dagang antara China dengan Australia. China secara tiba-tiba menaikkan bea masuk impor barley asal Australia.
Langkah ini disinyalir merupakan cerminan dari ketidaksukaan China akan keterlibatan Negeri Kangguru dalam mendorong adanya investigasi mandiri untuk mengusut asal muasal virus corona.
Kondisi yang memprihatinkan ini membuat harga batu bara ambles 22,66% di sepanjang semester satu tahun ini. Namun anjloknya harga batu bara masih lebih baik ketimbang harga CPO.
Pada periode yang sama harga CPO Negeri Jiran anjlok 24,74%. Ketika lockdown permintaan minyak nabati untuk biodiesel hingga konsumsi melemah.
Apalagi minyak sawit di India sebagai importir terbesar di dunia lebih banyak digunakan di restoran dan hotel ketimbang untuk konsumsi rumah tangga. Tentu permintaannya menjadi anjlok signifikan karena restoran dan hotel sepi pengunjung bahkan sampai tutup.
Dunia diramal mengalami kontraksi ekonomi yang sangat dalam. Lembaga keuangan global IMF dalam proyeksi terbarunya memperkirakan ekonomi global terkontraksi 4,9% di tahun ini.
Lebih lanjut IMF juga menyoroti adanya risiko ketidakpastian yang tinggi seputar kapan berakhirnya pandemi, ancaman gelombang kedua wabah, kerusuhan sosial hingga tensi dagang antar negara.
Dengan adanya risiko ketidakpastian yang tinggi ini, banyak investor yang semakin agresif memburu aset safe haven salah satunya emas. Minat investor terhadap emas yang tinggi turut melambungkan harganya.
Di sisi lain fundamental emas juga memang kokoh. Suku bunga yang rendah hingga stimulus moneter dan fiskal yang jor-joran berpotensi memicu tingginya inflasi di masa mendatang. Emas sebagai aset lindung nilai (hedging) mendapat berkahnya. Prospek jangka panjang emas dinilai masih positif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article CPO ke Batu Bara & Minyak, Mana yang Paling 'Licin' Sepekan?