Rupiah di 2019: Taklukkan Empat Benua, Terbaik ke-3 di Asia!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 January 2020 14:45
Rupiah di 2019: Taklukkan Empat Benua, Terbaik ke-3 di Asia!
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah membukukan performa impresif di tahun 2019 melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tidak hanya itu, Mata Uang Garuda juga berhasil menaklukkan mata uang utama di berbagai benua.

Sepanjang 2019, rupiah berhasil menguat 3,44% ke level Rp 13.880/US$ di pasar spot melansir data Refinitiv. Jika dilihat mulai awal tahun rupiah sebenarnya sudah menunjukkan kinerja yang apik.

Di awal Februari, rupiah sudah menyentuh level Rp 13.885/US$, level tersebut sekaligus menjadi yang terkuat sepanjang tahun, sebelum berhasil dipecahkan pada perdagangan terakhir 2019 Selasa (31/12/2019) kemarin.



Setelah mencapai Rp 13.885/US$, rupiah perlahan memangkas penguatan dan akhirnya melemah di bulan Mei. Tetapi, rupiah tidak berlama-lama di zona merah, hanya dua pekan, di akhir Mei Sang Garuda kembali perkasa.

Sejak saat itu, rupiah tidak pernah lagi masuk ke zona merah, hingga mengakhiri tahun 2019 di level Rp 13.880/US$. Level ini merupakan yang terkuat dalam satu setengah tahun terakhir atau tepatnya sejak Juni 2018.

Dengan penguatan 3,44% rupiah menjadi mata uang terbaik ketiga di Asia, hanya kalah dari baht Thailand yang menguat 7,95%, dan peso Filipina dengan penguatan 3,47%.



Tidak hanya melawan dolar AS, rupiah juga perkasa melawan mata uang utama lainnya. Mata uang 19 negara Uni Eropa, euro, dibuat merosot 5,51%, kemudian mata uang safe haven, franc Swiss, melemah 2,59%.

Tetapi sayangnya, mata uang utama benua Eropa lainnya, poundsterling berhasil membalikkan posisi di akhir Desember. Mata uang Negeri Big Ben ini berhasil menguat 0,56% melawan rupiah, meski di awal Agustus sudah melemah 7,55%. Poundsterling berhasil bangkit di kuartal IV tahun ini.

Beralih ke Asia, yen sebagai mata uang Benua Kuning melemah 2,59%. Bergeser ke Benua Australia, Mata Uang Kanguru melemah 3,91% di hadapan rupiah.

Dengan demikian, Sang Garuda berhasil, menancapkan cakarnya di empat benua.

Nilai tukar rupiah sempat mengalami sedikit gejolak di semester I 2019. Pada 21 Mei, rupiah melemah ke Rp 14.525/US$, titik tersebut merupakan yang terlemah sejak akhir 2018. Tetapi memasuki semester II, kurs rupiah lebih stabil. 

Pemilihan Presiden pada April menjadi "bumbu" tambahan penggerak rupiah. Banyak dinamika yang terjadi sebelum dan sesudah pilpres yang kerap memengaruhi pergerakan rupiah. Tetapi, pada akhirnya kondisi ekonomi yang stabil di tengah pelambatan ekonomi global membuat rupiah mampu berjaya.

Perekonomian Indonesia di tahun ini memang mengalami pelambatan, tetapi masih mampu bertahan di atas 5%. Pada kuartal I-2019, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,07% year-on-year (YoY). Di dua kuartal selanjutnya terus melambat menjadi 5,05% dan 5,02%.



Selain itu, defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian diprediksi akan membaik. Di tiga kuartal tahun ini, CAD belum pernah menyentuh 3% dari produk domestik bruto (PDB). 

Inflasi juga mampu terjaga sesuai target Bank Indonesia di kisaran 3% plus minus 1%. Inflasi tertinggi tercatat di bulan Agustus sebesar 3,49% YoY, sementara terendah di bulan Maret 2,48% YoY. 

Inflasi yang terjaga tersebut membuat BI memiliki ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter yang sudah dieksekusi di tahun ini. 

Suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate) sudah diturunkan sebanyak empat kali masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) hingga ke level 5%. 
Penurunan suku bunga tersebut bahkan dilakukan dalam empat bulan beruntun pada periode periode Juli sampai Oktober. 



Tidak hanya menurunkan suku bunga, BI juga memberikan stimulus moneter lainnya berupa penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), ada juga pelonggaran rasio Loan to Value/Loan to Financing (LTV/LTF). 

Jauh sebelum memangkas suku bunga, BI menaikkan batasan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dari 80-92% menjadi 84-94% untuk mendorong pembiayaan perbankan bagi dunia usaha.

Serangkaian kebijakan tersebut diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia agar lebih terakselerasi lagi.

Menariknya, performa rupiah masih terus terjaga di saat BI secara agresif melonggarkan kebijakan moneter. Artinya pelaku pasar menyambut baik pelonggaran tersebut, dan menyimpan harapan perekonomian Indonesia akan lebih baik lagi di di tahun depan.



Kinerja apik rupiah juga tidak lepas dari upaya Bank Indonesia (BI) menjaga stabilitas Sang Garuda di tahun ini. Kemudian kesepakatan dagang fase I AS-China memberikan dorongan penguatan di penghujung 2019. 

Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Nanang Hendarsah pada 20 Desember lalu menyatakan BI memang tidak pernah lengah untuk memastikan Rupiah tetap bergerak dalam fluktuasi yang manageable.

"Kami memantau dinamika global 24 jam dan merespon setiap tekanan sejak pembukaan pasar pukul 08.00 WIB," ungkap Nanang kepada CNBC Indonesia, Jumat (20/12/2019).

"Triple intervention melalui tiga kombinasi instrument tetap menjadi andalan dalam upaya menekan volatilitas kurs Rupiah," imbuhnya. 

[Gambas:Video CNBC]

Selepas Pemilu 2019, Indonesia diganjar kenaikan peringkat surat utang oleh S$P 500 di akhir bulan Mei. 

"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya yang dirilis pada hari Jumat (31/5/2019).

Usai mendapatkan kenaikan peringkat surat utang, rupiah langsung keluar dari zona merah, dan tidak pernah lagi kembali kesana hingga akhir 2019. Tepat setahun sebelumnya pada 31 Mei 2018 lalu, S&P sempat mengafirmasi peringkat surat utang jangka panjang Indonesia di level di BBB-. Sebagai informasi, level BBB- merupakan level terendah bagi surat utang yang masuk dalam kategori layak investasi (investment-grade).

Dalam laporannya, S&P menuliskan perekonomian Indonesia berhasil tumbuh lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain di tingkat pendapatan yang sama.

Pertumbuhan riil Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia mencapai 4,1% (rata-rata tertimbang 10 tahun), sedangkan negara-negara lain dengan tingkat pendapatan yang sama rata-rata hanya tumbuh 2,2%. Menurut lembaga yang bermarkas di New York, Amerika Serikat (AS) tersebut, hal itu merupakan sebuah prestasi yang mengesankan.



Kenaikan peringkat surat utang tersebut menambah daya tarik Indonesia sebagai target investasi. Risiko gagal bayar alias default menjadi semakin kecil, sehingga investor semakin merasa aman berinvestasi di RI. 

Penurunan risiko gagal bayar kemudian tercermin dalam Credit Default Swap (CDS). Baik untuk tenor lima dan sepuluh tahun, CDS Indonesia turun drastis dibandingkan awal tahun.



Selain itu yield atau imbal hasil surat utang RI relatif tinggi. Rata-rata yield obligasi Indonesia tahun ini 7,5%, jauh lebih tinggi dibandingkan negara lainya, seperti Malaysia 3,6%, Filipina 5,3%, Thailand 2%, bahkan lebih tinggi dari India 6,9%. 

Kenaikan peringkat surat utang ditambah dengan yield yang relatif tinggi membuat aliran investasi deras masuk ke Tanah Air. 

Data yang dipublikasikan oleh Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, di sepanjang tahun 2019 (hingga perdagangan hari Kamis, 26/12/2019) investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 171,59 triliun atas obligasi terbitan pemerintah Indonesia.




Selain stabilitas dalam negeri dan yield tinggi, performa apik rupiah di tahun ini tidak lepas dari masalah-masalah yang dihadapi negara lainnya. Perang datang AS-China menjadi asal muasal masalah yang timbul hingga memicu pelambatan ekonomi global. 

AS sebagai aktor utama di balik perang dagang juga tak lepas dari pelambatan ekonomi. Hal tersebut bahkan memaksa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memutar balik kebijakan moneternya. Jika pada tahun lalu The Fed agresif dalam menaikkan suku bunga (Federal Funds Rate), sebanyak empat kali, di tahun ini bank sentral paling powerful di dunia ini malah memangkas suku bunga sebanyak tiga kali.

Pemangkasan Federal Funds Rate tersebut dilakukan dalam tiga bulan beruntun pada Agustus, September, dan Oktober, masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 1,5-1,75%. 



Sebuah u-turn kebijakan moneter yang cukup tajam, dampaknya dolar AS pun loyo di tahun ini. 

Beralih ke Eropa, zona euro sebagai pengguna mata uang euro juga tidak lepas dari pelambatan ekonomi. Motor penggerak ekonomi, Jerman, mengalami kemerosotan yang signifikan, bahkan sempat terancam memasuki resesi. 

Sebagai negara yang berorientasi ekspor, ekonomi Jerman dan zona euro mengalami pukulan akibat perang dagang AS-China. 

Aktivitas manufakturnya sudah mengalami kontraksi selama berbulan-bulan, inflasi menjadi melambat. Dengan kondisi ekonomi seperti itu, kurs euro menjadi terpuruk. 

Akibatnya, European Central Bank (ECB) pada bulan September lalu memangkas suku bunga deposito (deposit facility) sebesar 10 basis poin (bps) menjadi -0,5%.

Selain memangkas suku bunga, bank sentral yang kala itu dipimpin Mario Draghi ini juga mengaktifkan kembali program pembelian aset (obligasi dan surat berharga) atau yang dikenal dengan quantitative easing (QE) yang sebelumnya sudah dihentikan pada akhir tahun lalu.

Program pembelian aset kali ini dimulai pada 1 November lalu dengan nilai 20 miliar euro per bulan. Berdasarkan rilis ECB yang dilansir Reuters, QE kali ini tanpa batas waktu, artinya akan terus dilakukan selama dibutuhkan untuk memberikan stimulus bagi perekonomian zona euro. 

Akibat kebijakan tersebut, kurs euro semakin merosot. 



Masih dari Eropa, tarik ulur proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) membuat nilai tukar poundsterling jeblok hingga kuartal III lalu. Tetapi di kuartal IV mata uang Negeri John Bull ini perlahan bangkit setelah ada titik terang Brexit. Partai Konservatif pimpinan Perdana Menteri (PM) Boris Johnson berhasil memenangi Pemilu 12 Desember lalu, dan menguasai kursi mayoritas parlemen. 

Proses Brexit kini menjadi lebih mudah, dan kemungkinan besar akan dilakukan pada 31 Januari dengan masa transisi hingga akhir 2020. 

Beralih ke Jepang, Negeri Matahari Terbit ini terbilang adem ayem di tahun ini. Perekonomiannya masih begitu-begitu saja, dan bank sentralnya (Bank of Japan/BOJ) nyaris tidak merubah kebijakan moneternya. Kurs yen sepanjang tahun ini digerakkan oleh isu perang dagang AS-China. 


Rupiah yang mampu menguat melawan yen si safe haven di tahun ini patut mendapat apresiasi di tahun ini. 

Selanjutnya Australia, negara yang satu ini juga mengalami pukulan hebat akibat perang dagang AS China. Negeri Tirai Bambu merupakan mitra dagang utama Negeri Kanguru, di kala perekonomian China bermasalah maka perekonomian Australia juga akan terseret. 

PDB China di kuartal III-2019 tumbuh sebesar 6% YoY, pertumbuhan tersebut menjadi yang terendah sejak tahun 1992. Maka wajar jika Australia juga mengalami gonjang-ganjing. Pertumbuhan ekonominya melambat, pasar tenaga kerja memburuk, dan inflasi melemah. Dolar Australia jadi tak berdaya. 

Masalah ekonomi tersebut, bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) memangkas suku bunga sebanyak tiga kali di tahun ini, hingga ke rekor terendah 0,75%. Bahkan, RBA sudah bersiap untuk menurunkan suku bunga lagi jika diperlukan. Dolar Australia pun semakin tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 
(pap/pap) Next Article Bukan Pamer, Cek Nih Keperkasaan Rupiah Lawan Mata Uang Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular