
Trading Forex: Anjlok 3 Hari, Jual Pound Kini Cuan Rp 45 Juta
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 December 2019 10:26

Performa buruk poundsterling dimulai sejak Selasa lalu setelah CNBC International mengutip media lokal mewartakan Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson akan merevisi undang-undang keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Withdrawal Agreement Bill), sehingga masa transisi tidak bisa diperpanjang lagi.
Partai Konservatif yang dipimpin Boris Johnson memenangi Pemilihan Umum (Pemilu) pada pekan lalu, bahkan menguasai kursi mayoritas parlemen, dengan demikian perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) kemungkinan besar akan terjadi pada 31 Januari 2020, dengan masa transisi yang berlangsung hingga akhir tahun depan.
Ketika ditanya mengenai apakah pemerintah akan melegislasi pembatasan masa transisi tidak lebih dari tahun 2020, salah satu menteri senior Inggris, Michael Gove mengatakan "tepat sekali", sebagaimana diwartakan CNBC International.
Di tempat terpisah, dari Brussel pejabat Uni Eropa mengatakan jadwal perundingan dagang dengan Inggris "kaku" dan cenderung membatasi ruang lingkup untuk mencapai kesepakatan dagang.
Dengan singkatnya masa transisi, tentunya pembahasan perjanjian dagang harus dipercepat. PM Johnson dikatakan akan melakukan pendekatan yang lebih keras di masa transisi tersebut, yang memicu kecemasan akan keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan (hard Brexit). Poundsterling pun jeblok.
Derita poundsterling bertambah setelah bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) mengumumkan kebijakan moneter Kamis kemarin.
Dalam pengumuman kebijakan moneter sore tadi, BoE mempertahankan suku bunga acuannya 0,75%, tetapi dua dari sembilan anggota pembuat kebijakan (Monetary Policy Committee/MPC) memilih menurunkan suku bunga. Ini berarti suara mempertahankan suku bunga tidak bulat dalam dua pengumuman kebijakan moneter beruntun.
Suara yang tidak bulat menandakan jika sebagian anggota dewan BoE melihat Inggris perlu stimulus untuk mempercepat perputaran roda perekonomian. Tidak hanya menunjukkan terbelahnya suara anggota, BoE juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 menjadi 0,1% dari sebelumnya 0,2%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Partai Konservatif yang dipimpin Boris Johnson memenangi Pemilihan Umum (Pemilu) pada pekan lalu, bahkan menguasai kursi mayoritas parlemen, dengan demikian perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) kemungkinan besar akan terjadi pada 31 Januari 2020, dengan masa transisi yang berlangsung hingga akhir tahun depan.
Ketika ditanya mengenai apakah pemerintah akan melegislasi pembatasan masa transisi tidak lebih dari tahun 2020, salah satu menteri senior Inggris, Michael Gove mengatakan "tepat sekali", sebagaimana diwartakan CNBC International.
Di tempat terpisah, dari Brussel pejabat Uni Eropa mengatakan jadwal perundingan dagang dengan Inggris "kaku" dan cenderung membatasi ruang lingkup untuk mencapai kesepakatan dagang.
Dengan singkatnya masa transisi, tentunya pembahasan perjanjian dagang harus dipercepat. PM Johnson dikatakan akan melakukan pendekatan yang lebih keras di masa transisi tersebut, yang memicu kecemasan akan keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan (hard Brexit). Poundsterling pun jeblok.
Derita poundsterling bertambah setelah bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) mengumumkan kebijakan moneter Kamis kemarin.
Dalam pengumuman kebijakan moneter sore tadi, BoE mempertahankan suku bunga acuannya 0,75%, tetapi dua dari sembilan anggota pembuat kebijakan (Monetary Policy Committee/MPC) memilih menurunkan suku bunga. Ini berarti suara mempertahankan suku bunga tidak bulat dalam dua pengumuman kebijakan moneter beruntun.
Suara yang tidak bulat menandakan jika sebagian anggota dewan BoE melihat Inggris perlu stimulus untuk mempercepat perputaran roda perekonomian. Tidak hanya menunjukkan terbelahnya suara anggota, BoE juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 menjadi 0,1% dari sebelumnya 0,2%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular