
Rupiah di 2019: Taklukkan Empat Benua, Terbaik ke-3 di Asia!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 January 2020 14:45

Selain stabilitas dalam negeri dan yield tinggi, performa apik rupiah di tahun ini tidak lepas dari masalah-masalah yang dihadapi negara lainnya. Perang datang AS-China menjadi asal muasal masalah yang timbul hingga memicu pelambatan ekonomi global.
AS sebagai aktor utama di balik perang dagang juga tak lepas dari pelambatan ekonomi. Hal tersebut bahkan memaksa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memutar balik kebijakan moneternya. Jika pada tahun lalu The Fed agresif dalam menaikkan suku bunga (Federal Funds Rate), sebanyak empat kali, di tahun ini bank sentral paling powerful di dunia ini malah memangkas suku bunga sebanyak tiga kali.
Pemangkasan Federal Funds Rate tersebut dilakukan dalam tiga bulan beruntun pada Agustus, September, dan Oktober, masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75%.
Sebuah u-turn kebijakan moneter yang cukup tajam, dampaknya dolar AS pun loyo di tahun ini.
Beralih ke Eropa, zona euro sebagai pengguna mata uang euro juga tidak lepas dari pelambatan ekonomi. Motor penggerak ekonomi, Jerman, mengalami kemerosotan yang signifikan, bahkan sempat terancam memasuki resesi.
Sebagai negara yang berorientasi ekspor, ekonomi Jerman dan zona euro mengalami pukulan akibat perang dagang AS-China.
Aktivitas manufakturnya sudah mengalami kontraksi selama berbulan-bulan, inflasi menjadi melambat. Dengan kondisi ekonomi seperti itu, kurs euro menjadi terpuruk.
Akibatnya, European Central Bank (ECB) pada bulan September lalu memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5%.
Selain memangkas suku bunga, bank sentral yang kala itu dipimpin Mario Draghi ini juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) yang sebelumnya sudah dihentikan pada akhir tahun lalu.
Program pembelian aset kali ini dimulai pada 1 November lalu dengan nilai 20 miliar euro per bulan. Berdasarkan rilis ECB yang dilansir Reuters, QE kali ini tanpa batas waktu, artinya akan terus dilakukan selama dibutuhkan untuk memberikan stimulus bagi perekonomian zona euro.
Akibat kebijakan tersebut, kurs euro semakin merosot.
Masih dari Eropa, tarik ulur proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) membuat nilai tukar poundsterling jeblok hingga kuartal III lalu. Tetapi di kuartal IV mata uang Negeri John Bull ini perlahan bangkit setelah ada titik terang Brexit. Partai Konservatif pimpinan Perdana Menteri (PM) Boris Johnson berhasil memenangi Pemilu 12 Desember lalu, dan menguasai kursi mayoritas parlemen.
Proses Brexit kini menjadi lebih mudah, dan kemungkinan besar akan dilakukan pada 31 Januari dengan masa transisi hingga akhir 2020.
Beralih ke Jepang, Negeri Matahari Terbit ini terbilang adem ayem di tahun ini. Perekonomiannya masih begitu-begitu saja, dan bank sentralnya (Bank of Japan/BOJ) nyaris tidak merubah kebijakan moneternya. Kurs yen sepanjang tahun ini digerakkan oleh isu perang dagang AS-China.
Rupiah yang mampu menguat melawan yen si safe haven di tahun ini patut mendapat apresiasi di tahun ini.
Selanjutnya Australia, negara yang satu ini juga mengalami pukulan hebat akibat perang dagang AS China. Negeri Tirai Bambu merupakan mitra dagang utama Negeri Kanguru, di kala perekonomian China bermasalah maka perekonomian Australia juga akan terseret.
PDB China di kuartal III-2019 tumbuh sebesar 6% YoY, pertumbuhan tersebut menjadi yang terendah sejak tahun 1992. Maka wajar jika Australia juga mengalami gonjang-ganjing. Pertumbuhan ekonominya melambat, pasar tenaga kerja memburuk, dan inflasi melemah. Dolar Australia jadi tak berdaya.
Masalah ekonomi tersebut, bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) memangkas suku bunga sebanyak tiga kali di tahun ini, hingga ke rekor terendah 0,75%. Bahkan, RBA sudah bersiap untuk menurunkan suku bunga lagi jika diperlukan. Dolar Australia pun semakin tertekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
AS sebagai aktor utama di balik perang dagang juga tak lepas dari pelambatan ekonomi. Hal tersebut bahkan memaksa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memutar balik kebijakan moneternya. Jika pada tahun lalu The Fed agresif dalam menaikkan suku bunga (Federal Funds Rate), sebanyak empat kali, di tahun ini bank sentral paling powerful di dunia ini malah memangkas suku bunga sebanyak tiga kali.
Pemangkasan Federal Funds Rate tersebut dilakukan dalam tiga bulan beruntun pada Agustus, September, dan Oktober, masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75%.
Sebuah u-turn kebijakan moneter yang cukup tajam, dampaknya dolar AS pun loyo di tahun ini.
Beralih ke Eropa, zona euro sebagai pengguna mata uang euro juga tidak lepas dari pelambatan ekonomi. Motor penggerak ekonomi, Jerman, mengalami kemerosotan yang signifikan, bahkan sempat terancam memasuki resesi.
Sebagai negara yang berorientasi ekspor, ekonomi Jerman dan zona euro mengalami pukulan akibat perang dagang AS-China.
Aktivitas manufakturnya sudah mengalami kontraksi selama berbulan-bulan, inflasi menjadi melambat. Dengan kondisi ekonomi seperti itu, kurs euro menjadi terpuruk.
Akibatnya, European Central Bank (ECB) pada bulan September lalu memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5%.
Selain memangkas suku bunga, bank sentral yang kala itu dipimpin Mario Draghi ini juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) yang sebelumnya sudah dihentikan pada akhir tahun lalu.
Program pembelian aset kali ini dimulai pada 1 November lalu dengan nilai 20 miliar euro per bulan. Berdasarkan rilis ECB yang dilansir Reuters, QE kali ini tanpa batas waktu, artinya akan terus dilakukan selama dibutuhkan untuk memberikan stimulus bagi perekonomian zona euro.
Akibat kebijakan tersebut, kurs euro semakin merosot.
Masih dari Eropa, tarik ulur proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) membuat nilai tukar poundsterling jeblok hingga kuartal III lalu. Tetapi di kuartal IV mata uang Negeri John Bull ini perlahan bangkit setelah ada titik terang Brexit. Partai Konservatif pimpinan Perdana Menteri (PM) Boris Johnson berhasil memenangi Pemilu 12 Desember lalu, dan menguasai kursi mayoritas parlemen.
Proses Brexit kini menjadi lebih mudah, dan kemungkinan besar akan dilakukan pada 31 Januari dengan masa transisi hingga akhir 2020.
Beralih ke Jepang, Negeri Matahari Terbit ini terbilang adem ayem di tahun ini. Perekonomiannya masih begitu-begitu saja, dan bank sentralnya (Bank of Japan/BOJ) nyaris tidak merubah kebijakan moneternya. Kurs yen sepanjang tahun ini digerakkan oleh isu perang dagang AS-China.
Rupiah yang mampu menguat melawan yen si safe haven di tahun ini patut mendapat apresiasi di tahun ini.
Selanjutnya Australia, negara yang satu ini juga mengalami pukulan hebat akibat perang dagang AS China. Negeri Tirai Bambu merupakan mitra dagang utama Negeri Kanguru, di kala perekonomian China bermasalah maka perekonomian Australia juga akan terseret.
PDB China di kuartal III-2019 tumbuh sebesar 6% YoY, pertumbuhan tersebut menjadi yang terendah sejak tahun 1992. Maka wajar jika Australia juga mengalami gonjang-ganjing. Pertumbuhan ekonominya melambat, pasar tenaga kerja memburuk, dan inflasi melemah. Dolar Australia jadi tak berdaya.
Masalah ekonomi tersebut, bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) memangkas suku bunga sebanyak tiga kali di tahun ini, hingga ke rekor terendah 0,75%. Bahkan, RBA sudah bersiap untuk menurunkan suku bunga lagi jika diperlukan. Dolar Australia pun semakin tertekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular