Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan kembali menurunkan suku bunga acuan dalam rapat bulan ini. Kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rasanya lebih tinggi ketimbang menjaga stabilitas.
BI menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Juli 2020 pada 15-16 Juli. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan media BI 7 Day Reverse Repo Rate di angka 4%. Artinya, turun 25 basis poin (bps) dari posisi saat ini di 4,25%.
Institusi | BI 7 Day Reverse Repo Rate (%) |
ING | 4.25 |
Citi | 4 |
CIMB Niaga | 4 |
Maybank Indonesia | 4.25 |
BCA | 4.25 |
Bank Danamon | 4.25 |
Mirae Asset | 4 |
ANZ | 4 |
Moody's Analytics | 4 |
Danareksa Research Institute | 4 |
BNI Sekuritas | 4.25 |
Bahana Sekuritas | 3.75 |
MEDIAN | 4 |
Sejumlah data ekonomi terbaru menunjukkan bahwa perlu dorongan lebih lanjut, termasuk oleh bank sentral. Pada kuartal II-2020, penyaluran kredit baru yang dicerminkan oleh Saldo Bersih Tertimbang (SBT) anjlok -33,9%. Kredit konsumsi ambles -68,6% dan kredit modal kerja rontok -19,5%.
"PMI (Purchasing Managers' Index) manufaktur Indonesia berada di zona kontraksi selama empat bulan berturut-turut walau sejumlah aktivitas masyarakat sudah dibuka kembali. Berdasarkan pengamatan lapangan saat mal dibuka kembali, kelas menengah (yang menyumbang lebih dari 50% perekonomian Indonesia, masih sangat defensif. Perkembangan ini membuat kami memperkirakan kontraksi ekonomi pada kuartal II-2020 bisa mencapai 2,87%," jelas Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, dalam risetnya.
Pertimbangan stabilitas eksternal kerap menjadi faktor yang membuat BI menahan diri untuk menurunkan suku bunga acuan. Sekarang, sepertinya faktor itu tidak perlu dikahwatirkan.
Stabilitas eksternal diukur dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), wabil khusus transaksi berjalan (current account) yang mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Minimal untuk neraca perdagangan barang, BI rasanya tidak perlu terlampau cemas.
Hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2020 surplus US$ 1,2 miliar. Sepanjang kuartal II-2020, neraca perdagangan membukukan surplus yang besar, nyaris US$ 3 miliar. Lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang positif US$ 2,59 miliar.
Oleh karena itu, sepertinya transaksi berjalan pada kuartal II-2020 akan lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya, yang defisit 1,42% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pasokan devisa ke perekonomian domestik membaik, sehingga menjadi modal bagi stabilnya nilai tukar rupiah.
Dari 12 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus CNBC Indonesia, ada satu yang memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat akan menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sampai 50 bps ke 3,75%. Insitusi tersebut adalah Bahana Sekuritas.
"Saat ini fundamental rupiah cukup kuat, sehingga risiko pelemahan akibat penurunan suku bunga acuan 50 bps bisa dikesampingkan. Pelemahan tajam nilai tukar rupiah hanya akan terjadi sementara, seperti pengalaman pada kuartal I-2020," tegas Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.
Pada kuartal I-2020, tepatnya pada Maret, rupiah memang melemah gila-gilaan. Saat itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sampai menyentuh kisaran Rp 16.000/US$, terlemah sejak krisis ekonomi 1998.
Namun, seperti yang disampaikan Satria, fenomena itu temporer belaka. Selepas Maret, rupiah terus menguat bahkan menjadi mata uang terbaik Asia pada kuartal II-2020 dengan penguatan mencapai belasan persen.
Surplus perdagangan Indonesia yang mencapai lebih dari US$ 5 miliar pada semester I-2020, lanjut Satria, bisa membuat defisit transaksi berjalan semakin menipis. Pada akhir 2020, Bahana Sekuritas memperkirakan defisit transaksi berjalan bisa di bawah 1,5% PDB.
"Menurunkan suku bunga acuan ibarat melempar satu batu tetapi kena dua burung. Di satu sisi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan di sisi lain menurunkan beban bunga," tulis Satria.
TIM RISET CNBC INDONESIA