Analisis

Seandainya Tak Ada Deal Brexit, Emas Bisa Melaju Tinggi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 October 2019 14:03
Seandainya Tak Ada Deal Brexit, Emas Bisa Melaju Tinggi
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Jakarta, CNBC Indonesia - Hingga pertengahan perdagangan sesi Asia Jumat (18/10/19) harga emas dunia belum banyak bergerak setelah mencatat penguatan dua hari beruntun Kamis kemarin. Penguatan kemarin tipis saja, sebesar 0,15%, tetapi peluang kenaikan lebih besar masih terbuka seandainya tidak ada deal Brexit antara Inggris dan Uni Eropa.

Pada pukul 13:50 WIB, emas diperdagangkan di level US$ 1.489,74/troy ons, melemah 0,13% di pasar spot, melansir data Refinitiv. 

CNBC International melaporkan, pihak Inggris Raya dan Uni Eropa akhirnya mencapai kesepakatan proposal Brexit setelah berunding selama 11 jam. Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson, melalui akun Twitter-nya mengatakan telah "kita telah mencapai kesepakatan Brexit yang bagus", dan meminta anggota Parlemen Inggris untuk mendukung proposal tersebut saat diserahkan ke parlemen pada hari Sabtu (19/10/19).



Setelah mendapat persetujuan dari Uni Eropa, proposal tersebut akan diserahkan ke Parlemen Inggris pada Sabtu (19/10/19) besok, juga untuk mendapat persetujuan, sebelum akhirnya Brexit resmi dilakukan pada 31 Oktober nanti.

Adanya deal antara Pemerintah Inggris dengan Uni Eropa memberikan kelegaan di pasar, sebelumnya beredar isu jika pihak Uni Eropa enggan untuk membahas proposal Brexit dengan PM Johnson, dan menyatakan proposal Brexit era mantan PM Theresa May merupakan penawaran terbaik yang diberikan.

Dengan adanya deal tersebut, potensi terjadinya hard Brexit atau Inggris bercerai dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun, kini semakin berkurang. Hard Brexit dikhawatirkan akan membawa ekonomi Inggirs ke jurang resesi, dan bisa jadi turut menyeret negara-negara Benua Biru lainnya.


Akibat berkurangnya potensi terjadinya hard brexit, pelaku pasar sedikit lega, sentimen menjadi membaik, dan aset aman (safe haven) seperti emas kurang dilirik.

Harga emas dunia pada Kamis kemarin melemah merespon kabar deal Brexit. Namun akhirnya kembali bangkit akibat buruknya data ekonomi AS yang kembali memunculkan kecemasan akan kemungkinan terjadinya resesi di Negeri Paman Sam.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Buruknya data ekonomi AS terlihat sejak hari Rabu lalu. Departemen perdagangan AS melaporkan penjualan ritel di bulan September turun 0,3% month-on-month (MoM). Penurunan tersebut merupakan yang pertama dalam tujuh bulan terakhir.

Rilis tersebut berbanding terbalik dengan hasil survei Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi kenaikan 0,3%. Sementara penjualan ritel inti yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan turun 0,1% MoM.

Penurunan penjualan ritel di bulan September menunjukkan melambatnya belanja konsumen AS. Sektor belanja konsumen berkontribusi sekitar 66% terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Dengan pelambatan di tersebut, pertumbuhan ekonomi Negeri Adikuasa di kuartal III-2019 tentunya akan terseret juga.

Sementara Kamis kemarin, indeks aktivitas manufaktur wilayah Philadelphia turun drastis menjadi 5,6 di bulan ini, dibandingkan bulan September sebesar 12,0.



Akibatnya rilis data-data tersebut, spekulasi pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) semakin menguat. Berdasarkan piranti FedWatch milik CME Group, pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 85,% The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 1,5-1,76% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).

Emas mendapat dua keuntungan, dari kecemasan akan terjadinya resesi, serta peluang penurunan suku bunga The Fed.

Kecemasan akan resesi tentunya membuat investor mengamankan kekayaannya di aset safe haven seperti emas. Di sisi lain, emas merupakan aset yang dibanderol dolar AS, ketika suku bunga dipangkas, dolar AS cenderung melemah dan harga emas akan menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya. Dampaknya permintaan emas akan meningkat.

Selain AS, data pertumbuhan ekonomi China juga menebar kecemasan akan semakin melambatnya pertumbuhan ekonomi global. 



Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 diumumkan sebesar 6% year-on-year (YoY). Ini adalah laju terlemah sejak 1992, kali pertama China memperkenalkan data pertumbuhan ekonomi secara YoY.

Ke depan, buka tidak mungkin pertumbuhan ekonomi China terus melambat. China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia di bawah Amerika Serikat. Ketika sang raksasa sedang lesu, negara-negara lain yang terlibat perdagangan dengan China pertumbuhan ekonominya tentunya akan ikut terseret.

(BERLANJUT KE HALAMAN 3) 


Seandainya Tak Ada Deal Brexit, Emas Bisa Melaju Tinggi Grafik: Emas (XAU/USD) Harian
Sumber: investing.com


Pada grafik harian emas yang disimbolkan XAU/USD bergerak di bawah rerata pergerakan (Moving Average/MA) MA 8 hari (garis biru) dan MA 21 hari (garis merah), tetapi masih di atas MA 125 hari (garis hijau).

Indikator rerata pergerakan konvergen dan divergen (MACD) bergerak dekat level 0, begitu juga histogram-nya. Melihat indikator tersebut, emas masih berada dalam fase konsolidasi.

Seandainya Tak Ada Deal Brexit, Emas Bisa Melaju Tinggi Foto: investing.com


Pada time frame 1 jam, emas bergerak di kisaran MA 8, MA 21 dan MA 125. Indikator stochastic turun dan memasuki wilayah jenuh jual (oversold).

Emas bergerak di dekat US$ 1.490/troy ons, jika mampu bertahan di atas level tersebut, emas berpotensi menguat ke US$ 1.496/troy ons sampai level psikologis US$ 1.500/troy ons.

Jika level psikologis berhasil dilewati, emas berpeluang naik ke US$ 1.505/troy ons. Sementara jika kembali ke kawan US$ 1.490/troy ons, emas akan kembali melemah ke level US$ 1.484/troy ons. Jika level tersebut dilewati, logam mulia berpotensi terus melemah ke US$ 1.484 sampai US$ 1.474/troy ons. 


TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular