di tanah air terus bertambah dan menjadi ancaman bagi perekonomian nasional. Stimulus fiskal disiapkan dan kelonggaran moneter diberikan untuk meredam dampak COVID-19 terhadap perekonomian domestik.
Namun apakah hal itu sudah cukup? Apakah Indonesia berarti sudah siap menghadapi wabah ganas yang diyakini berasal dari China ini? Mari kita ulas poin per poinnya.
Jumlah korban akibat wabah COVID-19 di dalam negeri terus bertambah dengan laju 30,3% per harinya. Kasus COVID-19 muncul pertama kali di Indonesia pada 2 Maret 2020. Kala itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan dua orang Indonesia pertama yang terjangkit COVID-19.
Dalam 23 hari berselang, pertambahan jumlah kasus semakin tinggi. Per kemarin (24/3/2020) jumlah kasus COVID-19 di dalam negeri sudah mencapai 686 orang dengan 55 orang dinyatakan meninggal dunia.
Artinya rata-rata ada penambahan jumlah kasus kurang lebih 30 dalam sehari dalam kurun waktu kurang dari satu bulan ini. Berbagai sumber memperkirakan bahwa puncak wabah ini akan terjadi di bulan April atau Mei saat bulan Ramadan nanti.
Berdasarkan kajian Pusat Pemodelan Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB), model pertambahan jumlah kasus di Indonesia menyerupai Korea Selatan. Dokumen tersebut memperkirakan jumlah kasus di Indonesia bisa mencapai lebih dari 8.000.
Tingkat keparahan dan seberapa lama wabah ini merebak di tanah air tentu berpengaruh terhadap aktivitas perekonomian. Akibat merebaknya wabah ini, prospek ekonomi Indonesia pada 2020 menjadi suram. Banyak ekonom memperkirakan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tumbuh di bawah 5%.
Bahkan jika jumlah kasus terus bertambah signifikan dan wabah tak segera dapat ditangani, pertumbuhan ekonomi tanah air bukan tak mungkin untuk nyungsep lebih dalam. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menyampaikan, akibat wabah COVID-19 ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa 0%, alias tak tumbuh.
"Dengan skenario tersebut, kami melihat pertumbuhan ekonomi tentu dari covid-19 ini apabila masalahnya lebih berat, seperti kalau durasi covid-19 bisa lebih dari 3-6 bulan, dan kemudian terjadi
dan perdagangan internasional bisa drop di bawah 30 persen. Sampai dengan beberapa penerbangan drop sampai 75-100 persen, maka skenario bisa menjadi lebih dalam. Pertumbuhan ekonomi bisa mencapai di antara 2,5 persen bahkan sampai ke nol persen," paparnya.
-nya karena, penganan COVID-19, kita juga berharap adanya penemuan vaksin anti virus. Kalau bisa dilakukan cepat, tentu ini akan dampaknya pendek," imbuh Sri Mulyani.
"Oleh karena itu yang kita lakukan melakukan persiapan berdasarkan kemungkinan terjadi. Pak Presiden meminta skenario itu untuk disiapkan, apa artinya bila ekonomi di atas 4%, apa artinya kalau tumbuh di bawah 4%. Apa itu di atas 3% atau di bawah 3%. Dan apakah kemudian mendekati yang lebih rendah," katanya.
"Kita nggak mengharapkan itu terjadi. Makanya langkah-langkah safety net dan sektor usaha supaya tetap berjalan, harus dilakukan. Ini fokus yang kita lakukan bersama Pak Menko Perekonomian dan OJK," tegasnya.
Presiden Jokowi sudah memberikan arahan tegas untuk menangani wabah COVID-19 yang sudah merebak di tanah air. Jokowi sudah memberikan setidaknya 10 arahan makroekonomi untuk merespons kondisi genting akibat wabah ini
Nomor | Instruksi Presiden | Anggaran (IDR Triliun) |
1 | Memangkas pengeluaran bukan prioritas pada APBN & APBD | |
2 | Realokasi anggaran kementerian, pemerintah provinsi dan daerah untuk program kesehatan | 62.3 |
3 | Memastikan ketersediaan bahan pangan terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan koordinasi antar kementerian dan pemerintah daerah | |
4 | Memperkenalkan program insentif uang tunai | |
5 | Distribusi bantuan tambahan mencapai Rp 200.000/orang/bulan melalui Kartu Sembako dari sebelumnya hanya Rp 150.000 | 4.56 |
6 | Distribusi bantuan tunai di bawah Kartu Pra-Kerja untuk masyarakat selama 3-4 bulan ke depan | 10 |
7 | Relaksasi Pajak Penghasilan (PPh 21) untuk pekerja sektor manufaktur selama 6 bulan | 8.6 |
8 | Relaksasi pinjaman UMKM oleh OJK (di bawah Rp10milyar) dari perbankan dan lembaga non-bank dalam bentuk: 1) Pengurangan fasilitas bunga kredit bunga; dan 2) Penangguhan cicilan hingga 1 tahun | |
9 | Keringanan kredit KPR bersubsidi dalam bentuk: 1) Pembayaran selisih bunga oleh pemerintah, jika lebih dari 5% 2) Subsidi uang muka | 1.5 |
10 | Mendistribusikan alat pelindung diri (APD) 105.000 unit untuk tenaga medis: 1) DKI Jakarta 40.000 2) Jawa Barat 15.000 3) Jawa Tengah 10.000 4) Jawa Timur 10.000 5) Yogyakarta 1.000 6) Bali 4.000 dan 7) Lainnya 25.000 | |
Sumber : Bahana Sekuritas, Various Sources, CNBC Indonesia Research
Arahan RI-1 tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai kebijakan dan program oleh Kementerian Keuangan sebagai berikut :
Nomor | Kebijakan Fiskal Kemenkeu |
1 | Pengadaan alat pelindung diri (APD) sebanyak 105.000 unit |
2 | Mengatur pembayaran biaya kesehatan pasien COVID-19 non-asuransi dengan Departemen Kesehatan, melalui anggaran negara dan anggaran daerah |
3 | Membagikan insentif bagi pekerja medis, dalam bentuk: 1) manfaat tambahan untuk pekerja medis yang menangani COVID-19 sebesar Rp15.000.000 / bulan untuk spesialis dokter; IDR10.000.000 / bulan untuk dokter umum dan dokter gigi; IDR7.000.000 / bulan untuk perawat, Rp5.000.000 untuk tenaga medis lainnya; dan 2) asuransi senilai IDR300.000.000 untuk kompensasi dalam kasus kematian bagi pekerja medis, berlaku di daerah yang telah menyatakan keadaan darurat. |
4 | Membuat akun donasi untuk COVID-19 yang dikelola bersama oleh BNPB dan Kementerian Keuangan |
5 | Penguatan sistem jaring pengaman sosial melalui Program Keluarga Harapan (PKH) yang mencakup 10 juta keluarga dan kartu sembako yang mencakup 15 juta keluarga |
6 | Memberikan kompensasi 3 bulan (Rp1.000.000 / bulan) dan pelatihan untuk pekerja yang terkena PHK |
7 | Memberikan bantuan langsung tunai (BLT) untuk pekerja sektor informal |
Sumber : Kementerian Keuangan, Bahana Sekuritas, CNBC Indonesia Research
Di tengah wabah seperti ini ada satu hal yang kemungkinan besar tidak terelakkan yaitu pelebaran defisit fiskal, mengingat pendapatan dari perpajakan yang turun akibat aktivitas ekonomi yang terhambat dan membengkaknya pengeluaran pemerintah terutama untuk program kesehatan dan jaring pengaman sosial.
Untuk itu, Badan Anggaran (Banggar) DPR mengajukan revisi defisit fiskal dari yang sebelumnya 3% dari PDB menjadi 5%. Bagaimanapun juga anggaran harus dikelola dengan baik.
Walau saat ini banyak negara yang mengesampingkan defisit anggaran bukan berarti defisit bisa diperlebar dalam kondisi seperti ini. Apalagi bagi Indonesia yang saat ini menghadapi tantangan terutama dari segi pembiayaan. Tantangan Indonesia dari segi pembiayaan tak bisa dianggap sepele di tengah perekonomian global yang mengalami pengetatan likuiditas seperti sekarang ini.
Pertama dari segi pembiayaan domestik, likuiditas terbatas pasar obligasi domestik serta tingginya baiya pinjaman menjadi tantangan tersendiri. Untuk surat utang pemerintah bertenor 5 tahun dan 10 tahun sendiri yieldnya sudah mencapai masing-masing 7,54% dan 8,32%.
Kedua dari opsi penerbitan surat utang global baik yang berdenominasi dolar, euro maupun yen, ada risiko pelemahan rupiah di sana. Apalagi sejak 27 Februari lalu ketika lonjakan wabah COVID-19 terjadi, nilai tukar rupiah terus terpuruk.
Nilai tukar rupiah terus merosot. Pada 27 Februari, untuk US$ 1 dibanderol dengan Rp 14.030, artinya rupiah sudah keluar dari zona penguatannya di tahun ini di kisaran Rp 13.000-an.
Setelah itu rupiah terus terdepresiasi di hadapan dolar AS. Pada 17 Maret 2020, rupiah sudah keluar dari level Rp 15.000/US$. Senin kemarin (23/3/2020), bahkan rupiah ditutup di level terendah sepanjang masa yakni di Rp 16.550/US$.
Belum lagi sekarang sudah akhir Maret. Mendekati bulan-bulan April-Juni yang merupakan periode pembagian dividen dan pembayaran utang luar negeri, rupiah bisa makin tertekan.
Kenaikan risiko investasi di Indonesia juga tercermin dari kenaikan nilai premi
Credit Default Swap (CDS) untuk surat utang pemerintah bertenor 5 tahun dan 10 tahun.
Sejak penyebaran COVID-19 semakin meluas di tanah air dan rupiah terus terdepresiasi nilai premi CDS terus meroket hingga melebihi level 200 untuk tenor 5 tahun dan melampaui level 300 untuk tenor 10 tahun.
Tantangan pembiayaan ketiga yang dihadapi Indonesia adalah apakah pemerintah mampu mengakses pinjaman multilateral mengingat pinjaman dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) biasanya bersifat project based. Lagi pula Indonesia mungkin sudah tidak dapat memanfaatkan
Deffered Drawdown Option (DDO) Bank Dunia maupun ADB, mengingat sudah digunakan pada 2016 lalu.
Perlu diketahui bersama DDO merupakan salah satu surat utang global yang diterbitkan pemerintah yang dijamin Bank Dunia maupun ADB sehingga biaya pinjamannya lebih murah.
Stimulus fiskal memang mutlak dibutuhkan di saat-saat seperti ini. Hal ini jelas berpotensi besar membuat defisit anggaran semakin lebar. Namun melihat tantangan yang ada, fiskal harus benar-benar dikelola dengan bijak/
prudent. Stimulus fiskal sudah dipersiapkan. Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral juga turut berpartisipasi meredam dampak wabah COVID-19 ke perekonomian. Dalam tiga bulan terakhir tahun ini saja, BI sudah memangkas suku bunga acuan BI 7-DRRR sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,5%.
Tak sampai di situ saja, BI juga meluncurkan bauran kebijakan baru untuk memitigasi risiko virus corona COVID-19 ke sektor perbankan. Dalam bauran kebijakan ini BI berfokus untuk menjaga pasokan likuiditas valas dan rupiah bagi perbankan.
Selain itu, BI juga fokus untuk mendorong transaksi non-tunai untuk memperlancar transaksi keuangan di masyarakat dengan melakukan penurunan biaya transaksi. Berikut tujuh bauran kebijakan lanjutan BI untuk menghadang risiko virus corona COVID-19:
1. Memperkuat intensitas triple intervension untuk nilai tukar rupiah baik di pasar spot,
Domestic Non Delivery Forward (DNDF) maupun lelang SBN di pasar sekunder.
2. Memperpanjang tenor Repo SBN hingga 12 bulan dan menyediakan lelang setiap hari dalam jumlah berapapun. Aturan ini berlaku 20 Maret 2020.
3. Menambah frekuensi lelang Fx Swap 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulna dari sebelumnya 3 kali seminggu menjadi setiap hari guna memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang. Aturan ini berlaku efektif mulai 19 Maret 2020.
4. Memperkuat Term Deposit (TD) valas guna meningkatkan pengelolaan likuiditas valas sebesar US$3,2 miliar yang didapatkan dari penurunan GWM valas yang sudah diputuskan sebelulmnya untuk kebutuhan dalam negeri.
5. Mempercepat berlakunya kebijakan penggunaan rekening vostro bagi investor asing sebagai underlying transaksi DNDF, berlaku efektif 23 Maret 2020. Sebelumnya aturan ini berlaku 1 April 2020.
6. Memperluas kebijakan insentif pelonggaran GWM harian sebesar 50 bps yang sebelumnya untuk bank yang melakukan ekspor-impor ke bank yang melakukan pembiayaan ke UMKM dan sektor prioritas lainnya.
7. Memperkuat kebiajakan sistem pembayaran untuk mitigasi risiko dan memastikan kelancaran pembayaran melalui:
a. ketersediaan uang higenis dan mengimbau masyarakat mengunakan pembayaran non tunai
b. menurunkan biaya SKNBI antar BI dengan bank dari Rp 600 per transaksi menjadi Rp 1 dan biaya transaksi dari bank ke nasabah dari Rp 3.500 menjadi Rp 2.900 per transaksi. Kebijakan ini berlaku mulai 1 April 2020.
c. mendukung penyaluran dana bansos melalui non tunai. Walaupun stimulus sudah dipersiapkan. Namun investor masih tampak ragu terhadap kemampuan Indonesia dalam menangani wabah ini. Hal ini terlihat dari bursa saham tanah air yang terus berada dalam tekanan.
Sejak awal tahun IHSG belum pernah mencatatkan kinerja yang baik. Apalagi setelah kasus COVID-19 masuk ke Indonesia dan WHO resmi mendeklarasikan COVID-19 sebagai pandemi, bursa saham tanah air makin tertekan hebat.
Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sangat jauh dari kata memuaskan. Bahkan bisa dibilang IHSG termasuk yang ‘
laggard’ jika dibanding bursa saham lainnya. Sejak awal tahun IHSG sudah terkoreksi lebih dari 35% dan asing kabur dari bursa saham RI sebesar Rp 10,84 triliun. Tentu ini adalah angka yang fantastis.
Koreksi yang terjadi pada bursa saham tanah air sekarang ini jauh lebih hebat dari krisis keuangan global tahun 2008 silam. Kala itu IHSG terperosok hampir 60% dalam kurun waktu nyaris satu tahun, atau tepatnya 11,1 bulan.
Namun yang terjadi sekarang adalah IHSG sudah anjlok nyaris 40% dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan. Padahal Indonesia bisa dikatakan baru memasuki fase awal merebaknya wabah. Jadi bisa dibayangkan kalau Indonesia tak mampu menangani wabah ini, bukan tak mungkin IHSG terperosok semakin dalam dan bahkan lebih dalam ketimbang tahun 2008 silam.
Bukan tanpa alasan sebenarnya investor ragu. Hal ini bisa dilihat dari dua faktor, yakni ekonomi dan kesehatan. Dari faktor ekonomi, Indonesia merupakan salah satu negara yang terkait erat dengan China.
China merupakan mitra dagang terbesar RI. Nilai perdagangan antara Indonesia dengan China saja nilainya mencapai 7% dari PDB. China menjadi pemasok barang-barang elektronik dan kebutuhan manufaktur lain untuk RI. Sementara China juga menjadi destinasi ekspor bagi komoditas unggulan Indonesia seperti batu bara.
Selain itu China juga menjadi investor strategis RI. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini. China menjadi investor asing terbesar kedua yang menggelontorkan dananya ke Indonesia. Belum lagi dari segi wisatawan mancanegara. Pelancong dari China sendiri menyumbang porsi yang besar dan masuk ke dalam 10 besar kunjungan asing terbanyak ke RI.
Kajian Bank Dunia menyebutkan, jika ekonomi China terpangkas 1 poin persentase saja, maka pertumbuhan ekonomi tanah air akan terkena dampaknya sebesar 0,3 poin persentase. Tentu ini ancaman besar. Walau aktivitas China sudah berangsur pulih, wabah COVID-19 telah membuat aktivitas ekonomi China terpukul hebat. Dari sisi kesehatan sendiri, keraguan investor tidak dapat disalahkan juga. Masalanya sektor kesehatan RI masih jauh tertinggal dari yang lain.
Ketika negara sekelas AS, Jerman, Perancis dan Italia yang sektor kesehatannya jauh lebih maju dari Indonesia saja masih kewalahan menghadapi wabah. Apalagi Indonesia yang ukuran populasinya besar tetapi ketersediaan kasur rumah sakit dan tenaga medis masih minim.
Hal ini juga terlihat jelas dari indikator lain yaitu, angka kematian di RI yang tergolong tinggi hingga 8% jauh melebihi angka kematian global di angka 4,5%. Tingkat kematian akibat COVID-19 Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara dan menggeser Filipina.
Mau bagaimana lagi. Stimulus fiskal sudah dipersiapkan, kelonggaran moneter sudah diberikan. Namun pasar masih belum bisa tenang dan investor masih ragu.
Jadi kalau dilihat dari kacamata investor, kunci utama agar pasar kembali normal dan RI dicap sudah siap menghadapi badai wabah ini adalah seberapa efektif stimulus untuk meredam dampak ekonomi serta intervensi di sektor kesehatan untuk menjinakkan sang musuh utama yang tak kasat mata. COVID-19.
Kini semua mata tertuju pada bagaimana intervensi kesehatan setidaknya bisa menurunkan angka kematian di tanah air, walau angkanya masih bergerak dinamis.
Well, tahun ini sepertinya bakal jadi tahun yang berat untuk bahtera besar yang berbendera merah putih. Kita saat ini hidup dalam bahaya. Ada musuh tak kasat mata yang mengintai dan mengancam nyawa kita.
Hal ini membuat penulis teringat pidato Bung Karno setahun sebelum peristiwa G30SPKI. Kala itu pidato bung Karno diberi judul dalam bahasa Italia : Vivere Pericoloso yang artinya hidup dalam bahaya.
Kita memang harus bersiap dengan segala kemungkinan, termasuk skenario terburuk. Namun yang jelas jangan sampai hilang harapan.
Hope for The Best, Prepare for The Worst!Selamat Hari Raya Nyepi bagi yang merayakan!
TIM RISET CNBC INDONESIA