Sabar, 2 Bulan Lagi Rupiah Bisa di Bawah Rp 14.000/US$!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 June 2020 17:12
Dollar-Rupiah
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (2/6/2020). Mood pelaku pasar yang sedang bagus membuat rupiah mengerikan bagi lawan-lawannya.

Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung melesat 0,65% ke Rp 14.480/US$. Apresiasi rupiah terus berlanjut hingga menutup perdagangan di Rp 14.380/US$, menguat 1,34% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Rupiah saat ini berada di level terkuat sejak 12 Maret lalu.

Penguatan rupiah hari ini jauh di atas mata uang utama lainnya di Asia, sehingga sekali lagi Mata uang Garuda menjadi raja di Benua Kuning.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:04 WIB.



New normal atau singkatnya menjalankan kehidupan dengan protokol kesehatan yang ketat di tengah pandemi penyakit virus corona (Covid-19) mulai dilakukan di seluruh belahan bumi ini. Dengan demikian, roda bisnis perlahan kembali berputar sehingga berpeluang terlepas dari ancaman resesi global.

New normal tersebut membuat mood pelaku pasar membaik, sehingga mengalirkan investasinya ke aset-aset berisiko. Rupiah menjadi salah satu yang diuntungkan, sehingga menjadi perkasa pada hari ini.

Salah satu sinyal derasnya aliran modal ke dalam negeri datang dari lelang obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) yang penawarannya mencapai 105,27 triliun. Ini adalah yang tertinggi sepanjang sejarah lelang SBN.

Ada 7 seri SBN yang dilelang hari ini, dan target indikatif pemerintah sebesar US$ 20 triliun, bisa dinaikkan 2 kali lipat. Kabarnya, pemerintah akan menyerap Rp 24,3 triliun dari seluruh penawaran yang masuk. Di atas target indikatif, tetapi tidak sampai Rp 40 triliun.



New normal sudah mulai dilakukan di negara-negara di Asia dan Eropa yang memutar kembali roda perekonomiannya dengan melonggarkan kebijakan karantina wilayah (lockdown). Begitu juga dengan Amerika Serikat, negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia.

China, negara awal virus corona, sudah melonggarkan lockdown sejak bulan Maret lalu, dan memberikan bukti perekonomian bisa segera bangkit. Hal tersebut terlihat dari sektor manufaktur yang kembali berekspansi dalam 3 bulan beruntun setelah mengalami kontraksi tajam di bulan Maret.

Minggu (31/5/2020) lalu, purchasing managers' index (PMI) manufaktur China bulan Mei dilaporkan sebesar 50,6. Meski menurun dari bulan sebelumnya 50,8, tetapi masih di atas 50, yang artinya sektor manufaktur China masih berekspansi. Di bulan Maret, PMI manufaktur China berada di level 52, naik tajam ketimbang bulan Februari sebesar 35,7, yang merupakan kontraksi terdalam sepanjang sejarah.



Data PMI manufaktur China tersebut memberikan gambaran pemulihan ekonomi V-shape, merosot tajam akibat pandemi Covid-19, dan melesat naik ketika penyebarannya virus corona berhasil diredam. Jika semua negara bisa meniru pemulihan ekonomi China, resesi global tentunya bisa terhindarkan.

Indonesia juga memulai new normal di pekan ini. Dalam skema new normal di bidang perdagangan, sejumlah pusat perbelanjaan akan dibuka kembali secara bertahap. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyebut ada 5 fase atau tahapan yang akan diterapkan.

"Setiap minggu kita lihat, karena kita mau menggerakkan Ekonomi secara cepat. Mungkin dan supaya tak ada distorsi yang lain-lain karena kita harus meningkatkan atau menghidupkan segera yang kemarin banyak pusat perbelanjaan tutup, dan pasar tradisional, dan ini kita harus buka minggu depan dengan protokol kesehatan yang ketat," kata Agus seperti dikutip CNBC Indonesia dari Rekaman Humas Kemendag, Jumat (29/5/2020).

Fase pertama akan dimulai pekan ini, dan fase-fase selanjutnya menyusul setiap pekannya. Jika pemerintah sukses menjalankan new normal tanpa ada lonjakan kasus Covid-19, rupiah berpeluang menembus ke bawah Rp 14.000/US$ dalam dua bulan ke depan.

Penguatan tajam rupiah hari ini juga membentuk pola Black Marubozu dilihat dari grafik candle stick harian.

Rupiah membuka perdagangan hari ini di level Rp 14.480/US$ sekaligus menjadi level tertinggi hari ini, dan menutup perdagangan di level Rp 14.380/US$ sekaligus menjadi level terendah intraday. Sehingga secara teknikal rupiah disebut membentuk pola Black Marubozu.

Munculnya Black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrument akan mengalami penurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah. Dengan kata lain, rupiah berpotensi melanjutkan penguatan.

Selain itu rupiah kini sudah jauh di bawah Rp 14.730/US$ yang merupakan Fibonnaci Retracement 61,8%.

Fibonnaci Retracement tersebut ditarik dari level bawah 24 Januari (Rp 13.565/US$) lalu, hingga ke posisi tertinggi intraday 23 Maret (Rp 16.620/US$).
Selama bertahan di bawah di bawah Fib. Retracement 61,8%, ke depannya rupiah berpeluang menguat menuju Rp 13.615/US$ yang merupakan Fib, Retracement 100%. Melihat peergerakan rupiah belakangan ini, target tersebut berpeluang tercapai dalam 2 bulan ke depan.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv



Meski demikian, rupiah tentunya tak lepas dari fluktuasi apalagi melihat indikator stochastic pada grafik harian masih berada di level jenuh jual (oversold) dalam waktu yang cukup lama, yang berisiko membuat rupiah terkoreksi.

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah oversold (di atas bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik naik. Dalam hal ini, USD/IDR berpeluang naik, yang artinya dolar AS berpeluang menguat setelah stochastic mencapai oversold.

Jika kembali ke atas Rp 14.600/US$, rupiah berisiko melemah menuju Rp 14.730/US$. Selama level tersebut tidak ditembus, peluang rupiah menguat ke Rp 13.615/US$ tetap terjaga.

Fibonnaci Retracement tersebut ditarik dari level bawah 24 Januari (Rp 13.565/US$) lalu, hingga ke posisi tertinggi intraday 23 Maret (Rp 16.620/US$).
Selama bertahan di bawah di bawah Fib. Retracement 61,8%, ke depannya rupiah berpeluang menguat menuju Rp 13.615/US$ dalam jangka panjang.

Tidak hanya new normal, penguatan rupiah juga tidak lepas dari "restu" Bank Indonesia.

Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam paparan Perkembangan Ekonomi Terkini pekan lalu mengatakan nilai tukar rupiah saat ini masih undervalue, dan ke depannya akan kembali menguat ke nilai fundamentalnya, kembali ke level sebelum pandemi Covid-19 terjadi di kisaran Rp 13.600-13.800/US$.

"Ke depan nilai tukar rupiah akan menguat ke fundamentalnya. Fundamental diukur dari inflasi yang rendah, current account deficit (CAD) yang lebih rendah, itu akan menopang penguatan rupiah. Aliran modal asing yang masuk ke SBN (Surat Berharga Negara) juga memperkuat nilai tukar rupiah" kata Perry, Kamis (28/5/2020).

Kami yakni nilai tukar rupiah masih undervalue, dan berpeluang terus menguat ke arah fundamentalnya" tegas Perry.

Pernyataan Perry tersebut berbeda dengan sebelumnya yang mengatakan rupiah akan berada di kisaran Rp 15.000/US$ di akhir tahun. Rupiah kini disebut akan menguat ke nilai fundamentalnya, sehingga memberikan dampak psikologis ke pasar jika Mata Uang Garuda masih berpeluang menguat lebih jauh.



Sementara itu dari dalam negeri, PMI manufaktur Indonesia sedikit membaik di bulan Mei, menjadi 28,6 dari bulan April sebesar 27,5. Meski masih berkontraksi, setidaknya angka indeks mulai bergerak naik. Dengan penerapan new normal mulai bulan ini, PMI manufaktur tentunya akan semakin naik mendekati 50, dan tidak menutup kemungkinan langsung menunjukkan ekspansi seperti yang dialami China.

Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Mei 2020. BPS mencatat terjadi inflasi 0,07% di Mei 2020. Sebanyak 67 kota terjadi inflasi sementara 23 kota deflasi.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan median inflasi bulanan (month-to-month/MM) sebesar 0,1%. Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) ada di 2,22% dan inflasi inti secara tahunan adalah 2,8%.

BPS mencatat year on year inflasi 2,19% sementara year to date inflasi 2020 mencapai 0,9%.

Rendahnya inflasi memang bisa memberikan gambaran penurunan daya beli masyarakat akibat banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19. Tetapi secara investasi, inflasi yang rendah membuat riil return berinvestasi di Indonesia menjadi lebih tinggi. Sehingga aliran modal asing bisa deras masuk ke dalam negeri, dan rupiah menjadi perkasa.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular