
Banjir Global Bond dari Boeing hingga BUMN, Apa Efeknya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona telah membuat sejumlah emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan non-BUMN ramai-ramai menerbitkan obligasi global (global bond) yang dipasarkan kepada investor luar negeri guna memenuhi kebutuhan likuiditas karena seretnya pendapatan yang dihasilkan.
Obligasi global tersebut sebagian besar dicatatkan di Bursa Singapura dengan memanfaatkan penjaminan emisi dan arranger dari perusahaan sekuritas global termasuk HSBC, Citigroup, CIMB Bank Berhad, Labuan Offshore Branch, DBS Bank Ltd., Mandiri Securities Pte. Ltd., MUFG Securities Asia Limited, hingga Standard Chartered Bank.
Belakangan ini, beberapa BUMN gencar mencari pendanaan dari luar Indonesia lewat global bond. Holding BUMN pertambangan milik negara, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero)/Inalum atau MIND ID menerbitkan obligasi global senilai US$ 2,5 miliar atau setara dengan Rp 37,25 triliun (asumsi kurs Rp 14,900/US$) pada Selasa (12/5/2020).
Direktur Utama MIND ID Orias Petrus Moedak mengatakan terjadi oversubscribed atau kelebihan permintaan dari investor pembeli sebanyak 6,4 kali.
"6,4 kali permintaan oversubscribed respons yang baik terhadap Indonesia, [global bond] Hutama Karya baik, Bank Mandiri baik, dan kita baik," ungkapnya dalam konferensi pers virtual, Jumat, (15/04/2020).
Sebelumnya dua perusahaan pelat merah juga sukses menerbitkan surat utang global berdenominasi dolar AS yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) dan PT Hutama Karya (Persero).
Mandiri menerbitkan Euro Medium Term Notes (EMTN) atau Surat Utang Senior dengan bunga tetap yang tidak dijamin senilai US$ 500 juta atau setara dengan Rp 7,5 triliun. Surat utang ini memiliki tingkat bunga sebesar 4,75% per tahun dengan tenor 5 tahun.
Dengan skema yang sana, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) juga berencana menghimpun pendanaan dari surat utang jangka menengah sebanyak-banyaknya US$ 2 miliar atau setara Rp 30 triliun melalui pembentukan program EMTN di Bursa Singapura.
Sementara Hutama Karya juga menerbitkan surat utang senilai US$ 600 juta atau Rp 9 triliun dengan kupon 3,75% per tahun. Dalam penawarannya, HK mencatat kelebihan permintaan hingga enam kali dari nilai yang diterbitkan.
"Di tengah kondisi pasar global yang tidak pasti, banyaknya minat investor terhadap Global Bond yang diterbitkan BUMN ini [Mandiri dan GK] menjadi bukti bahwa Indonesia menjadi salah satu tujuan investasi menarik di dunia," kata Erick Thohir, Menteri BUMN, dalam siaran persnya, Rabu (6/5/2020).
Swasta dan global
Tak hanya BUMN, emiten swasta juga mencari jalan serupa di pasar global. Emiten menara telekomunikasi Grup Northstar, PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk (CENT), melalui anak usahanya, PT Centratama Menara Indonesia, berencana menerbitkan surat utang denominasi dolar AS di Singapore Exchange Securities Trading Limited (Bursa Efek Singapura).
Nilai surat utang adalah sebanyak-banyaknya US$ 500 juta atau setara dengan Rp 7,5 triliun sebagaimana terungkap dalam dokumen prospektus di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Kenapa ramai global bond?
Salah satu faktor penerbitan obligasi tersebut adalah karena investor khawatir dengan volatilitas pasar yang tinggi di dalam negeri, ditambah dengan kondisi likuiditas di pasar domestik yang mulai ketat hingga terjadinya persaingan antar bank untuk berebut likuiditas, maka dana segar perlu dicari.
Volatilitas di pasar saham yang tinggi membuat investor mulai melirik aset-aset pendapatan tetap (fixed income) yang ditawarkan obligasi. Apalagi di sisi lain, Menteri BUMN Erick juga terus mendorong sejumlah BUMN untuk menerbitkan obligasi dolar dalam rangka menarik devisa di tengah wabah Covid-19.
Dampaknya cukup positif. Penerbitan obligasi korporasi ini, juga turut menopang pasar obligasi pemerintah Indonesia yang sepanjang pekan kemarin terpantau menguat signifikan. Hal tersebut tercermin dari penurunan yield atau imbal hasil Surat Utang Negara (SUN).
Berdasarkan data transaksi 11-14 Mei 2020, non-residen (asing) di pasar keuangan domestik melakukan pembelian neto di pasar SBN (Surat Berharga Negara) sebesar Rp7,21 triliun. Investor asing kembali masuk pasar obligasi Indonesia yang memberikan yield relatif tinggi.
Pergerakan yield berbanding terbaik dengan harganya. Ketika yield naik berarti harga sedang turun, sebaliknya ketika yield turun artinya harga sedang naik. Ketika harga naik, itu berarti sedang ada aksi beli di pasar obligasi.
Berdasarkan data Refinitiv, yield SUN untuk seri FR0081 yang bertenor 5 tahun, mengalami penurunan 38,1 basis poin (bps) menjadi 5,05%, seri FR0082 bertenor 10 tahun yang turun tipis 28,3 bps menjadi 7,809%, seri FR0080 bertenor 15 tahun turun 9,5 bps menjadi 8,121%, dan seri FR0083 bertenor 20 tahun yang turun 10,9 bps menjadi 8,102%.
Dari global tren penerbitan obligasi juga tidak surut, malah lebih dahulu gencar dilakukan perusahaan-perusahaan gede di bursa Wall Street, AS.
Melansir dari Reuters, maskapai penerbangan asal AS yaitu Boeing pada Kamis (30/4/2020) telah menerbitkan obligasi korporasi dengan perolehan dana senilai US$ 25 miliar atau setara dengan Rp 372,5 triliun.
Dana obligasi itu diraih, bahkan ketika Boeing tengah mencari dana talangan US$ 60 miliar dari bank sentral AS atau The Fed di tengah kesulitan operasionalnya sejak Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mendeklarasikan virus corona sebagai pandemi. Pandemi ini memukul habis pendapatan maskapai, dan berimbas ke pabrikan pesawat macam Boeing.
Suku bunga rendah dan kontribusi The Fed untuk membeli surat utang perusahaan telah mendorong perdagangan obligasi yang diterbitkan Boeing tersebut.
Pengumuman The Fed awal bulan ini bahwa akan mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk membeli obligasi memberi investor jaminan bahwa bank sentral akan ada di sana jika pasar goyah.
Selain Boeing, One Stop dan Nike juga menghasilkan US$ 6 miliar dari penerbitan obligasi korporasi, dan Procter & Gamble (P&G), emiten konsumer, mendapatkan US$ 5 miliar dari merilis obligasi. Adapun Visa berhasil mengumpulkan dana obligasi senilai US$ 4 miliar.
Rob Peters, Direktur Intelligize, mengatakan penerbitan obligasi korporasi sejauh ini menunjukkan bahwa perusahaan berupaya memanfaatkan dana obligasi mereka untuk operasional dan untuk membiayai kembali obligasi (refinancing) yang diterbitkan sebelumnya yang menawarkan imbal hasil tinggi sehingga berpengaruh pada beban bunga. Dengan demikian penerbitan ini bisa menopang neraca mereka.
"Mereka memanfaatkan suku bunga [rendah] saat ini dan memanfaatkan utang untuk membayar kredit sebelumnya [obligasi jatuh tempo]. Banyak yang memasukkannya ke kas [untuk operasional], "katanya. "Dilihat dari perusahaan tertentu, [tampak] ada rasa putus asa, di mana perusahaan lain memanfaatkan dampak pasar terhadap mereka [perusahaan penerbit obligasi]," tutur Peters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(har/har) Next Article Obligasi Korporasi Bakal Ramai, Jatuh Tempo Tembus Rp 130 T
