Mau Bunuh Virus Corona Pakai Suku Bunga? Memangnya Bisa?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 March 2020 07:00
Mau Bunuh Virus Corona Pakai Suku Bunga? Memangnya Bisa?
CNBC Indonesia/Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian dunia sedang murung akibat serangan virus corona. Agar tidak murung lagi, para pengambil kebijakan menempuh berbagai upaya untuk mengembalikan gairah para pelaku ekonomi.

Penyebaran virus corona memang kian mengkhawatirkan. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Senin (16/3/2020) pukul 23:53 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 175.250. Korban jiwa tercatat 6.706 orang.

 



Serangan virus corona adalah tragedi kemanusiaan dan kesehatan. Luasnya penyebaran virus ini membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan kondisi pandemi global.

Namun, dampak penyebaran virus corona juga terasa di sektor ekonomi. Aktivitas masyarakat menjadi terbatas (atau dibatasi) mengingat virus mematikan yang siap menyerang siapa saja dan kapan saja.

Berbagai perusahaan meliburkan atau mengizinkan karyawan bekerja dari rumah (Work from Home). Beberapa negara yang melakukan penguncian alias lockdown bahkan sudah menutup akses bagi warga negara asing dan membatasi gerak masyarakat untuk meredam penyebaran virus lebih lanjut.



Hal-hal semacam ini yang membuat roda perekonomian bergerak lambat, atau mungkin bisa berhenti sama sekali. Ancaman perlambatan ekonomi bahkan resesi menjadi semakin nyata.

[Gambas:Video CNBC]





Oleh karena itu, sejumlah otoritas mencoba untuk menggairahkan perekonomian. Salah satunya adalah bank sentral melalui penurunan suku bunga acuan.

Ketika suku bunga acuan turun, diharapkan bakal tertransmisikan ke penurunan suku bunga kredit perbankan sehingga rumah tangga dan dunia usaha bisa mengakses pembiayaan dengan lebih murah. Ekonomi pun bakal terakselerasi.

Akhir pekan ini, bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed kembali menurunkan suku bunga acuan. Tidak main-main, penurunannya mencapai 100 basis poin (bps) menjadi 0-0,25%, terendah sejak 2015.




Dalam sebulan terakhir, ini menjadi kali kedua The Fed menurunkan suku bunga acuan di luar rapat terjadwal. Pertama dilakukan pada 3 Maret, kala itu Federal Funds Rate dipangkas 50 bps. Seharusnya rapat Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committe/FOMC) baru berlangsung pada 17-18 Maret.

"Penyebaran virus corona telah melukai masyarakat dan mengganggu aktivitas ekonomi di berbagai negara, termasuk AS. Pasar keuangan global pun terpengaruh.

"Dampak penyebaran virus corona akan membebani aktivitas perekonomian AS dalam jangka pendek dan menyebabkan risiko terhadap prospek ke depan. Dengan perkembangan ini, Komite memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan ke 0-0,25%," tulis keterangan resmi The Fed.

Kemarin, bank sentral Jepang (BoJ) juga melakukan rapat darurat tidak terjadwal. Meski tidak menurunkan suku bunga acuan, tetapi bank sentral pimpinan Haruhiko Kuroda itu berkomitmen untuk menjaga stabilitas pasar melalui gelontoran likuiditas.

"Pasar keuangan global sedang tidak stabil karena tingginya ketidakpastian akibat dampak penyebaran virus corona. Aktivitas ekonomi Jepang sudah melemah.

"BoJ merasa tepat melakukan pelonggaran moneter melalui tiga langkah. Pertama, memastikan kecukupan likuiditas melalui pembelian obligasi pemerintah dan operasi pasar valas. Kedua, memfasilitasi pembiayaan korporasi melalui skema operasi baru. Ketiga, secara aktif melakukan pembelian Exchange-Traded Funds (ETFs) dan Japan Real Estate Investment Trusts (J-REITs)," sebut keterangan tertulis BoJ.

Saat ini, suku bunga acuan di Negeri Matahari Terbit adalah -0,1%. Jika kondisi memungkinkan, Kuroda membuka peluang untuk membawa suku bunga acuan lebih rendah lagi.


"Saya rasa kami belum mencapai titik dasar dalam hal sejauh mana suku bunga acuan bisa diturunkan. Jika memungkinkan, kami bisa membawa suku bunga acuan minus lebih dalam lagi," tegas Kuroda, seperti diberitakan Reuters.

Contoh lain adalah bank sentral Selandia Baru (RBNZ) yang memangkas suku bunga acuan 75 bps menjadi 0,25%. Ini adalah rekor terendah sepanjang sejarah.




Pertanyaannya, apakah stimulus moneter bakal efektif memerangi dampak penyebaran virus corona? Apakah stimulus moneter adalah kebijakan yang tepat sasaran?

Sayangnya, mungkin jawabannya tidak.

Sebab penurunan suku bunga acuan akan mendorong ekonomi dari sisi permintaan. Kala suku bunga rendah, rumah tangga dan dunia usaha akan punya ruang untuk meningkatkan permintaan.

Masalahnya virus corona tidak menyerang ekonomi di sisi permintaan, melainkan pasokan. Seperti yang sudah disebut sebelumnya, virus corona membuat aktivitas masyarakat menjadi terbatas.

Salah satu yang terkena dampaknya adalah industri manufaktur, yang kekurangan pekerja karena khawatir tertular virus. Hasilnya sudah cetha wela-wela dalam rilis data terbaru di China.

Pada Januari-Februari 2020, produksi industri China turun 13,5% year-on-year (YoY). Ini adalah penurunan pertama sejak awal 1990.




Minimnya produksi industri Negeri Tirai Bambu mempengaruhi rantai pasok global. Maklum, China adalah pemain utama di rantai pasok berbagai sektor. Sebut saja, mau elektronik, otomotif, sampai produk pangan didominasi produk made in China.

 

Penurunan pasokan produk China membuat industri di berbagai negara kekurangan bahan baku/penolong atau barang modal. Akibatnya, output industri dunia turun. Output produksi turun sama dengan penurunan jumlah barang yang beredar di pasar. Ada kelangkaan.

Contohnya sudah terjadi di Indonesia. Pada Februari, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor non-migas dari China turun 49,63% dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi di kelompok bahan baku/penolong seperti besi baja, tembaga, pulp, dan kayu.


Kekurangan pasokan bahan baku/penolong dari China membuat dunia usaha mulai gloomy. Pada Februari, Purchasing Managers' Index (PMI) Asia yang merupakan kompilasi 13 negara berada di 37,9. Ini menjadi yang terendah sejak 2009.

"Produksi manufaktur Asia jatuh ke titik terendah dalam 11 tahun karena perusahaan melaporkan kebijakan yang terkait dengan penanggulangan virus corona seperti penutupan pabrik dan larangan perjalanan yang memukul rantai pasok. Kurangnya bahan baku menjadi penahan untuk meningkatkan produksi," sebut keterangan tertulis IHS Markit.


Kembali ke laptop, apakah penurunan suku bunga acuan bisa membuat pasokan bahan baku kembali lancar? Apakah penurunan suku bunga bisa membuat barang kembali tersedia dan memulihkan rantai pasok?

Sayangnya tidak.

Bisa saja, tetapi hubungannya agak jauh. Penurunan suku bunga acuan bisa membuat industri dalam negeri punya ruang untuk tumbuh sehingga pada akhirnya mengurangi ketergantungan terhadap barang impor, wa bil khusus dari China. Namun ini butuh waktu lama, hitungan tahun atau bahkan dekade.

Bahkan ketika permintaan didorong melalui stimulus suku bunga sementara pasokan masih langka, yang ada adalah tekanan inflasi. Ini justru semakin memberatkan konsumen, terutama kelompok berpendapatan rendah.


Oleh karena itu, agak sulit berharap penurunan suku bunga acuan bisa membuat pelaku ekonomi kembali bergairah. Mungkin bisa, tetapi sifatnya jangka pendek, euforia sesaat saja.

Susah mengharapkan penurunan suku bunga acuan bisa menciptakan optimisme dalam jangka yang lebih panjang. Sebab, virus corona memang tidak bisa dibunuh dengan suku bunga.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular