
Rupiah Sudah Naik 11% Tapi Masih Kuat Nanjak, Pakai Obat Apa?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 June 2020 09:08

Di samping itu, fundamental penyokong rupiah pun membaik. Pada kuartal I-2020, Bank Indonesia (BI) melaporkan defisit transaksi berjalan sebesar US$ 3,9 miliar atau setara dengan 1,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ini adalah catatan terendah sejak 2017.
Walau masih defisit, tetapi keseimbangan ekspor-impor barang dan jasa Indonesia membaik. Ini menganggarkan pasokan devisa yang lebih baik di perekonomian domestik sehingga menjadi modal penguatan rupiah.
Kemudian, inflasi nasional juga terkendali. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi pada Mei sebesar 0,07% month-to-month (MtM). Ini membuat inflasi tahun kalender (year-to-date/YtD) menjadi 0,9% dan inflasi tahunan (year-on-year/YoY) 2,19%.
Bahkan momentum Ramadan-Idul Fitri tidak mampu mendongkrak inflasi, padahal biasanya puasa-lebaran adalah puncak konsumsi rumah tangga sehingga mendorong inflasi dari sisi permintaan. Namun dengan sudah berlalunya Ramadan-Idul Fitri, praktis ke depan tidak ada lagi momentum yang bisa mengerek inflasi.
Oleh karena itu, Citi dalam proyeksi terbarunya memperkirakan inflasi Indonesia sepanjang 2020 bisa di bawah 2%, tepatnya dalam kisaran 1,3-1,7%. "Dalam tiga tahun terakhir, inflasi usai Idul Fitri biasanya hanya 30-65% dari inflasi sebelum Idul Fitri," ujar Helmi Arman, Ekonom Citi.
Di satu sisi, rendahnya inflasi memang menunjukkan daya beli sedang menurun akibat terpaan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Namun di sisi lain, inflasi yang rendah berarti kurs rill rupiah tidak banyak 'termakan' oleh inflasi. Berinvestasi di rupiah menjadi menguntungkan sehingga layak dipertimbangkan oleh pelaku pasar.
Lalu, berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah juga memberi imbalan yang 'seksi'. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun saat ini berada di 7,226%. Masih di atas instrumen serupa di negara-negara Asia seperti Malaysia (2,976%), Filipina (3,284%), sampai India (5,998%).
Perbedaan imbal hasil yang lumayan tinggi ini membuat investor berkerumun untuk memburu Surat Berharga Negara (SBN). Kemarin, pemerintah melelang tujuh seri SBN dan jumlah penawaran yang masuk mencapai Rp 105,27 triliun, tertinggi sejak Februari.
Dari jumlah tersebut, pemerintah memenangkan Rp 24,35 triliun, lebih tinggi dibandingkan target indikatif yang sebesar Rp 20 triliun. Tingginya minat terhadap aset-aset berbasis rupiah membuat mata uang Ibu Pertiwi semakin perkasa.
(aji/aji)
Walau masih defisit, tetapi keseimbangan ekspor-impor barang dan jasa Indonesia membaik. Ini menganggarkan pasokan devisa yang lebih baik di perekonomian domestik sehingga menjadi modal penguatan rupiah.
Kemudian, inflasi nasional juga terkendali. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi pada Mei sebesar 0,07% month-to-month (MtM). Ini membuat inflasi tahun kalender (year-to-date/YtD) menjadi 0,9% dan inflasi tahunan (year-on-year/YoY) 2,19%.
Bahkan momentum Ramadan-Idul Fitri tidak mampu mendongkrak inflasi, padahal biasanya puasa-lebaran adalah puncak konsumsi rumah tangga sehingga mendorong inflasi dari sisi permintaan. Namun dengan sudah berlalunya Ramadan-Idul Fitri, praktis ke depan tidak ada lagi momentum yang bisa mengerek inflasi.
Oleh karena itu, Citi dalam proyeksi terbarunya memperkirakan inflasi Indonesia sepanjang 2020 bisa di bawah 2%, tepatnya dalam kisaran 1,3-1,7%. "Dalam tiga tahun terakhir, inflasi usai Idul Fitri biasanya hanya 30-65% dari inflasi sebelum Idul Fitri," ujar Helmi Arman, Ekonom Citi.
Di satu sisi, rendahnya inflasi memang menunjukkan daya beli sedang menurun akibat terpaan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Namun di sisi lain, inflasi yang rendah berarti kurs rill rupiah tidak banyak 'termakan' oleh inflasi. Berinvestasi di rupiah menjadi menguntungkan sehingga layak dipertimbangkan oleh pelaku pasar.
Lalu, berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah juga memberi imbalan yang 'seksi'. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun saat ini berada di 7,226%. Masih di atas instrumen serupa di negara-negara Asia seperti Malaysia (2,976%), Filipina (3,284%), sampai India (5,998%).
Perbedaan imbal hasil yang lumayan tinggi ini membuat investor berkerumun untuk memburu Surat Berharga Negara (SBN). Kemarin, pemerintah melelang tujuh seri SBN dan jumlah penawaran yang masuk mencapai Rp 105,27 triliun, tertinggi sejak Februari.
Dari jumlah tersebut, pemerintah memenangkan Rp 24,35 triliun, lebih tinggi dibandingkan target indikatif yang sebesar Rp 20 triliun. Tingginya minat terhadap aset-aset berbasis rupiah membuat mata uang Ibu Pertiwi semakin perkasa.
(aji/aji)
Next Page
Investor Sedang Emoh Bermain Aman
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular