Siap-siap Ambil Posisi, Rupiah Masih Akan Kinclong di 2020!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 January 2020 16:29
Siap-siap Ambil Posisi, Rupiah Masih Akan Kinclong di 2020!
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menunjukkan kinerja yang cemerlang pada 2019. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) dan mata uang utama lainnnya, rupiah menguat signifikan.

Sepanjang 2019, rupiah berhasil menguat 3,44% dan mengakhiri tahun di angka Rp 13.880/US$ di pasar spot melansir data Refinitiv. Titik tersebut merupakan yang terkuat dalam satu setengah tahun terakhir. Jika melihat pergerakan dalam 12 bulan, rupiah nyaris berada di zona hijau sepanjang tahun secara year-to-date (ytd).

Data dari Refinitiv menunjukkan mata uang Tanah Air hanya berada di zona merah secara ytd kurang lebih dua pekan pada pertengahan hingga akhir Mei saja. Sejak 31 Mei, setelah Indonesia mendapat kenaikan peringkat surat utang oleh S&P 500, rupiah tidak pernah lagi menyentuh zona merah secara ytd.

"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang pruden," tulis S&P dalam keterangan resminya yang dirilis pada 31 Mei 2019.

Tepat setahun sebelumnya, S&P sempat mengafirmasi peringkat surat utang jangka panjang Indonesia di level di BBB-. Sebagai informasi, level BBB- merupakan level terendah bagi surat utang yang masuk dalam kategori layak investasi (investment-grade).



Tidak hanya melawan dolar AS, rupiah juga perkasa melawan mata uang utama lainnya. Mata uang 19 negara Uni Eropa, euro, dibuat merosot 5,51%, kemudian mata uang safe haven, franc Swiss, melemah 2,59%.

Tetapi sayangnya, mata uang utama benua Eropa lainnya, poundsterling berhasil membalikkan posisi di akhir Desember. Mata uang Negeri Big Ben ini berhasil menguat 0,56% melawan rupiah, meski di awal Agustus sudah melemah 7,55%. Poundsterling berhasil bangkit di kuartal IV-2019.


Beralih ke Asia, yen sebagai mata uang Benua Kuning melemah 2,59%. Bergeser ke Benua Australia, Mata Uang Kanguru melemah 3,91% di hadapan rupiah.

Dengan demikian, Sang Garuda berhasil, menancapkan cakarnya di empat benua. Kinerja moncer rupiah pada tahun lalu masih bisa berlanjut lagi tahun 2020, apalagi dengan prospek membaiknya pertumbuhan ekonomi global.



Pada 2019 pertumbuhan ekonomi global mengalami pelambatan yang signifikan. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) pada Oktober lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3% dari proyeksi sebelumnya yaitu 3,2%. Jika proyeksi tersebut menjadi kenyataan, maka pertumbuhan ekonomi global tersebut akan menjadi yang terendah sejak krisis finansial 2008. 

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China menjadi penyebab utama melambatnya pertumbuhan ekonomi global. Pada kuartal III-2019, ekonomi China tumbuh 6%, menjadi pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 1992.

Sementara pada periode yang sama pertumbuhan ekonomi AS adalah 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Meski membaik dibandingkan kuartal sebelumnya 2%, tetapi masih melambat dibandingkan kuartal III-2018 sebesar 2,9% dan kuartal III-2017 3,2%. 

Pelambatan ekonomi dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut turut menyeret turun pertumbuhan ekonomi global di tahun ini. Bahkan lebih buruk lagi, muncul isu resesi di banyak negara maju, termasuk di Negeri Paman Sam. 


Dalam kondisi pelambatan ekonomi global, nilai tukar rupiah seharusnya dalam tekanan. Pada pelaku pasar cenderung akan bermain aman dengan menempatkan investasinya di aset safe haven. Tetapi, faktanya rupiah masih tetap perkasa sepanjang tahun 2019. Bahkan, seperti yang disebutkan di halaman sebelumnya, rupiah berada di zona merah kurang lebih hanya dua minggu secara ytd pada tahun lalu. 

Pelambatan ekonomi yang terjadi di AS dan China serta ekonomi global pada umumnya membuat bank sentral di berbagai negara mengambil kebijakan pelonggaran moneter untuk memberikan suntikan 'adrenalin' ke perekonomian agar bisa terakselerasi.

Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) cukup agresif dalam melonggarkan kebijakan moneter. Di bawah pimpinan Jerome Powell, The Fed memangkas suku bunga sebanyak tiga kali, masing-masing 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75%. 



Pemangkasan suku bunga oleh The Fed tersebut menjadi salah satu kunci rupiah mampu menguat di tahun ini. Jika dalam kondisi ekonomi global yang gonjang-ganjing rupiah mampu menguat, di tahun depan ketika ekonomi membaik tentunya akan memberikan tenaga bagi rupiah untuk melaju lagi. Apalagi The Fed sudah menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga pada tahun depan. Risiko keluarnya modal dari dalam negeri menuju AS menjadi berkurang. 

Perang dagang AS-China, yang menjadi penyebab pelambatan utama pelambatan ekonomi global, sebentar lagi akan berakhir. Presiden AS, Donald Trump, melalui akun Twitternya menyatakan kesepakatan dagang fase I akan diteken pada 15 Januari nanti.


"Saya akan menandatangani perjanjian Fase I yang sangat besar dan komprehensif dengan China pada 15 Januari. Seremoni akan dilakukan di Gedung Putih. Delegasi tingkat tinggi dari China akan datang. Selepas itu, saya akan datang ke Beijing dan memulai pembicaraan Fase II," cuit Trump di Twitter.

Kepastian penandatanganan kesepakatan dagang fase I setidaknya menurunkan risiko terjadinya eskalasi perang dagang, dan malah memunculkan peluang damai dagang kedua belah pihak. Harapan akan membaiknya pertumbuhan ekonomi di tahun depan juga kian membuncah. 

Sebelum tercapainya kesepakatan dagang fase I, IMF sudah memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun 2020 sebesar 3,4% yang lebih baik dari 2019.  Selain IMF, Bank Dunia juga melihat negara-negara berkembang akan mendorong pertumbuhan ekonomi global.

Tanda-tanda membaiknya pertumbuhan ekonomi global sudah terlihat di penghujung 2019. AS sudah menunjukkan perbaikan ekonomi pada kuartal III-2019, kemudian China dalam dua bulan terakhir menunjukkan ekspansi sektor manufaktur. 

Sebelum November, Purchasing Managers' Index (PMI) China selalu di bawah 50 atau mengalami kontraksi selama enam bulan beruntun, yang menjadi salah satu penyebab perlambatan ekonomi. Baru pada November dan Desember PMI manufaktur China angka PMI dilaporkan sebesar 50,2, yang berarti ekspansi dua bulan beruntun.


Pada kuartal III-2019, ekonomi Indonesia tumbuh 5,02%, menjadi yang terlemah sejak kuartal II-2017. Meski demikian di kuartal IV-2019 PDB diprediksi membaik, begitu juga di tahun 2020. 

Bank Indonesia dalam paparan tertulis pada Desember lalu memprediksi ekonomi Indonesia pada 2019 tumbuh di kisaran 5,1% dan membaik ke kisaran 5,1-2,5% pada 2020. Konsumsi rumah tangga, investasi, sampai belanja pemerintah diperkirakan akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Tanda-tanda ekonomi Indonesia membaik di penghujung 2019 terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang meningkat. BI di awal Desember lalu merilis IKK periode November 2019 berada di level 124,2, jauh meningkat dibandingkan IKK periode Oktober 2019 yang sebesar 118,4.

IKK menggunakan angka 100 sebagai titik awal, di atasnya berarti konsumen optimistis terhadap kondisi ekonomi RI. Kenaikan IKK secara signifikan bisa jadi tanda masyarakat Indonesia akan secara signifikan meningkatkan konsumsinya, yang tentunya dapat meningkatkan PDB.



Selain itu, sama dengan China PMI manufaktur Indonesia juga membaik meski masih berkontraksi. IHS Markit melaporkan PMI manufaktur Indonesia di bulan Agustus sebesar 49,5. Meski masih di bawah 50 alias berkontraksi, tetapi angka indeks bulan Desember tersebut merupakan yang tertinggi dalam lima bulan terakhir. 

"Dengan output, permintaan baru, dan inventaris input kembali tumbuh menunjukkan bahwa masa pemulihan sudah dekat. Tentu saja headline PMI sementara masih di bawah level netral 50, tetapi naik ke posisi tertinggi selama lima bulan. Ditambah lagi, kepercayaan diri berbisnis merupakan yang paling tinggi pada semester II-2019," sebut Bernard Aw, Kepala Ekonom IHS Markit seperti dikutip dari keterangan resmi.


"Dunia usaha memperkirakan akan ada ekspansi, efisiensi keuntungan, perbaikan kualitas, aktivitas pemasaran, dan kenaikan perkiraan penjualan yang mendorong pertumbuhan produksi. Tanda lebih lanjut dari kepercayaan bisnis yang lebih besar, perusahaan menaikkan aktivitas pembelian untuk kali pertama sejak Juni yang kemudian berkontribusi terhadap kenaikan inventaris input," papar keterangan tertulis IHS Markit.

Selain itu, BI di tahun ini sudah menembakkan berbagai 'peluru' guna membantu perekonomian RI agar lebih terakselerasi. BI sudah menurunkan suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate) sebanyak empat kali masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) hingga ke level 5%. Penurunan suku bunga tersebut bahkan dilakukan dalam empat bulan beruntun pada periode periode Juli sampai Oktober. 



Tidak hanya menurunkan suku bunga, BI juga memberikan stimulus moneter lainnya berupa penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), ada juga pelonggaran rasio Loan to Value/Loan to Financing (LTV/LTF).  Jauh sebelum memangkas suku bunga, BI menaikkan batasan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dari 80-92% menjadi 84-94% untuk mendorong pembiayaan perbankan bagi dunia usaha.

Berbagai kebijakan tersebut tentunya memerlukan masa transmisi agar bisa sampai ke sektor riil, dan dampaknya akan terasa di tahun ini. 

Selain BI, pemerintah juga akan membuat gebrakan dengan Omnibus Law yang akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di bulan Januari ini, dan digadang-gadang bisa menarik investasi deras di dalam negeri. Pemerintah Joko Widodo (Jokowi), dalam APBN 2020 menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%.


Kondisi eksternal yang membaik, dan prospek pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang lebih tinggi tentunya menarik minat bagi pelaku pasar untuk mengalirkan modalnya di Indonesia. Belum lagi melihat imbal hasil yang relatif tinggi, semakin menambah daya tarik RI sebagai target investasi. 

Pada tahun 2019, rata-rata yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun sebesar 7,5%, jauh lebih tinggi dibandingkan negara lainnya, seperti Malaysia 3,6%, Filipina 5,3%, Thailand 2%, bahkan lebih tinggi dari India 6,9%. 

Kenaikan peringkat surat utang oleh S&P 500 ditambah dengan yield yang relatif tinggi membuat aliran investasi deras masuk ke Tanah Air pada tahun lalu. 

Data yang dipublikasikan oleh Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, di sepanjang tahun 2019 (hingga perdagangan hari Kamis, 26/12/2019) investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 171,59 triliun atas obligasi terbitan pemerintah Indonesia. Kondisi tersebut masih bisa berlanjut di tahun ini, sehingga rupiah berpotensi melanjutkan penguatannya. 


Yield yang tinggi serta kondisi ekonomi yang stabil, serta kemungkinan kembali mendapat kenaikan peringkat surat utang membuat rupiah direkomendasikan sebagai target investasi di tahun ini oleh bank investasi ternama Goldman Sachs. 

"Jika investor berinvestasi, Anda tahu aset di Indonesia memiliki yield cukup tinggi, dengan kondisi makroekonomi dan pertumbuhan global yang relatif stabil, kami pikir ini (aset di Indonesia) cukup menarik untuk dimainkan" kata Zach Pandl, co-head analis mata uang global, suku bunga, dan strategi negara berkembang di Goldman Sachs, sebagaimana dilansir CNBC International.

"Anda memiliki pertumbuhan yang stabil. Anda memiliki gambaran pemerintahan yang cukup bagus dan anda memiliki bank sentral yang terus mencoba mempertahankan nilai tukar mata uang agar tetap stabil" tambahnya.

Kondisi ekonomi global yang lebih baik menurut Pandl menjadikannya lebih nyaman berinvestasi di negara-negara berkembang. Ia juga mengatakan belum memperhitungkan jika Indonesia akan kembali mendapat kenaikan peringkat surat utang, tetapi masih yakin akan berinvestasi di instrument rupiah. 

"Itu (kenaikan peringkat utang) belum kami perhitungkan dan kami tetap berpikir untuk mengambil posisi beli (long) terhadap rupiah, didanai dengan aset ber-yield rendah seperti dolar Taiwan atau euro, berinvestasi di rupiah bisa memberikan peluang return 10% atau sedikit lebih tinggi pada tahun depan (2020)" kata Pandl pada pertengahan Desember lalu.


TIM RISET CNBC INDONESIA 


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular