Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Conid-19) membuat berbagai negara menempuh kebijakan luar biasa alias extraordinary. Termasuk bank sentral.
Dalam kondisi normal, bank sentral lebih berperan bak rem di kendaraan bermotor. Laju kendaraan harus terkendali, jangan terlalu cepat karena nanti mesin bisa kelewat panas (overheat). Atau lebih fatal lagi, kendaraan bablas dan masuk jurang.
Namun dalam kondisi tidak normal, bank sentral pun dituntut berganti peran. Bukan lagi menjadi rem, tetapi harus menjadi pedal gas yang membuat kendaraan melaju kencang.
Ini yang menjadi latar belakang mengapa berbagai bank sentral di dunia getol menggelontorkan stimulus. Di Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve/The Fed sudah bukan lagi sekadar menurunkan suku bunga acuan. Bank sentral pimpinan Jerome 'Jay' Powell ini sudah 'turun ke jalan' dengan langsung mengulurkan tangan kepada sektor riil.
Belum lama ini, The Fed meluncurkan program senilai US$ 2,3 triliun dalam bentuk pinjaman kepada dunia usaha. Termasuk di dalamnya adalah pinjaman kepada pemerintah negara bagian yang kasnya seret akibat pagebluk virus corona.
Pekan ini, The Fed mengumumkan mengubah skema pembelian obligasi korporasi dengan memasukkan pendekatan indeksasi. Artinya, The Fed akan membeli obligasi korporasi di pasar sekunder yang kemudian menciptakan portofolio baru yang berbasis indeks pasar. The Fed akan menyerap obligasi korporasi berdasarkan indeks yang terbangun dari aset dengan rating minimum tertentu, tenor tertentu, dan berbagai kriteria lainnya.
Selain The Fed, bank sentral Jepang (BoJ) berkomitmen untuk meningkatkan fasilitas pinjaman kepada korporasi hingga US$ 1 triliun dari sebelumnya sekitar US$ 700 miliar. Haruhiko Kuroda, Gubernur BoJ, juga menegaskan siap meningkatkan jumlah fasilitas tersebut jika memang dibutuhkan.
Lalu di negara tetangga, bank sentral Malaysia (BNM) juga menggelontorkan paket stimulus berupa pinjaman langsung kepada dunia usaha, termasuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Ada dua pinjaman yang bisa diakses, pertama adalah Special Relief Facility (SRF) dengan pagu MYR 5 miliar yang diperuntukkan khususnya bagi UMKM berbunga 3,5% per tahun. Kedua adalah All Economic Sector (AES) dengan anggaran MYR 6,8 miliar berbunga 7% per tahun.
Bagaimana dengan Bank Indonesia (BI)? MH Thamrin tentu juga memberikan stimulus, tetapi bentuknya berbeda. Selain menurunkan suku bunga acuan, yang sudah 150 basis poin (bps) sejak awal tahun, BI juga menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) yang mampu menambah likuiditas perbankan nasional.
BI memang tidak turun langsung ke sektor riil, tetapi ikut berperan dalam pembiayaan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai peserta non-kompetitif dalam lelang obligasi pemerintah. Dana yang diserap oleh pemerintah dari lelang tersebut akan masuk ke sektor riil melalui stimulus fiskal.
Mengapa BI tidak sampai membeli obligasi korporasi seperti di AS? Mengapa BI juga tidak langsung memberi fasilitas pinjaman kepada dunia usaha seperti di Jepang dan Malaysia?
Jawaban paling mudah adalah mandat. Sebagai buah reformasi, BI dipisahkan dari pemerintah dan menjadi institusi yang independen. Mandat BI pun menjadi sangat spesifik yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Sementara The Fed juga punya mandat lain di luar menjaga kestabilan harga yaitu mewujudkan penciptaan lapangan kerja yang maksimal. Oleh karena itu, The Fed bisa langsung turun ke sektor riil untuk memastikan dunia usaha tetap sehat dan mampu menciptakan lapangan kerja.
Kemudian BoJ punya mandat untuk mencapai stabilitas harga yang dicerminkan dengan target inflasi 2%. Kali terakhir Negeri Matahari Terbit merasakan inflasi di atas 2% adalah pada 2015.
Untuk mencapai target inflasi 2%, masyarakat harus didorong untuk lebih konsumtif. Daya beli harus dijaga, jangan sampai melorot.
Caranya bisa dengan memberikan pinjaman kepada dunia usaha agar bisa bertahan hidup, terutama dalam masa sulit seperti sekarang. Saat dunia usaha mampu tumbuh, penciptaan lapangan kerja akan terjaga, tidak ada gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan hasilnya daya beli rumah tangga diharapkan dapat meningkat.
Sedangkan BNM diberi mandat untuk menjaga dan meningkatkan stabilitas moneter dan sistem keuangan, menjaga kemajuan sektor finansial, serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan demi kepentingan bangsa. Mandat yang disebut terakhir itu kemudian diterjemahkan dalam bentuk fasilitas pinjaman kepada dunia usaha agar roda ekonomi dapat terus berputar.
Selain itu, BI juga terhalang ketiadaan aturan perundangan untuk bisa 'menyelam' lebih dalam ke sektor riil. Misalnya untuk membeli obligasi korporasi seperti di AS.
BI sudah lama ikut membeli obligasi pemerintah di pasar sekunder. Namun ini dilakukan sebagai salah satu bentuk intervensi untuk 'mengawal' rupiah.
Mulai tahun ini, BI bisa masuk ke pasar perdana obligasi pemerintah alias jadi peserta lelang meski berstatus non-kompetitif. Sebelumnya BI tidak bisa masuk ke lelang Surat Berharga Negara (SBN) karena agak haram hukumnya bank sentral ikut membiayai defisit fiskal, bisa menambah jumlah uang beredar sehingga nilai tukar rupiah bakal 'goyang'.
Masuknya BI ke lelang SBN juga harus dengan regulasi, dalam hal ini Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2020 yang sudah disahkan menjadi UU No 2/2020. Aturan hukum yang kuat membuat BI bisa nyaman masuk ke pasar primer, bahkan sampai ke tahap greenshoe options dan private placement.
Namun untuk obligasi korporasi, belum ada aturan bilang BI bisa masuk. Agak berbahaya jika memaksakan BI untuk mengoleksi obligasi korporasi tanpa dasar yang kuat. Bukan hanya hukum, konsekuensinya bisa melebar ke ranah politik seperti saat penyelamatan Bank Century.
Bagaimana dengan penyaluran kredit ke sektor riil?
Pada zaman Orde Baru, BI memang bisa memberikan kredit langsung kepada dunia usaha seperti Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Namun kala itu posisi BI tidak seperti sekarang yang independen, kebijakan bank sentral ditetapkan oleh pemerintah.
Pada masa Orde Baru, mandat BI juga lebih luas. Tidak hanya mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai rupiah, BI juga bertugas untuk mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Mirip-mirip The Fed lah...
Jadi wajar kalau saat itu BI bisa langsung mengelola kredit kepada dunia usaha. Sekarang dengan mandat yang sangat spesifik dan tidak adanya payung hukum, mustahil untuk melakukan hal serupa.
Dengan kondisi yang penuh kedaruratan dan ketidakpastian seperti sekarang, tentu ada kebutuhan untuk memperluas peran dan fungsi BI. Masyarakat berharap BI bisa berkontribusi lebih banyak, terutama yang langsung ke sektor riil.
Apalagi sebenarnya mandat BI bisa kok diperluas. Pasal (1) UU No 3/2004 memang menyebutkan tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Namun pada pasal (2) disebutkan bahwa BI juga bertugas melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Nah, poin mempertimbangkan kebijakan pemerintah bisa menjadi pintu masuk bagi BI untuk lebih berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Jadi kalau nanti ada kebutuhan BI perlu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan cara memborong obligasi korporasi atau menyalurkan kredit ke pengusaha, why not? Saat kebijakan pemerintah sampai kaki di kepala-kepala di kaki untuk menyelamatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, mbokyao BI ikut membantu...
Akan tetapi, lagi-lagi perlu kalkulasi matang untuk mengeksekusinya. Perlu aturan yang lebih rinci, aturan operasional di lapangan, agar tidak jatuh 'korban'.
Jangan sampai setelah kegaduhan virus corona selesai ada pelaksana negara yang masuk penjara karena dianggap merugikan negara. Sayang energi bangsa ini kalau urusan semacam itu sampai menyita banyak waktu dan tenaga.
TIM RISET CNBC INDONESIA