bergerak menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Reli di pasar keuangan belum berhenti, investor masih berbunga-bunga karena ekonomi semakin terbuka seiring pelonggaran pembatasan sosial (
) di banyak negara.
Pada Rabu (3/6/2020), US$ 1 dihargai Rp 14.210 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat tajam 1,18% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sehari sebelumnya.
Performa apik rupiah terus berlanjut. Kemarin, mata uang Tanah Air menguat signifikan 1,34% di hadapan dolar AS dan menjadi yang terbaik di Asia.
) terhadap aset-aset berisiko pada pekan kedua dan ketiga Maret, rupiah berhasil bangkit dan berlari. Sejak awal April hingga kemarin, penguatan rupiah mencapai 11,78%! Wow...
Wajar rupiah 'balas dendam'. Soalnya ketika Maret kelabu itu, rupiah jadi salah satu mata uang yang paling menderita.
Bayangkan, sepanjang Maret rupiah amblas dengan pelemahan -14,31% terhadap dolar AS. Mayoritas mata uang Asia lainnya memang melemah, tetapi tidak ada yang separah rupiah.
Pelemahan yang sudah sangat dalam itu membuat rupiah punya ruang untuk mengalami
. Bahkan penguatan dalam dua bulan terakhir belum menutup depresiasi parah yang terjadi pada Maret saja.
Di samping itu, fundamental penyokong rupiah pun membaik. Pada kuartal I-2020, Bank Indonesia (BI) melaporkan defisit transaksi berjalan sebesar US$ 3,9 miliar atau setara dengan 1,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ini adalah catatan terendah sejak 2017.
Walau masih defisit, tetapi keseimbangan ekspor-impor barang dan jasa Indonesia membaik. Ini menganggarkan pasokan devisa yang lebih baik di perekonomian domestik sehingga menjadi modal penguatan rupiah.
Kemudian, inflasi nasional juga terkendali. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi pada Mei sebesar 0,07%
month-to-month (MtM). Ini membuat inflasi tahun kalender (
year-to-date/YtD) menjadi 0,9% dan inflasi tahunan (
year-on-year/YoY) 2,19%.
Bahkan momentum Ramadan-Idul Fitri tidak mampu mendongkrak inflasi, padahal biasanya puasa-lebaran adalah puncak konsumsi rumah tangga sehingga mendorong inflasi dari sisi permintaan. Namun dengan sudah berlalunya Ramadan-Idul Fitri, praktis ke depan tidak ada lagi momentum yang bisa mengerek inflasi.
Oleh karena itu, Citi dalam proyeksi terbarunya memperkirakan inflasi Indonesia sepanjang 2020 bisa di bawah 2%, tepatnya dalam kisaran 1,3-1,7%. "Dalam tiga tahun terakhir, inflasi usai Idul Fitri biasanya hanya 30-65% dari inflasi sebelum Idul Fitri," ujar Helmi Arman, Ekonom Citi.
Di satu sisi, rendahnya inflasi memang menunjukkan daya beli sedang menurun akibat terpaan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Namun di sisi lain, inflasi yang rendah berarti kurs rill rupiah tidak banyak 'termakan' oleh inflasi. Berinvestasi di rupiah menjadi menguntungkan sehingga layak dipertimbangkan oleh pelaku pasar.
Lalu, berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah juga memberi imbalan yang 'seksi'. Imbal hasil (
yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun saat ini berada di 7,226%. Masih di atas instrumen serupa di negara-negara Asia seperti Malaysia (2,976%), Filipina (3,284%), sampai India (5,998%).
Perbedaan imbal hasil yang lumayan tinggi ini membuat investor berkerumun untuk memburu Surat Berharga Negara (SBN). Kemarin, pemerintah melelang tujuh seri SBN dan jumlah penawaran yang masuk mencapai Rp 105,27 triliun, tertinggi sejak Februari.
Dari jumlah tersebut, pemerintah memenangkan Rp 24,35 triliun, lebih tinggi dibandingkan target indikatif yang sebesar Rp 20 triliun. Tingginya minat terhadap aset-aset berbasis rupiah membuat mata uang Ibu Pertiwi semakin perkasa.
Sementara dari sisi eksternal, kebetulan sentimen yang beredar juga positif. Investor sedang bernafsu untuk mengoleksi aset-aset berisiko.
Tingginya
risk appetite ini terlihat dari bursa saham New York. Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 1,05%, S&P 500 naik 0,82%, dan Nasdaq Composite bertambah 1,17%.
Pelaku pasar berbunga-bunga karena tanda-tanda kebangkitan ekonomi semakin terlihat. Berbagai negara telah dan akan melonggarkan
sosial distancing seiring perlambatan penyebaran virus corona.
Hasilnya, aktivitas manufaktur mulai menunjukkan sinyal perbaikan. IHS Markit melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Mei adalah 28,6. Naik dibandingkan April yang sebesar 27,5.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Angka di bawah 50 berarti industri manufaktur masih terkontraksi, belum ada ekspansi.
Walau demikian, kontraksi industri manufaktur Tanah Air mulai menipis. Ini memberi harapan bahwa yang terburuk sepertinya sudah berlalu.
Tidak hanya di Indonesia, PMI manufaktur di berbagai negara juga membaik. Di AS, PMI manufaktur versi ISM untuk periode Mei 2020 menunjukkan angka 43,1. Membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 41,5.
Pada April, PMI manufaktur AS berada di titik terendah sejak 2009. Kini mulai terlihat sinyal bahwa industriawan Negeri Paman Sam sudah pulih.
Di China, angka PMI manufaktur versi Caixin pada Mei 2020 versi adalah 50,7. Naik dibanding bulan sebelumnya yang sebesar 49,4. Bahkan industriawan di Negeri Tirai Bambu sudah kembali ke jalur ekspansi.
Begitu pula di Zona Euro. PMI manufaktur versi IHS Market untuk periode Mei adalah 39,4, naik dibandingkan April yang sebesar 33,4.
Sementara di Jepang, PMI sektor jasa pada Mei berada di 26,5. Lebih baik dibandingkan perkiraan awal yakni 25,3 dan naik ketimbang April yang sebesar 21,5.
Sektor jasa menyumbang hampir 70% dari PDB Negeri Matahari Terbit. Jadi perbaikan di sektor ini menandakan prospek ekonomi ke depan lumayan cerah.
Begitu pula PMI sektor jasa di Australia, yang pada Mei tercatat 26,9. Lebih tinggi ketimbang proyeksi awal yaitu 25,5 dan angka April yang sebesar 19,5. Pada April, PMI sektor jasa di Down Under adalah yang terendah sepanjang sejarah dan kini tanda menuju kebangkitan terpampang nyata.
"
Mood pasar tetap positif. Meski ada eskalasi aksi demonstrasi di AS dan kemelut soal Hong Kong, tetapi pasar tetap optimistis," tegas Edwin De Groot, Head of Macro Strategy di Rabobank, seperti dikutip dari Reuters.
Penerapan kenormalan baru (
new normal) membawa harapan. Asal jangan ada gelombang serangan kedua (
second wave outbreak) virus corona, maka ke depan sepertinya ekonomi global akan bangkit dari keterpurukan.
Asa ini membuat investor berani bermain agresif. Aset-aset berisiko di negara berkembang Asia kembali diminati, termasuk di Indonesia. Akibatnya, rupiah bak mendapatkan durian runtuh dan kembali menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA