Rupiah Keok 'Dikeroyok' Dolar AS dan Mata Uang Negara Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 May 2020 14:59
Dollar-Rupiah
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah sepanjang pekan ini. Rupiah juga babak belur kala berhadapan satu lawan satu dengan mata uang utama Asia.

Sepanjang minggu ini, rupiah terdepresiasi 0,44% di hadapan greenback secara point-to-point. Rupiah memang menguat tiga hari beruntun, tetapi tidak bisa menutup pelemahan yang lebih dari 1% pada awal pekan.




Tidak hanya di hadapan dolar AS, rupiah juga tidak berdaya melawan mata uang utama Asia. Mata uang Tanah Air hanya mampu menguat di hadapan ringgit Malaysia, tetapi menyerah di hadapan peso Filipina hingga yen Jepang.

 

Apa boleh buat, pekan ini memang bukan momentum yang tepat bagi penguatan rupiah. Berbagai rilis data sama sekali tidak memihak kepada rupiah.

Pada awal pekan, IHS Markit melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia untuk periode April 2020 sebesar 27,5. Jauh menurun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 43,5 dan menjadi yang terendah sepanjang pencatatan PMI pada April 2011.



PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Di atas 50 berarti dunia usaha optimistis dan siap melakukan ekspansi. Sebaliknya kalau di bawah 50, berarti dunia usaha pemististis sehingga yang ada adalah kontraksi.

Parahnya, skor PMI manufaktur Indonesia pada April 2020 adalah satu yang terendah di Asia. Indonesia hanya unggul tipis dari Imdia.




Artinya, dunia usaha di Ibu Pertiwi sepertinya sangat gloomy memandang prospek perekonomian saat ini dan masa mendatang sehingga belum memikirkan ekspansi. Jangankan ekspansi, bertahan hidup saja sudah ngos-ngosan.

Absennya ekspansi dunia usaha akan membuat pertumbuhan ekonomi sulit melaju kencang. Benar saja, pada 5 Mei 2020, Badan Pusa Statistik (BPS) melaporkan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2020 tumbuh 2,97%. Ini adalah laju terendah sejak 2001.




Realisasi ini jauh dari konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 4,33%. Juga jauh di bawah proyeksi Bank Indonesia (BI) yang sebesar 4,4%.

"Dampak dari penanganan Covid-19 mulai mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi. Konsumsi, investasi, ekspor-impor. Semula kami perkirakan Maret belum kena. Semula konsumsi kami kira bisa tumbuh 4,4%, ternyata konsumsi sudah tidak setinggi yang kami perkirakan, hanya tumbuh 2,8%. Demikian juga investasi, yang semula kami perkirakan 2,4% ternyata 1,7%. Artinya, social distancing telah mempengaruhi pendapatan masyarakat, konsumsi, serta aktivitas produksi dan investasi dunia usaha," papar Perry Warjiyo, Gubernur BI.



Sehari setelah rilis data pertumbuhan ekonomi, BI menyampaikan kabar buruk yaitu Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang anjlok menjadi 84,8 pada April 2020. Turun drastis dari bulan sebelumnya yaitu 113,8 sekaligus menjadi yang terendah sejak Juli 2008!



"Melemahnya optimisme konsumen terutama disebabkan oleh menurunnya persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini, dengan penurunan terdalam pada indeks penghasilan saat ini dan ketersediaan lapangan kerja. Sementara di sisi ekspektasi, konsumen masih relatif optimis terhadap perkiraan kondisi ekonomi pada 6 bulan mendatang meskipun tidak sekuat perkiraan bulan sebelumnya. Optimisme tersebut ditopang oleh perkiraan penghasilan yang meningkat dan kegiatan usaha yang kembali membaik pada 6 bulan mendatang, seiring dengan perkiraan telah meredanya pandemi COVID-19 di Indonesia," sebut laporan BI.


IKK menggunakan angka 100 sebagai titik start. Di atas 100 berarti konsumen pede, sebaliknya kalau di bawah 100 konsumen pesimistis.

IKK adalah salah satu indikator awalan (leading indicator) yang penting untuk mengeker ke mana ekonomi akan bergerak. Leading indicator lain yang kerap digunakan untuk membawa arah ekonomi adalah PMI.

Data PMI, pertumbuhan ekonomi, dan IKK memberi gambaran bahwa prospek perekonomian Indonesia tidak terlalu cerah. Akibatnya, investor memilih untuk meninggalkan pasar keuangan Indonesia.

Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 1,65 triliun sepanjang pekan lalu. Sementara di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) surat utang seri acuan tenor 10 tahun melonjak 20 basis poin (bps).

Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang turun akibat tekanan jual. Selama 4-6 Mei, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) memang turun Rp 2,19 triliun.

Minimnya pasokan 'darah' dari pasar keuangan membuat rupiah tidak punya energi untuk melawan. Rupiah pun harus pasrah dikeroyok dolar AS dan mata uang negara-negara Asia.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular