Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah pesan singkat
WhatsApp tiba-tiba masuk ke ponsel. Si pengirim pesan tadi, sebut saja namanya Boris, adalah salah satu investor ritel, pemegang saham PT Sigmagold Inti Perkasa Tbk (TMPI), emiten yang saat itu tengah menanti jadwal
delisting (keluar) dari Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 11 November 2019.
"Iya mas, saya di resto dekat pintu masuk," ujar Boris dalam pesan singkatnya kepada CNBC Indonesia, Senin siang itu, 4 November.
Hari itu masih berselisih 7 hari dengan batas waktu penghapusan saham TMPI dari papan bursa yakni 11 November, tanggal cantik alias 11-11-2019, tapi tanggal nahas bagi para investor ritel pemegang saham TMPI.
Bapak berumur 50-an itu awalnya sendirian. Dengan berpenampilan santai: bersepatu keds, Polo
shirt dengan warna dominan hitam, dan celana jins, pria berkacamata ini berkeluh kesah tentang dugaan penggelapan dana di emiten saham di mana dia memiliki lebih dari 50.000 lot saham perusahaan yang dulunya dikenal dengan nama PT Agis Tbk itu.
Tak berapa lama dari kedatangan Boris, dua orang rekan sesama pemegang saham TMPI pun tiba menemui kami di salah satu kafe mal yang berlokasi di seberang lapangan
softball Senayan.
Bersama mereka, kami berdiskusi tentang bagaimana masa depan perusahaan yang kode sahamnya TMPI belakangan biasa dipelesetkan menjadi abreviasi (singkatan) dari Taman 'Makam' Para Investor.
Dengan dugaan keras kesengajaan oleh manajemen dan pemegang saham, mereka bersungut-sungut berkisah tentang skenario perusahaan yang merugikan pemegang saham publik seperti mereka.
Saham TMPI memang dimiliki 99,86% oleh investor publik, sementara 0,14% digenggam PT Pratama Duta Sentosa.
Dugaan itu terutama terkait manipulasi kinerja, penggelapan dana, dan lepas tangannya manajemen serta pemegang saham dari masalah yang membelit perusahaan.
Belum lagi, jika
delisting terlaksana, Boris dan sesama pemegang saham ritel perseroan tidak lagi memiliki kuasa yang cukup karena kewenangan otoritas bursa dan pasar modal hilang secara otomatis.
Tuntutan mereka sebenarnya bukan pengembalian dana investasi yang mereka tanamkan dengan cara membeli saham perseroan di pasar modal, karena mereka sadar betul bahwa kerugian investasi adalah risiko yang siap mereka emban sejak mulai bergelut mencari
cuan di
market.
High risk high return, begitulah investasi saham bekerja.
Tapi, poin krusial yang mereka todong adalah dugaan penggelapan dana melalui pembelian surat utang jangka menengah atau MTN (
medium term notes) justru ingin mereka laporkan kepada kepolisian.
Sebagai pemegang saham, meskipun porsinya kecil alias mikro dari total 5,5 miliar saham beredar TMPI, mereka menilai berhak untuk mengadukan dugaan digembosinya perseroan yang justru melempar dana investasi Rp 708,11 miliar ke perusahaan penerbit MTN yang tidak jelas.
Laporan keuangan perseroan menunjukkan investasi pada instrumen MTN dilakukan oleh anak usaha perseroan yaitu PT Agis Electronic dan PT Agis Mitra Mandiri sejak 2012. Mayoritas MTN itu, yaitu senilai Rp657 miliar, diterbitkan pada 2016 dan jatuh tempo pada 3 Oktober 2018.
Dua seri MTN lain yang diterbitkan lebih awal yaitu pada 2012 dan 2015 senilai total Rp 51,08 miliar diperpanjang beberapa kali yaitu pada 2013, 2015, dan pada 2017 hingga jatuh tempo pada Juli tahun ini.
Dalam laporan keuangan perusahaan terakhir pada Desember 2018, tercatat nilai MTN-nya tinggal Rp 679,72 miliar. Namun, meskipun laporan keuangan 2018 itu sudah diaudit, tidak dijelaskan nasib dana yang diinvestasikan pada MTN yang sebagian besarnya seharusnya jatuh tempo pada Oktober tersebut. Auditor hanya menyampaikan bahwa perusahaan seharusnya mencatatkan rugi penurunan nilai MTN.
Dan yang membuat mereka mengelus-elus dada ialah, MTN yang diterbitkan menawarkan bunga sangat rendah, hanya 1%, tapi nilai pembeliannya begitu besar.
Atas dasar rugi penurunan nilai MTN dan nilai uang muka investasi pada M2B Game World Pte Ltd senilai Rp 39,11 miliar, maka Kantor Akuntan Publik (KAP) Amachi Arifin Mardani & Muliadi menyematkan opini wajar dengan pengecualian atas laporan keuangan TMPI. Sekadar mengingatkan, skor paling baik dari KAP untuk sebuah laporan keuangan adalah wajar tanpa pengecualian.
Selaku pemodal, pemegang saham tentu berhak berkorespondensi dengan manajemen, atau bahkan minta keterangan ketika bertemu di acara rapat umum pemegang saham (RUPS) yang digelar minimal sekali setiap tahunnya.
"Namun, setiap RUPS tidak kuorum, yang pegang besar kan pemegang saham lama. Lalu ketika diskusi informal di sela-sela RUPS, direktur dan komisaris yang tersisa tidak banyak memberikan keterangan, bahkan menutup diskusi dengan mematahkan segala diskusi pengembangan perusahaan ke depannya," turut Boris.
Ketika RUPS berlangsung, direktur utama dan komisaris yang masih menjabat saat itu hanya tinggal Eka Hikmawati Supriyadi sebagai komisaris utama dan Adriano Wolfgang Pietruschka sebagai direktur utama.
Padahal, di dalam laporan keuangan 2018, yang sudah dipublikasikan meskipun belum disetujui RUPS yang tidak kuorum-kuorum, ada komisaris lain yaitu Yan Biao (lulusan Ohio State University) dan Djulia, sedangkan di jajaran direksi masih ada nama Eric Harjono (lulusan Curtin University, Singapura) dan Boling Aruan.
Eka H. Supriyadi, lulusan Jurusan Manajemen FEB-Universitas Indonesia (dahulu FEUI), tercatat merupakan orang lama di perusahaan dengan jabatan sebelumnya di kursi direktur di perusahaan dan anak usaha pada 1999 dan 2008-2012.
Di sisi lain, Adriano yang lulusan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, menjadi direktur perusahaan pada rentang 2013-2015 ketika Steven Kesuma menjabat direktur utama, dan akhirnya diangkat menjadi direktur utama. Steven adalah penerus dari pemilik TMPI yaitu mendiang Jhonny Kesuma.
Jhonny Kesuma, yang sempat disebut-sebut sebagai satu dari kelompok pengusaha kakap keturunan China yang menguasai Indonesia dan bergelar Sembilan Naga, menjadi direktur utama perseroan pada 2007 dan naik menjadi komisaris utama perseroan pada medio 2008-2012.
Dia juga dikenal sebagai salah satu pendiri perusahaan pemegang principal elektronik Jepang yaitu PT Sony Indonesia dan penyedia layanan TV kabel PT Indovision, yang sekarang bertransformasi menjadi PT MNC Sky Vision Tbk (MSKY) yang dimiliki Grup MNC.
Ketika Jhonny menduduki posisi komisaris utama TMPI, yang saat itu bernama PT Agis Tbk, pada 2008 juga bertepatan setelah aksi korporasi yaitu penawaran umum terbatas (PUT/rights issue) III yang membawa perseroan berhasil menghimpun dana publik di pasar modal senilai Rp 724,84 miliar.
Pada akhir tahun tersebut, PT Pratama Duta Sentosa menjadi pemegang saham institusi TMPI terbesar dengan porsi 20,09%, di atas Asset Distribution Ltd 17,8% dan PT Persada Ganda Nusa 5,75%. Sisanya tentu pemegang saham publik dengan porsi 56,36%.
Sejak 2008 itulah, kepemilikan Pratama Duta secara bertahap terus menciut hingga tinggal 7,1% mulai 2012 dan akhirnya 0,14% di akhir 2018.
Anak Jhonny yaitu Steven menjabat direksi perseroan sejak 2008-2009, dan kemudian menjadi direktur utama pada 2010-2015, hingga diganti Adriano.
 Foto: Laporan Keuangan TMPI Sigmagold Adriano Wolfgang Pietruschka |
Mengaku tidak kerasan dan mengeluh sudah tidak digaji sejak 10 bulan terakhir kepada investor ritel, Adriano mengundurkan lagi dari kursi dirut perseroan, juga pada 5 November 2019. Kok mengundurkan diri lagi? Iya, karena Adriano pernah pula berniat mengundurkan diri juga pada 23 Januari 2017 tetapi dibatalkan 22 Maret 2017.
Pada 2007 silam, Jhonny sempat dililit masalah karena diputus bersalah dan didenda Rp 5 miliar oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK, sekarang Otoritas Jasa Keuangan/OJK) karena dianggap mengeluarkan informasi tidak tepat.
Informasi material yang dinilai tidak benar tersebut terkait dengan laporan keuangan dan akuisisi PT Akira Indonesia dan PT TT Indonesia ke PT Agis Electronic, anak usaha Agis. Tidak hanya Jhonny, tetapi beberapa direksi termasuk Eka Hikmawati juga terkena sanksi denda masing-masing Rp 1 miliar karena kesalahan yang sama.
Saat itu, bahkan pernah keluar rencana merger Agis dengan peritel elektronik lain yaitu Electronic Solution.
Selain Jhonny, tercatat Rudi Tanoe (adik dari pemilik Grup MNC, Hary Tanoe), Hary Tanoe sendiri, satu petinggi Grup MNC lain Agustinus Wishnu Handoyono, serta Stanislaus Say yang merupakan mantan petinggi Bursa Efek Jakarta, pernah menjadi direksi-komisaris TMPI.
Merebaknya denda tersebut karena dipicu transaksi saham yang tidak biasa pada pertengahan awal Juni, terutama karena dipompa hingga tinggi, dan kemudian dibanting hingga relatif tanpa perlawanan di pasar.
Sejak awal tahun 2007, secara mengejutkan saham perseroan TMPI naik bertahap hingga 1.406% menjadi Rp 2.667/saham pada akhir Mei dari Rp 177/saham pada akhir 2006.
Padahal Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya naik 15,45% menjadi 2.084 dari 1.805 pada periode yang sama.
Lalu, saham perseroan melejit hingga ditutup pada Rp 3.925/saham (naik 21,71%) pada 4 Juni 2007 dan sekaligus menjadi level tertinggi sejak 1997.
Sehari setelahnya, saham perseroan terbang lagi dan sempat menyentuh Rp 4.650/saham (naik 18,47%) pada 5 Juni 2007 dan ditutup secara dramatis (turun 24,84%, batas auto reject bawah/ARB) pada Rp 2.950/saham pada hari yang sama.
Jangan lupa juga, bahwa saat itu mekanisme perdagangan tidak serapih dan setertib sekarang, dengan kata lain masih 'jahiliah'.
Pertama, belum ada subrekening efek dan dana nasabah. Artinya, efek sekaligus dana nasabah masih menjadi satu dengan kepemilikan sekuritas.
Kedua, belum ada peraturan haircut, yang berarti sekuritas tidak memperhitungkan portofolio saham Anda dalam membuka keran transaksi. Artinya, sekuritas tidak memperhitungkan dana maupun portofolio nasabah dari nilai transaksi yang dilakukan nasabah, sehingga belumlah dibatasi seperti sekarang yang harus sesuai dengan sisa nilai haircut portofolio saham yang menjadi agunan.
Semakin besar haircut yang dalam bentuk persentase, artinya saham Anda dinilai lebih berisiko sehingga limit pinjaman dana untuk bertransaksi lebih terbatas dibandingkan dengan saham dengan haircut kecil.
Pada 6 Juni 2007-12 Juni 2007 dan 28 Juni 2007-13 Agustus 2007, saham perseroan disuspensi (dihentikan sementara perdagangan). Selepas disuspensi, sekurangnya enam kali saham perseroan ambyar hingga 20% atau lebih hingga awal September. Harganya pun tidak pernah naik lebih tinggi daripada Rp 640/saham, level tertinggi selanjutnya yang terbentuk pada 17 Oktober 2012.
 Foto: Aristya Rahadian Pergerakan Saham TMPI 2007 |
Selain denda terhadap manajemen emiten, Bapepam-LK juga memberi sanksi kepada 15 sekuritas yang dinilai bersalah dalam transaksi saham TMPI. Paling berat, izin perseorangan direktur utama Dirut PT Republic Securities yaitu Benny Ekayana Soetanto dicabut.
Dari 15 perusahaan efek itu, sembilan di antaranya dijatuhi sanksi administratif berat berupa denda Rp 500 juta karena melanggar peraturan otoritas bursa tentang larangan titip jual dan prinsip mengenal nasabah.
Beberapa sekuritas tersebut adalah PT Asjaya Indosurya Sekuritas, PT NISP Sekuritas, PT Optima Karya Securities, PT Paramitra Alfa Sekuritas, PT Mahakarya Artha Securities, dan PT BNI Securities (saat ini sudah menjadi PT BNI Sekuritas).
Setelah sahamnya rileks dan tidak bergejolak lagi, pada 2008 TMPI melangsungkan penambahan modal dengan menggelar rights issue III. Setelah itu, diketahui pemilik perusahaan yaitu Jhonny Kesuma berusaha gencar mencari beberapa pemodal untuk menyuntik dana dengan jaminan saham perseroan.
Tujuannya tentu demi mengembalikan kejayaan perseroan baik dari sisi operasional maupun dari sisi pasar modal. Di pasar modal, praktik pinjam-meminjam dana dengan jaminan saham atau portfolio lain tersebut biasa disebut repurchase agreement (repo).
Lambat laun, setelah perusahaan berpindah generasi ke Steven Kesuma sepeninggal bapaknya mendiang Jhonny pada 2014, manajemen perseroan diserahkan kepada pihak yang lebih independen yaitu Adriano.
Namun, seiring dengan semakin lepas tangannya Steven, harga saham nyungsep pada 2016 hingga level terendah di pasar reguler saham yaitu Rp 50/saham, meskipun sempat naik pada awal 2017. Setelah itu, saham perseroan disuspensi di harga terendah tadi hingga delisting pada tanggal cantik, 11 November.
 Foto: chart/ Aristya Rahadian Krisabella Saham TMPI 2015-2017 |
Pemegang saham receh pun bingung. Gelap. Saham yang disuspensi membuat mereka tidak dapat dijual di pasar.
Operasional perusahaan juga dipertanyakan, terutama karena tidak adanya kantor pusat dan kantor cabang. Biaya pencatatan tahunan (listing fee tahunan) Rp 250 juta per tahun juga seakan dijadikan alasan asal-asalan manajemen perusahaan yang memiliki aset Rp 11,4 triliun dan kas Rp 3,57 miliar (pada 2017) itu demi bisa ditendang dari bursa.
Manajemen pun ketika berhasil ditemui investor ritel dalam RUPS Juni lalu tidak dapat menyampaikan informasi signifikan ketika ditanyakan tentang kelanjutan bisnis perusahaan. Kantor pusat TMPI dikabarkan oleh sesama investor ritel sudah tidak ada lagi, dan cabang perusahaan dikatakan sudah tutup.
Layaknya 'layangan putus', apalagi setelah Adriano mundur dari kursi direksi, mereka tadinya bertumpu pada Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membela mereka maju ke pihak berwajib maupun meja hijau, mumpung belum delisting.
Atau jika pun bisa, mereka berharap delisting ditunda hingga ada langkah kongkret dari perusahaan.
Bukan untuk mengganti kerugian yang mereka harapkan, tetapi investor ritel berharap itikad baik dari otoritas bursa dan otoritas pasar modal tersebut untuk membantu mereka berbuat lebih banyak untuk meminta kejelasan operasional karena masih berada di dalam pasar modal.
Saat ini, pasar modal dipromosikan sebagai alternatif investasi keuangan yang aman, atau setidaknya Anda tidak akan dirugikan secara sengaja, atau minimal akan dibela dengan sekuat tenaga. Namun, OJK tetap tegas.
BEI pun akhirnya menghapus saham TMPI secara paksa alias force delisting setelah emiten yang fokus pada tambang emas ini masuk bursa pada 24 tahun silam. Sigmagold pertama kali masuk bursa atau initial public offering (IPO) pada 25 Januari 1995. Ketika IPO, perusahaan yang masih bernama PT Telaga Mas Pertiwi Tbk tersebut menerbitkan 10 juta saham di harga Rp 1.350/saham.
"Peraturan tentang delisting itu sudah jelas. Kita ikuti saja peraturan tersebut," Fakhri Hilmi, Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II OJK kepada CNBC Indonesia, Kamis (8/11/2019).
Manajemen perusahaan yang sudah berganti usaha ke bisnis tambang emas, meskipun sudah keluar dari pasar modal, masih harus mengagendakan rapat umum tahunan (RUPS Tahunan) kedua guna mendapatkan restu pemegang saham.
Pada RUPS tahunan pertama 30 Oktober 2019, pemegang saham yang datang tidak kuorum, seperti yang terjadi pada RUPS-RUPS sebelumnya. Pemegang saham utama yang diklaim bersembunyi di bawah nama-nama pemegang saham kecil tidak hadir.
Semoga, masih ada informasi yang didapat investor ritel dari manajemen perusahaan yang tersisa. Semoga juga, ke depannya akan ada usaha yang lebih keras lagi yang dapat dilakukan otoritas bursa dan otoritas pasar modal untuk membela investor.
Semoga juga, ada tangan-tangan ajaib tidak terlihat (invisible hands) sebagai usaha di luar kebiasaan dari otoritas demi nama baik investasi pasar modal yang masih terus butuh berkembang dari sekarang ini hingga nanti-nanti. Agar tidak ada lagi emiten berjuluk Taman Makam lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA