
Siap-siap Ambil Posisi, Rupiah Masih Akan Kinclong di 2020!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 January 2020 16:29

Pada 2019 pertumbuhan ekonomi global mengalami pelambatan yang signifikan. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) pada Oktober lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3% dari proyeksi sebelumnya yaitu 3,2%. Jika proyeksi tersebut menjadi kenyataan, maka pertumbuhan ekonomi global tersebut akan menjadi yang terendah sejak krisis finansial 2008.
Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China menjadi penyebab utama melambatnya pertumbuhan ekonomi global. Pada kuartal III-2019, ekonomi China tumbuh 6%, menjadi pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 1992.
Sementara pada periode yang sama pertumbuhan ekonomi AS adalah 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Meski membaik dibandingkan kuartal sebelumnya 2%, tetapi masih melambat dibandingkan kuartal III-2018 sebesar 2,9% dan kuartal III-2017 3,2%.
Pelambatan ekonomi dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut turut menyeret turun pertumbuhan ekonomi global di tahun ini. Bahkan lebih buruk lagi, muncul isu resesi di banyak negara maju, termasuk di Negeri Paman Sam.
Dalam kondisi pelambatan ekonomi global, nilai tukar rupiah seharusnya dalam tekanan. Pada pelaku pasar cenderung akan bermain aman dengan menempatkan investasinya di aset safe haven. Tetapi, faktanya rupiah masih tetap perkasa sepanjang tahun 2019. Bahkan, seperti yang disebutkan di halaman sebelumnya, rupiah berada di zona merah kurang lebih hanya dua minggu secara ytd pada tahun lalu.
Pelambatan ekonomi yang terjadi di AS dan China serta ekonomi global pada umumnya membuat bank sentral di berbagai negara mengambil kebijakan pelonggaran moneter untuk memberikan suntikan 'adrenalin' ke perekonomian agar bisa terakselerasi.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) cukup agresif dalam melonggarkan kebijakan moneter. Di bawah pimpinan Jerome Powell, The Fed memangkas suku bunga sebanyak tiga kali, masing-masing 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75%.
Pemangkasan suku bunga oleh The Fed tersebut menjadi salah satu kunci rupiah mampu menguat di tahun ini. Jika dalam kondisi ekonomi global yang gonjang-ganjing rupiah mampu menguat, di tahun depan ketika ekonomi membaik tentunya akan memberikan tenaga bagi rupiah untuk melaju lagi. Apalagi The Fed sudah menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga pada tahun depan. Risiko keluarnya modal dari dalam negeri menuju AS menjadi berkurang.
Perang dagang AS-China, yang menjadi penyebab pelambatan utama pelambatan ekonomi global, sebentar lagi akan berakhir. Presiden AS, Donald Trump, melalui akun Twitternya menyatakan kesepakatan dagang fase I akan diteken pada 15 Januari nanti.
"Saya akan menandatangani perjanjian Fase I yang sangat besar dan komprehensif dengan China pada 15 Januari. Seremoni akan dilakukan di Gedung Putih. Delegasi tingkat tinggi dari China akan datang. Selepas itu, saya akan datang ke Beijing dan memulai pembicaraan Fase II," cuit Trump di Twitter.
Kepastian penandatanganan kesepakatan dagang fase I setidaknya menurunkan risiko terjadinya eskalasi perang dagang, dan malah memunculkan peluang damai dagang kedua belah pihak. Harapan akan membaiknya pertumbuhan ekonomi di tahun depan juga kian membuncah.
Sebelum tercapainya kesepakatan dagang fase I, IMF sudah memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun 2020 sebesar 3,4% yang lebih baik dari 2019. Selain IMF, Bank Dunia juga melihat negara-negara berkembang akan mendorong pertumbuhan ekonomi global.
Tanda-tanda membaiknya pertumbuhan ekonomi global sudah terlihat di penghujung 2019. AS sudah menunjukkan perbaikan ekonomi pada kuartal III-2019, kemudian China dalam dua bulan terakhir menunjukkan ekspansi sektor manufaktur.
Sebelum November, Purchasing Managers' Index (PMI) China selalu di bawah 50 atau mengalami kontraksi selama enam bulan beruntun, yang menjadi salah satu penyebab perlambatan ekonomi. Baru pada November dan Desember PMI manufaktur China angka PMI dilaporkan sebesar 50,2, yang berarti ekspansi dua bulan beruntun.
(pap/pap)
Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China menjadi penyebab utama melambatnya pertumbuhan ekonomi global. Pada kuartal III-2019, ekonomi China tumbuh 6%, menjadi pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 1992.
Sementara pada periode yang sama pertumbuhan ekonomi AS adalah 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Meski membaik dibandingkan kuartal sebelumnya 2%, tetapi masih melambat dibandingkan kuartal III-2018 sebesar 2,9% dan kuartal III-2017 3,2%.
Dalam kondisi pelambatan ekonomi global, nilai tukar rupiah seharusnya dalam tekanan. Pada pelaku pasar cenderung akan bermain aman dengan menempatkan investasinya di aset safe haven. Tetapi, faktanya rupiah masih tetap perkasa sepanjang tahun 2019. Bahkan, seperti yang disebutkan di halaman sebelumnya, rupiah berada di zona merah kurang lebih hanya dua minggu secara ytd pada tahun lalu.
Pelambatan ekonomi yang terjadi di AS dan China serta ekonomi global pada umumnya membuat bank sentral di berbagai negara mengambil kebijakan pelonggaran moneter untuk memberikan suntikan 'adrenalin' ke perekonomian agar bisa terakselerasi.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) cukup agresif dalam melonggarkan kebijakan moneter. Di bawah pimpinan Jerome Powell, The Fed memangkas suku bunga sebanyak tiga kali, masing-masing 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75%.
Pemangkasan suku bunga oleh The Fed tersebut menjadi salah satu kunci rupiah mampu menguat di tahun ini. Jika dalam kondisi ekonomi global yang gonjang-ganjing rupiah mampu menguat, di tahun depan ketika ekonomi membaik tentunya akan memberikan tenaga bagi rupiah untuk melaju lagi. Apalagi The Fed sudah menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga pada tahun depan. Risiko keluarnya modal dari dalam negeri menuju AS menjadi berkurang.
Perang dagang AS-China, yang menjadi penyebab pelambatan utama pelambatan ekonomi global, sebentar lagi akan berakhir. Presiden AS, Donald Trump, melalui akun Twitternya menyatakan kesepakatan dagang fase I akan diteken pada 15 Januari nanti.
"Saya akan menandatangani perjanjian Fase I yang sangat besar dan komprehensif dengan China pada 15 Januari. Seremoni akan dilakukan di Gedung Putih. Delegasi tingkat tinggi dari China akan datang. Selepas itu, saya akan datang ke Beijing dan memulai pembicaraan Fase II," cuit Trump di Twitter.
Kepastian penandatanganan kesepakatan dagang fase I setidaknya menurunkan risiko terjadinya eskalasi perang dagang, dan malah memunculkan peluang damai dagang kedua belah pihak. Harapan akan membaiknya pertumbuhan ekonomi di tahun depan juga kian membuncah.
Sebelum tercapainya kesepakatan dagang fase I, IMF sudah memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun 2020 sebesar 3,4% yang lebih baik dari 2019. Selain IMF, Bank Dunia juga melihat negara-negara berkembang akan mendorong pertumbuhan ekonomi global.
Tanda-tanda membaiknya pertumbuhan ekonomi global sudah terlihat di penghujung 2019. AS sudah menunjukkan perbaikan ekonomi pada kuartal III-2019, kemudian China dalam dua bulan terakhir menunjukkan ekspansi sektor manufaktur.
Sebelum November, Purchasing Managers' Index (PMI) China selalu di bawah 50 atau mengalami kontraksi selama enam bulan beruntun, yang menjadi salah satu penyebab perlambatan ekonomi. Baru pada November dan Desember PMI manufaktur China angka PMI dilaporkan sebesar 50,2, yang berarti ekspansi dua bulan beruntun.
(pap/pap)
Pages
Most Popular