
Rupiah Bagai Tanpa Arah...

Pada Jumat (18/10/2019) pukul 12:25 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.140. Rupiah menguat tipis 0,02% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah menguat 0,09%. Selepas itu, apresiasi mata uang Tanah Air semakin berkurang dan bahkan sempat berbalik melemah.
Gerak rupiah galau tanpa arah hari ini karena sentimen eksternal yang agak mixed. Di satu sisi, ada sentimen positif yaitu titik temu kesepakatan Brexit.
Pada 2016, referendum membuahkan hasil Inggris berpisah dengan Uni Eropa, fenomena yang disebut Brexit. Namun setelah tiga tahun sejak referendum, kesepakatan perpisahan tersebut tidak kunjung kelar.
Bahkan proses yang panjang dan melelahkan itu sudah memakan 'tumbal'. Theresa May memutuskan mundur dari kursi perdana menteri, dan digantikan oleh sang mantan menteri luar negeri, Boris Johnson.
Awalnya, publik pesimis Inggris bisa mendapatkan kesepakatan Brexit yang menguntungkan karena Johnson adalah seorang euroskeptik. Johnson pernah berjanji akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober 2019, dengan atau tanpa kesepakatan.
Namun ternyata Johnson berhasil membuktikan bahwa dirinya layak ditunjuk menjadi menteri luar negeri dan kemudian perdana menteri. Kemarin malam waktu Indonesia, Inggris dan Uni Eropa berhasil menyepakati perjanjian Brexit.
"Ketika ada kemauan, di situ ada kesepakatan. Kita sudah memilikinya! Ini adalah perjanjian yang adil bagi Uni Eropa dan Inggris, serta menjadi bukti komitmen kami untuk mencari solusi," tegas Jean-Claude Juncker, Presiden Komisi Uni Eropa, seperti diwartakan Reuters.
Namun ada sentimen negatif yaitu rilis data ekonomi di Asia. Di Jepang, laju inflasi pada September 2019 tercatat 0,2% year-on-year (YoY). Ini menjadi laju terlemah sejak Februari. Sementara inflasi inti di Negeri Matahari Terbit adalah 0,3% YoY. Ini adalah laju paling lemah sejak Februari 2017.
Inflasi Jepang seperti butuh waktu lama untuk mencapai target bank sentral yaitu 2%. Minimnya inflasi di negara maju seperti Jepang menandakan konsumsi tengah lesu, yang membuat dunia usaha juga enggan menaikkan harga terlalu tinggi. Ini berarti stagnasi ekonomi di Jepang akan sulit diusir dalam waktu dekat.
Kemudian di China, pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 diumumkan sebesar 6% YoY. Ini adalah laju terlemah sejak 1990, kali pertama China memperkenalkan data pertumbuhan ekonomi secara YoY.
Ke depan, buka tidak mungkin pertumbuhan ekonomi China terus melambat. Pasalnya, perang dagang dengan AS belum kunjung usai.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
