Newsletter

Obligasi: Blessing in Disguise di Tengah Wabah Corona

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
14 February 2020 06:40
Obligasi: Blessing in Disguise di Tengah Wabah Corona
Jakarta, CNBC Indonesia - Tak disangka, pasar terlampau cepat senang ketika mendengar kabar melambatnya penyebaran virus corona. Kini, kabar terbaru menunjukkan bahwa virus ini menginfeksi lebih banyak orang dengan tingkat mortalitas yang juga tinggi. Pasar sahamobligasi dan pasar mata uang pun tertekan secara berjamaah.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Kamis (13/2/2020) dibuka di zona hijau, tetapi kemudian terus tertekan bahkan sebelum memasuki sesi kedua. Pada sesi penutupan, indeks acuan bursa saham nasional tersebut tertekan sebesar 0,7% ke level 5.871,95.



Irama pergerakan IHSG berbarengan dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang meluncur turun ke zona merah, setelah sempat di buka menguat: indeks Nikkei Jepang tertekan 0,14%, indeks Shanghai terkoreksi 0,71%, indeks Hang Seng turun 0,34%, dan indeks Kospi Korea Selatan (Korsel) tergerus 0,24%.

Di pasar mata uang, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di level Rp 13.655, tetapi kemudian terus masuk ke zona merah. Depresiasi rupiah membesar hingga mengakhiri perdagangan di level Rp 13.675 per dolar AS, atau melemah 0,15%.

Mayoritas mata uang utama Asia memang melemah pada perdagangan kemarin dengan rupee India menjadi yang terburuk dengan pelemahan sebesar 0,2%. Sementara itu, yen Jepang menjadi kurs berkinerja terbaik dengan menguat 0,27%.


Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah bertenor 10 tahun naik 0,4 bps menjadi 6,561%. Obligasi tenor ini menjadi acuan harga di pasar obligasi. Kenaikan yield mengindikasikan koreksi harga karena keduanya bergerak berlawanan arah.

Hasil riset S&P memprediksi produk domestik bruto (PDB) Negeri Tiongkok akan terpangkas hingga 1,2% jika wabah Wuhan terus berlanjut. Sementara itu, Bank Dunia mengatakan tiap pelambatan ekonomi China sebesar 1% dapat membuat ekonomi Indonesia terkontraksi 0,3%.

[Gambas:Video CNBC]



Bursa saham Amerika Serikat (AS) terpelanting pada perdagangan Kamis (13/2/2020) menyusul lonjakan kasus corona dalam skala yang di luar dugaan, hingga memicu ketidakpastian dan kekhawatiran seputar efek negatifnya terhadap perekonomian.

Indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 128,11 poin (-0,4%) pada penutupan perdagangan menjadi 29.423,3. Indeks Nasdaq tertekan 0,1% ke 9.711,9 dan S&P 500 minus 0,2% ke 3.373,9. Ketiganya sempat menyentuh level tertinggi harian sebelum kemudian terkoreksi sampai dengan sesi penutupan.

China melaporkan adanya 15.152 kasus baru virus Corona, dengan korban jiwa tambahan sebanyak 254 orang. Total, angka kematian akibat virus asal Wuhan tersebut mencapai 1.367 orang dan nyaris 60.000 orang terinfeksi.

Dalam penjelasannya, otoritas China mengatakan kenaikan itu terkait dengan perubahan tabulasi jumlah penderita virus corona. Kini semua individu yang secara ‘klinis terdiagnosis’ sudah dimasukkan ke dalam kategori ‘terkonfirmasi’.

Hal ini mengundang sikap skeptis seputar kredibilitas pelaporan data korban oleh pemerintah China. Dikutip CNBC International, seorang sumber anonim di pemerintah AS mengatakan bahwa Gedung Putih "tidak memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap informasi yang keluar dari China." Apalagi Beijing, lanjut dia, terus menolak bantuan AS.

“Reakselerasi tajam infeksi korona yang tiba-tiba di China membuat investor mengukur ulang risiko mereka,” tutur Alec Young, Managing Director FTSE Russell, sebagaimana dikutip CNBC International.

Menurut dia, China dan perusahaan yang terkait dengan perjalanan menjadi yang paling rentan kena imbas ekonomi. Namun, selama dampak terhadap ekonomi AS masih terbatas maka bursa saham akan relatif kebal. Sebaliknya jika AS tertembus, maka volatilitas akan naik signifikan.

Sementara itu, saham maskapai penerbangan United Airlines dan American Airlines anjlok lebih dari 1%. Saham emiten wisata Wynn Resorts dan Las Vegas Sands yang memiliki eksposur besar pengunjung dari China, masing-masing turun lebih dari 2%.

Cisco Systems menjadi saham yang berkinerja terburuk di antara konstituen Dow Jones dengan anjlok 5%, setelah pendapatan per kuartal IV-2019 anjlok 4% secara tahunan. Saham Pepsi dan Alibaba juga terkoreksi, masing-masing sebesar 0,1% dan 1,6% meski melaporkan kinerja positif.

Secara sektoral, koreksi terbesar menimpa indeks sektor manufaktur yang turun 0,7%, disusul sektor kesehatan yang melemah 0,5%. Pelaku pasar tak banyak merespons positif angka klaim pengangguran mingguan, meski masih di level rendah. Di sisi lain, Indeks Harga Konsumen (IHK) AS per Januari naik 2,5% secara tahunan.

Di tengah masih besarnya lubang ketakpastian seputar penanganan virus corona, pelaku pasar global pun mulai lebih agresif masuk ke pasar obligasi, membuka babak baru kenaikan pasar obligasi di tengah koreksi bursa saham.

Kekhawatiran terbaru mengenai efek wabah corona terhadap ekonomi muncul dari laporan HSBC yang pada Kamis kemarin memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2020 menjadi 4,1% secara tahunan. Angka ini turun dibandingkan dengan 5,8% sebelumnya.

Untuk ekonomi setahun penuh, bank berbasis di Hong Kong ini memangkas proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) menjadi 5,3% dari semula 5,8%, dengan menyoroti efek negatif Wabah Wuhan itu terhadap pariwisata, perdagangan, dan rantai suplai.

Di tengah perkembangan itu, pemerintah AS sukses melelang surat utang bertenor 30 tahun dengan imbal hasil (yield) 2,061%. Nilai surat utang tersebut mencapai US$ 19 miliar.

Analis BMO Capital Markets Ben Jeffery menilai hasil lelang itu mengulang kesuksesan beberapa lelang sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa pemodal tak ragu membeli surat utang pemerintah AS, yang tergolong sebagai aset minim risiko (safe haven).

"Fakta bahwa suku bunga sangat rendah dan masih ada permintaan tinggi mendukung argumen bahwa masih akan ada permintaan struktural atas obligasi pemerintah AS," tuturnya sebagaimana dikutip Reuters.

Menurut Kepala Riset Kredit MetLife Investment Management Brian Funk, aksi perburuan itu juga bakal terjadi hingga ke negara berkembang, Surat utang emerging market saat ini merupakan pilihan yang "sedikit mudharatnya."

"Ia memberikan nilai investasi dengan basis risiko yang sudah disesuaikan pada tahap siklus ini," tuturnya sebagaimana dikutip CNBC International.

Catatan Bank of America mengonfirmasi itu, menunjukkan bahwa aliran dana ke pasar surat utang emerging market pekan lalu menyentuh rekor tinggi, terlepas dari aliran dana yang keluar pada pekan sebelumnya.

Dalam sebulan, surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun anjlok ke kisaran 1,6% dari posisi sebulan lalu sebesar 1,85%. Artinya, pemodal tengah mengoleksi aset investasi ini secara besar-besaran.

Di Indonesia, sepanjang tahun berjalan ini imbal hasil surat utang bertenor sama anjlok dari 7,98% pada 31 Desember 2019 menjadi 6,56%. Perlu sentimen positif yang sanget kuat untuk membuat bursa saham bergeliat naik di tengah situasi seperti sekarang ini. Berikut ini adalah rilis data ekonomi pada hari ini: 
  • Rilis penjualan motor di Indonesia per Januari (tentatif)
  • Rilis penjualan otomotif China per Januari (13:30 WIB)
  • Rilis arus dana asing langsung (FDI) China per Januari (14:00 WIB)
  • Rilis neraca perdagangan Uni Eropa perDesember (17:00 WIB)
  • Rilis penjualan ritel AS per Januari (20:30 WIB)
Adapun agenda perusahaan terbuka meliputi:
  • RUPLSB PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk (10:00 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional :

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q IV-2019 YoY)

5,02%

Inflasi (Januari 2020 YoY)

0,39%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2020)

5%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (Q III-2019)

-2,66% PDB

Neraca pembayaran (Q III-2019)

-US$ 46 juta

Cadangan devisa (Januari 2020)

US$ 131,7 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular