Internasional

Kenapa Kisruh Rasisme AS Selalu Tak Berefek ke Pasar Modal?

tahir saleh, CNBC Indonesia
03 June 2020 07:30
Dr. Martin Luther King Jr, 1963, di Washington (© AP Images)
Foto: Dr. Martin Luther King Jr, 1963, di Washington (© AP Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi protes atas tewasnya warga sipil George Floyd oleh aparat kepolisian Amerika Serikat (AS), di hampir seluruh wilayah AS, dinilai mengkhawatirkan dan punya urgensi tinggi yang bisa mempengaruhi kondisi ekonomi dalam negeri khususnya pasar keuangan.

Aksi unjuk rasa itu terus berkobar dan berujung anarkis, baik terjadi di New York City, Los Angeles, St Louis, hingga Missouri, meskipun sebagian besar para demonstran mulai bersikap damai pada aksi yang digelar pada Senin malam (1/6/2020).



Presiden AS Donald Trump bahkan sampai mengancam akan menurunkan pasukan militer jika negara bagian dan kota di AS gagal mengendalikan massa dan kerusuhan kian meluas.

Hanya saja, meskipun kisruh yang dilatari dosa masa lalu perbudakan kulit hitam dan merembet ke ketidakadilan ras di AS ini terjadi, pelaku pasar tampaknya tetap fokus pada sentimen positif pembukaan kembali ekonomi di sejumlah negara dari pandemi coronavirus.

Infografis: George Floyd, Sosok yang Membuat AS 'Membara'Foto: Infografis/George Floyd, Sosok yang Membuat AS 'Membara'/Arie Pratama
Infografis: George Floyd, Sosok yang Membuat AS 'Membara'


Fakta abainya pelaku pasar tampak dari perdagangan pasar saham di Wall Street AS, baik di New York Stock Exchange (NYSE) maupun Bursa Nasdaq.

Mengacu data CNBC, pada pukul 9:45 waktu AS, Selasa (2/6/2020), Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 70 poin, atau 0,3%, sedangkan Indeks S&P 500 dengan konstituen yang lebih luas naik 0,1%. Sementara Indeks Nasdaq Composite turun 0,1%.


Pada saat pembukaan pasar tadi malam (08.30 waktu AS dan 21.30 WIB), DJIA melesat 137,46 poin (+0,54%), dan selang 10 menit kemudian berlanjut menjadi 125,37 poin (+0,49%) ke 25.600,39. Indeks Nasdaq naik 6,52 poin (+0,07%) ke 9.558,57 dan S&P 500 melambung 8,18 poin (+0,27%) ke 3.063,91.

Sementara itu, pada penutupan Selasa waktu AS (2/6/2020) atau Rabu pagi waktu Indonesia, DJIA menguat hingga 1,05% di level 25.742,65, disusul Indeks S&P500 juga naik 0,82% di level 3.080,82 dan Indeks Nasdaq naik 0,59% di posisi 9.608,38.

Saham-saham penggerak kenaikan S&P di antaranya Gap Inc melesat 7,68%, Western Union terbang 11,29%, dan DXL Technology naik 9,49%, sementara saham-saham pendorong DJIA di antaranya Dow Inc 5,15%, American Express 2,39%, dan Exxon Mobil Corp 2,23%.

Adapun saham-saham di Nasdaq yang melesat di antaranya Qualcomm Inc 6,15%, Align Technology 5,28% dan Texas Instrument 4,08%.

Sehari sebelumnya, Indeks Dow Jones menguat 90 poin atau 4,2% pada Senin, setelah melompat 11% pada April. Sementara itu, indeks S&P 500 menguat 0,3% setelah reli di Mei sebesar 4,5%.

"Investor AS cenderung mengecualikan perkembangan ini [demonstrasi] dan tidak berharap akan ada banyak gejolak berarti, tetapi kami tentu saja menuju [semoga tak ada] konfrontasi," kata Tina Fordham, Kepala Strategi Politik Global di Avonhurst, dalam program "Squawk Box Europe" di CNBC, dilansir Selasa (2/6/2020).

Ketika ditanya apakah protes yang sedang berlangsung saat ini bisa berdampak pada pasar saham, Fordham menjawab bahwa secara historis, kerusuhan politik di pasar negara maju itu tidak memiliki banyak dampak terhadap pasar saham.

"Investor berharap bahwa, meskipun kekerasan ini mengkhawatirkan, bahwa itu akan mereda, mengingat AS adalah negara hukum dan ketertiban, sehingga hal-hal yang tidak akan semakin jauh bisa terkendali," katanya.

Dia membandingkan kejadian 52 tahun silam atau tepatnya pada 1968. "Kami membandingkan ini [kerusuhan] pada tahun 1968, saat itu dampak yang sangat kecil dari apa yang jauh lebih keras [terjadi saat itu], jauh lebih banyak protes mematikan [pada saat itu] sehingga menjadi tidak biasa."

Demonstrasi yang terakhir kali punya daya ledak berskala seperti saat ini yakni pada tahun 1968, setelah terjadi pembunuhan Martin Luther King Jr. Dia adalah pendeta Baptis dan aktivis yang menjadi juru bicara dan pemimpin gerakan hak sipil tahun 1954 sampai 1968. Ia dikenal karena menuntut hak sipil dengan cara non-kekerasan dan ketidakpatuhan sipil. Dia dibunuh pada 4 April 1968.

Adapun untuk kasus saat ini, gelombang protes dimulai setelah sebuah video menunjukkan George Floyd, seorang pria kulit hitam tak bersenjata berusia 46 tahun, sekarat setelah ditangkap di Minneapolis, Minnesota pada 25 Mei.

Seorang perwira polisi kulit putih berlutut di lehernya selama hampir 9 menit meskipun George sempat berontak bahwa dia tidak bisa bernapas.

Petugas polisi tersebut, Derek Chauvin, telah didakwa dengan pembunuhan tingkat tiga dan dijadwalkan untuk hadir di pengadilan pada minggu depan. Tiga petugas polisi lainnya telah dipecat.

Jim Cramer, anchor dari CNBC mengatakan alasan kenapa pasar saham AS bisa mencatatkan rally penguatan di tengah aksi protes ini karena pelaku pasar buta terhadap keadilan sosial.

Philadelphia police and National Guard take a knee at the suggestion of Philadelphia Police Deputy Commissioner Melvin Singleton, unseen, outside Philadelphia Police headquarters in Philadelphia, Monday, June 1, 2020 during a march calling for justice over the death of George Floyd, Floyd died after being restrained by Minneapolis police officers on May 25. (AP Photo/Matt Rourke)Foto: Demo Kematian George Floyd (AP/Matt Rourke)
Philadelphia police and National Guard take a knee at the suggestion of Philadelphia Police Deputy Commissioner Melvin Singleton, unseen, outside Philadelphia Police headquarters in Philadelphia, Monday, June 1, 2020 during a march calling for justice over the death of George Floyd, Floyd died after being restrained by Minneapolis police officers on May 25. (AP Photo/Matt Rourke)


"Pada akhirnya, pasar tidak memiliki hati nurani. Investor hanya berusaha menghasilkan uang, dan itulah sebabnya mereka berkerumun di saham-saham emiten rumah tangga," kata anchor program "Mad Money" tersebut.

"Pasar memiliki sejarah panjang dengan melihat insiden seperti kerusuhan yang sangat menyedihkan saat ini di AS. Saya tidak akan mengharapkan investor global secara material mengubah pandangan mereka tentang prospek pasar saham AS atau apa pun," kata Ali Miremadi, Direktur Investasi di GAM, dalam program "Squawk Box Europe", Selasa (2/6/2020).

"Ini adalah masalah yang sangat penting, tetapi itu bukan sesuatu yang membuatnya menjadi perbedaan," kata Miremadi. Dia menambahkan bahwa investor "sedapat mungkin" biasanya akan mencoba melihat proyeksi atas apa yang terjadi saat ini dan mencari tahu apa yang terjadi dalam jangka panjang.

Steven DeSanctis, ahli strategi saham di bank investasi Jefferies Group, menilai faktor sokongan bank sentral AS (the Fed) dan pembukaan ekonomi lebih kuat ketimbang demonstrasi.

"Pasar saham itu adalah mekanisme ke depan. Mereka [pelaku pasar] melihat enam bulan dari sekarang, sembilan bulan dari sekarang akan ada lebih banyak keteraturan. Ekonomi akan kembali, dan pendapatan [masyarakat] akan kembali," kata Steven DeSanctis, dilansir CNBC.

"Anda mendapat dukungan penuh dari The Fed ... aliran ke pasar kredit luar biasa. Pasar modal terbuka. IPO dan penawaran sekunder sedang dilakukan," katanya.

Dalam pidato di Gedung Putih pada Senin malam, Presiden AS Donald Trump menegaskan bakal menurunkan tentara jika pemerintah negara bagian dan walikota gagal mengendalikan aksi demonstrasi.

"Saya menggerakkan semua sumber daya pemerintah federal maupun lokal, sipil maupun militer, untuk melindungi hak warga Amerika yang taat hukum," ujar Trump. "Jika negara bagian atau kota menolak bertindak cukup untuk membela nyawa dan properti warganya, maka aku akan mengirim militer AS dan segera mengatasi persoalan untuk mereka."

Pasar modal sejauh ini mengabaikan kerusuhan tetapi aksi massa tersebut berpeluang menjadi ancaman bagi sentimen pasar jika berlangsung berkepanjangan selama musim panas, sehingga mengganggu rencana pembukaan kembali ekonomi.

"Kabar baik dari vaksin membantu memperkuat pasar pada Mei, tetapi hubungan AS-China dan kerusuhan sipil bisa mencuri panggung pada Juni," tutur Lori Calvasina, Kepala Perencana Investasi RBC dalam laporan risetnya, sebagaimana dikutip CNBC International.

[Gambas:Video CNBC]




(tas) Next Article Kerusuhan Gak Ngefek, 3 Indeks Saham di Wall Street Terbang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular