Tetap Paling Profitable, Saham BBRI Siap Cetak Rekor Lagi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) menjadi salah satu saham bluechip yang paling oke performanya di sepanjang tahun 2019.
Sepanjang tahun lalu, harga saham BBRI melejit hingga 20,22%. Kinerja saham BBRI merupakan yang terbaik kedua jika dibandingkan dengan kinerja dari lima emiten perbankan lain yang juga masuk ke dalam kategori BUKUĀ 4 (bank dengan modal inti setidaknya Rp 30 triliun).
Di tahun 2020, saham BBRI belum juga kehabisan tenaga untuk menguat. Bahkan, dalam beberapa waktu terakhir harga saham dari perusahaan pimpinan Sunarso tersebut tak henti ditutup di level tertinggi sepanjang sejarah.
Pada penutupan perdagangan kemarin, Kamis (23/1/2020), harga saham BBRI ditutup di level Rp 4.740/unit, level tertinggi sepanjang sejarah.
Walau kembali ditutup di level tertinggi sepanjang sejarah, pelaku pasar terlihat belum memiliki niatan yang besar untuk melego saham BBRI dengan intensitas yang besar. Per akhir sesi satu perdagangan hari ini, Jumat (24/1/2020), harga saham BBRI hanya turun tipis 0,21%.
Lantas, ada indikasi bahwa harga saham BBRI bisa kembali mencetak rekor dalam waktu dekat.
Sentimen positif yang bisa membawa harga saham BBRI kembali mencetak rekor adalah rilis kinerja keuangan untuk periode 2019. Kinerja keuangan untuk periode 2019 dirilis oleh perusahaan kemarin sore, pasca perdagangan di bursa saham Tanah Air ditutup.
Sepanjang tahun lalu, perusahaan berhasil membukukan laba bersih senilai Rp 34,41 triliun, naik 6,15% jika dibandingkan capaian tahun 2018.
Pertumbuhan laba bersih perusahaan ditopang oleh kenaikan pendapatan bunga bersih atau net interest income (NII) yang mencapai 5,2%, dari Rp 77,67 triliun pada tahun 2018 menjadi Rp 81,71 triliun pada tahun 2019.
Sepanjang tahun lalu, penyaluran kredit BRI tumbuh mencapai 8,4% menjadi Rp 908,88 triliun, dari yang sebelumnya Rp 838,14 triliun. Penyaluran kredit dari BRI terbilang tumbuh dengan pesat di tengah-tengah tekanan yang dihadapi oleh industri perbankan.
Melansir publikasi Statistik Perbankan Indonesia (SPI) edisi Oktober 2019 yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit dari bank umum konvensional kepada pihak ketiga bukan bank adalah senilai Rp 5.287,46 triliun (per Oktober 2019), naik 6,39% jika dibandingkan dengan posisi pada periode yang sama tahun sebelumnya (Oktober 2018).
Pertumbuhan tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan pertumbuhan pada Oktober 2018 yang mencapai dua digit, tepatnya sebesar 13,63%. Lantas, pertumbuhan penyaluran kredit BRI yang mencapai 8,4% pada tahun 2019 bisa dikatakan menggembirakan.
Penyaluran kredit yang tumbuh nyaris mencapai dua digit tersebut diimbangi oleh marjin bunga bersih atau net interest margin (NIM) yang relatif tinggi. Pada tahun lalu, NIM dari BRI berada di level 6,73%.
Lantas, sejauh ini BRI masih sukses mengokohkan posisinya sebagai bank BUKU 4 paling menguntungkan (profitable) di Tanah Air.
Sebagai informasi, NIM sendiri merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.
Dari emiten bank BUKU 4 lainnya yang sudah merilis kinerja keuangan untuk periode 2019 yakni PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), NIM dari BRI jauh berada di atas kedua kompetitornya tersebut.
Pada tahun 2019, NIM dari BNI hanya berada di level 4,9%, sementara NIM dari Bank Mandiri berada di level 5,56%.
Seiring dengan keberhasilan perusahaan dalam menyalurkan kredit secara deras, di mana hal tersebut diimbangi dengan tingkat profitabilitas yang tinggi, BRI kembali menjadi bank terbesar di Indonesia.
Per akhir tahun lalu, total aset dari BRI telah melampaui Rp 1.400 triliun, tepatnya di angka Rp 1.418,95 triliun. Sebagai perbandingan, aset dari BNI dan Bank Mandiri per akhir tahun 2019 masing-masing hanya senilai Rp 845,61 triliun dan Rp 1.318,25 triliun.
Secara manajemen risiko, terlihat bahwa perusahaan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Hal ini terlihat dari rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) yang masih berada di bawah level 3%, tepatnya 2,8%.
Penyaluran kredit yang terbilang prudent tersebut ikut dilengkapi oleh pencadangan yang juga tinggi, ditunjukkan oleh besaran NPL Coverage Ratio.
Untuk diketahui, NPL Coverage Ratio didapatkan dengan membagi Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dengan jumlah kredit bermasalah. CKPN sendiri merupakan dana yang dialokasikan oleh perbankan guna menghadapi kemungkinan kredit yang disalurkannya tak mampu dilunasi oleh debitur.
Semakin tinggi NPL Coverage Ratio, maka perbankan akan semakin siap dalam menghadapi risiko memburuknya kualitas aset mereka. Melansir riset dari Mandiri Sekuritas, NPL Coverage Ratio dari BRI berada di level 160% pada tahun 2019.
Dari sisi permodalan, BRI bisa dikatakan semakin mumpuni. Di dunia perbankan, terdapat istilah yang dikenal sebagai rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR). CAR sendiri menggambarkan modal bank jika dibandingkan dengan risiko yang ditanggungnya.
Semakin tinggi CAR, maka permodalan sebuah bank bisa dikatakan semakin mumpuni. Pada tahun 2019, CAR dari BRI berada di level 22,77%, naik dari posisi pada tahun 2018 yang sebesar 21,35%. CAR yang mencapai 22,77% tersebut merupakan CAR tertinggi setidaknya dalam lima tahun terakhir.