Ramalan IMF Bikin Khawatir, IHSG Ditutup Merosot 1,71%

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 April 2020 15:54
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Kamis 26/3/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Kamis 26/3/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir melemah pada perdagangan Rabu (15/4/2020), padahal di awal perdagangan masih mampu menguat. Banyak sentimen yang mempengaruhi pergerakan pasar hari ini, tetapi yang negatif sepertinya lebih mendominasi.

IHSG langsung masuk ke zona hijau begitu perdagangan dibuka, penguatan sempat tercatat sebesar 0,88% ke 4.747,725 yang menjadi level tertinggi intraday di sesi I. Setelah mencapai level tersebut, IHSG justru melorot dan masuk ke zona merah, hingga menutup sesi I di level 4.671,822 melemah 0,74%. 

Berdasarkan data RTI, nilai transaksi sepanjang sesi I sebesar Rp 3,92 triliun, dengan investor asing melakukan aksi jual bersih Rp 301,23 miliar di pasar reguler dan non-reguler.

Memasuki perdagangan sesi II, pelemahan IHSG bertambah dalam hingga 2,16% ke 4.605,054 yang menjadi level terlemah intraday. Di akhir perdagangan IHSG memangkas sedikit pelemahan menjadi 1,71% ke 4.625,905.

Nilai transaksi sepanjang perdagangan hari ini sebesar Rp 7,03 triliun, dengan investor asing melakukan aksi jual bersih Rp 379,01 miliar.



Sentimen positif dan negatif datang dari eksternal. Penyebaran pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang mulai melambat memberikan sentimen positif ke pasar saham, IHSG pun menguat di awal perdagangan.

Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) penambahan jumlah kasus secara penambahan jumlah kasus Covid-19 sudah satu digit persentase sejak 30 Maret lalu. Terbaru, pada 14 April terjadi penambahan kasus 4,05% sehingga total menjadi 1,84 juta kasus. Persentase penambahan tersebut merupakan yang terendah sejak 10 Maret.

Eropa yang menjadi episentrum penyebaran sebelum AS bahkan sudah mulai melonggarkan kebijakan lockdown-nya setelah penyebaran corona terus melambat.

CNBC International melaporkan Italia dan Spanyol, mulai mencabut beberapa larangan pembatasan aktivitas warganya setelah jumlah kasus baru serta korban meninggal akibat COVID-19 terus menurun.

Spanyol sudah mengijinkan beberapa aktivitas konstruksi bekerja kembali, begitu juga dengan pabrik-pabrik sudah mulai beroperasi sejak hari Senin. Sementara itu Italia mulai mengijinkan beberapa usaha untuk kembali beraktivitas hari ini.



Berdasarkan data CEIC, Spanyol hari ini melaporkan penambahan kasus sebanyak 3.477 kasus, menjadi yang terendah sejak 20 Maret. Italia melaporkan 3.153 kasus, terendah sejak 15 Maret, dan Jerman melaporkan 2.082 kasus terendah sejak 19 Maret.

Sementara itu, sentimen negatif datang dari laporan Dana Moneter Internasional (IMF). Lembaga yang berkantor pusat di Washington (Amerika Serikat/AS) itu memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif (-3%) pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibikin pada Januari.

Pertumbuhan ekonomi AS, sebagai negara dengan nilai produk domestic bruto (PDB) terbesar di muka bumi ini diprediksi terkontraksi (-5,9%). Sementara perekonomian terbesar kedua di dunia, China, diprediksi masih bisa tumbuh 1,2%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sudah pasti merosot tajam, tetapi IMF memprediksi masih akan tumbuh 0,5% di tahun ini.

Memang isu resesi global sudah lama berhembus, tetapi laporan IMF tersebut tentunya membuat investor lebih berhati-hati lagi dalam masuk ke aset-aset berisiko.


[Gambas:Video CNBC]




Kemudian dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) kemarin sore mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG). Gubernur BI, Perry Warjiyo, melalui video conference mengumumkan suku bunga (7 Day Reverse Repo rate) tetap sebesar 4,5%, lending facility menjadi 5,25% dan deposit facility 3,75%.

Keputusan ini mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas eksternal di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang saat ini masih relatif tinggi, meskipun BI tetap melihat adanya ruang penurunan suku bunga dengan rendahnya tekanan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi.

Tetapi Perry menegaskan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional dari dampak Covid-19, Bank Indonesia akan meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas (quantitative easing).

"Untuk dukung upaya pemulihan ekonomi nasional, BI melakukan pelonggaran moneter," kata Perry, Selasa (14/4/2020).

"BI menurunkan GWM [giro wajib minimum] rupiah sebesar 200 bps [basis poin] untuk bank umum konvensional dan 50 bps untuk bank umum syariah. Berlaku 1 Mei 2020," imbuh Perry.

Perry mengatakan, dengan penurunan GWM tersebut maka akan tersedia likuiditas tambahan hingga Rp 102 triliun.



Selain itu BI juga melakukan ekspansi operasi moneter melalui penyediaan term-repo kepada bank-bank dan korporasi dengan transaksi underlying SUN/SBSN dengan tenor sampai dengan 1 (satu) tahun.

BI juga tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) baik terhadap Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah untuk periode 1 (satu) tahun, mulai berlaku 1 Mei 2020.

Stimulus dari BI tersebut membuat IHSG melesat di menit-menit akhir perdagangan Selasa kemarin, tetapi sayangnya gagal berlanjut pada hari ini. Sekor finansial yang paling terpengaruh oleh kebijakan BI tersebut juga masuk ke zona merah, melemah 1,77%. Hanya sektor agrikultur yang mampu menguat 0,12%, itupun jauh menipis dibandingkan penguatan di sesi I sebesar 1,55%.

Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Rabu (16/4/2020), nilai ekspor Indonesia bulan lalu adalah US$ 14,09%. Turun tipis -0,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski terkontraksi (tumbuh negatif), tetapi lebih landai dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu -6,5%.

Sementara nilai impor tercatat US$ 13,35 miliar, turun -0,75% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Juga lebih landai ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan di angka -8,24%.

Ini membuat neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 740 juta. Lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar yang sebesar US$ 544 juta.

Kabar baiknya lainnya, data BPS menunjukkan ekspor China ke Indonesia pada Maret 2020 meningkat US$ 1 miliar dibandingkan Februari 2020. Pada Februari impor dari China tercatat US$ 1,98 miliar dan meningkat di Maret menjadi US$ 2,98 miliar.



Dengan total nilai impor Maret tersebut, maka ada kenaikan impor sebesar 50,43% dibandingkan bulan sebelumnya.

"Peningkatan terbesar berasal dari Tiongkok. Recovery di sana cepat, sehingga impor dari Tiongkok Maret 2020 meningkat US$ 1 miliar," jelas Kepala BPS Suhariyanto, Rabu (15/4/2020).

Bangkitnya perekonomian China tentunya memberikan bukti setelah pandemi COVID-19 perekonomian global bisa segera keluar dari resesi.

Namun sayangnya, kabar bagus tersebut belum mampu mendongkrak kinerja IHSG pada hari ini.


TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular