Harga CPO di Bawah RM 2.000, Apa Kabar Emiten Sawit RI?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
06 May 2020 16:36
Kelapa sawit
Foto: Kelapa sawit (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas unggulan Indonesia dan Negeri Jiran yakni minyak sawit mentah (CPO) terus melorot sepanjang 2019 akibat merebaknya pandemi Covid-19 yang memicu lockdown di berbagai negara. Penurunan harga CPO ini tentu menjadi ancaman nyata bagi emiten yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit dalam negeri.

Sejak pekan ini, harga CPO sudah mulai keluar dari level psikologis RM 2.000/ton. Hari ini, Rabu (6/5/2020), harga CPO untuk kontrak pengiriman Juli 2020 dibanderol RM 1.975 per metrik ton.

Sejak awal tahun harga CPO sudah anjlok 35,3% dan kini berada di titik terendah sejak Juli 2019. Dalam kurun 5 tahun terakhir pun hanya tercatat beberapa kali harga CPO berada di bawah RM 2.000/ton.



Harga CPO semakin terpelanting ketika wabah Covid-19 mulai merebak di China hingga pemerintah pusat Tiongkok memutuskan untuk menutup (lockdown) Wuhan dan beberapa kota lain di Provinsi Hubei pada 23 Januari 2020. Namun wabah tak hanya merebak di China saja, virus corona terus menjangkiti berbagai negara di dunia dan menjadi pandemi. 

Setelah China, episentrum wabah pun bergeser ke Eropa. Spanyol, Italia dan Perancis adalah tiga negara di Eropa yang paling terpukul akibat adanya pandemi ini. Ketiganya harus menerapkan lockdown yang membuat aktivitas ekonominya mengalami kontraksi dalam pada kuartal pertama tahun ini.  

Lockdown tak hanya diterapkan di Eropa saja, negara-negara lain yang terjangkit seperti Amerika Serikat (AS), Filipina hingga India sebagai negara konsumen minyak nabati terbesar di dunia pun mengikuti langkah tersebut. 

Akibat dari lockdown masal di berbagai penjuru dunia ini permintaan terhadap minyak nabati umumnya dan minyak sawit khususnya melemah karena konsumsi yang menurun. Penurunan permintaan ini bukan kabar yang baik untuk Indonesia karena RI merupakan produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia.

Sebanyak 70% dari produksi sawit nasional diekspor ke lebih dari 50 negara tujuan. Jika ditotal Indonesia menguasai sebanyak 62% pangsa pasar minyak sawit global atau 20% minyak nabati dunia.

Kebetulan negara-negara yang jadi destinasi ekspor Indonesia seperti China, Uni Eropa dan India merupakan negara-negara yang juga terdampak Covid-19.

Ekspor minyak sawit Indonesia ke berbagai negara tujuan dalam bentuk beragam mulai dari CPO yang berkontribusi sebesar 20%, produk olahan dan turunan mencapai 69%, oleokimia sebesar 8% dan 3% dalam bentuk biodiesel. 

Permintaan dari sisi eksternal masih akan menurun seiring dengan kebijakan lockdown yang masih diterapkan di berbagai negara konsumen minyak nabati global. Walaupun beberapa negara mulai dari pekan lalu sudah melonggarkan pembatasan, tetapi aktivitas ekonomi masih terbatas sehingga pemulihan akan terjadi secara bertahap. Permintaan pun diperkirakan belum bisa pulih kembali ke normal sementara waktu ini.


Beralih ke dalam negeri, industri dan emiten sawit nasional juga terancam dengan adanya perlambatan ekonomi dan melemahnya daya beli masyarakat akibat wabah Covid-19 yang juga merebak di Tanah Air. Dua faktor ini jelas akan mempengaruhi permintaan domestik.

Indikator-indikator perekonomian nasional sudah memperlihatkan ancaman serius ini, dinilai dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang melambat signifikan yakni 2,84% (yoy) pada kuartal pertama 2020, dan inflasi yang terus melambat terutama inflasi inti 2,85% (yoy) pada April 2020.

Di sisi lain daya beli masyarakat juga terancam tertekan dengan adanya gelombang PHK yang terjadi selama masa pandemi. Kementerian Tenaga Kerja RI (Kemnaker) mencatat per 20 April 2020 sudah ada lebih dari dua juta karyawan yang dirumahkan dan terkena PHK.

Faktor lain yang juga turut menekan permintaan domestik adalah jatuhnya harga minyak. Efek combo anjloknya permintaan bahan bakar akibat pembatasan aktivitas ekonomi serta perang harga minyak antara Rusia dan Arab membuat harga minyak terjun bebas. Harga minyak sudah ambles lebih dari 50% di sepanjang tahun ini.



Dampak anjloknya harga minyak tentu membuat program mandat biodiesel B30 menggunakan campuran CPO menjadi kurang ekonomis. Padahal pemerintah RI terus mendorong program B30 di tahun ini. Artinya implementasi program B30 yang diperkirakan menyerap 9,3 juta kiloliter minyak nabati terancam keberlangsungannya. 

Permintaan minyak nabati terutama minyak sawit untuk kuartal kedua pun diramal masih lesu. Bersama dengan anjloknya harga hal ini tentu jadi faktor negatif yang menekan pos penjualan dari emiten sawit Tanah Air. Di sisi lain memasuki kuartal kedua biasanya output justru mengalami kenaikan akibat faktor musiman.


[Gambas:Video CNBC]




Pada awal-awal wabah Covid-19 merebak nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang dalam di hadapan dolar AS. Adanya aliran dana keluar besar-besaran saat awal-awal masa wabah membuat rupiah yang ketergantungan 'hot money' menjadi sangat loyo di hadapan dolar greenback. Rupiah bahkan sempat menyentuh Rp 16.000/US$ di pasar spot sebelum akhirnya berbalik arah menguat ke level Rp 15.000/US$.



Pelemahan nilai tukar rupiah ini perlu dicermati betul, hal ini bisa jadi hal yang positif untuk emiten sawit dalam negeri mengingat produknya merupakan komoditas berbasis ekspor. Namun di sisi lain pelemahan rupiah juga patut diwaspadai karena bisa berakibat negatif terhadap neraca perseroan akibat selisih kerugian kurs.

Bagi perusahaan-perusahaan yang mengambil langkah untuk lindung nilai (hedging), depresiasi rupiah ini bisa diredam. Namun bagi perusahaan yang tidak memiliki kas yang mencukupi depresiasi rupiah jelas menjadi faktor negatif untuk kinerja keuangan perusahaan atau emiten.

Faktor-faktor ini lah yang membuat lembaga pemeringkat surat utang global yakni Fitch menyematkan outlook negatif untuk industri sawit RI di tengah melemahnya permintaan dan depresiasi rupiah yang bisa memicu pembengkakan beban bunga utang.

Sejak awal tahun, sektor agrikultur Indonesia yang mayoritas didominasi oleh emiten-emiten sawit juga mencatatkan kinerja yang jauh dari kata memuaskan. Hal ini terlihat dari indeks sektoral agrikultur yang terkoreksi lebih dalam dari IHSG (-36,97% vs -26,84%) dan menjadi salah satu indeks sektoral yang paling tertekan di bursa saham domestik.



Melihat hal ini bisa disimpulkan bahwa sepanjang tahun 2020, pasar masih memberikan punishment terhadap sektor agrikultur dalam negeri.

Untuk kuartal kedua tahun ini prospek permintaan masih dibayangi dengan pelemahan, mengingat pandemi belum paripurna dan pencabutan lockdown masih dilakukan dengan penuh kehati-hatian.  




TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular