Analisis

Seandainya Tak Ada Deal Brexit, Emas Bisa Melaju Tinggi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 October 2019 14:03
Kondisi Ekonomi AS Memburuk, Emas Kembali Mengkilap
Foto: Emas Batangan dan Koin dalam brankas Pro Aurum di Munich, Jerman pada 14 Agustus 2019. (REUTERS/Michael Dalder)
Buruknya data ekonomi AS terlihat sejak hari Rabu lalu. Departemen perdagangan AS melaporkan penjualan ritel di bulan September turun 0,3% month-on-month (MoM). Penurunan tersebut merupakan yang pertama dalam tujuh bulan terakhir.

Rilis tersebut berbanding terbalik dengan hasil survei Reuters terhadap para ekonom yang memprediksi kenaikan 0,3%. Sementara penjualan ritel inti yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan turun 0,1% MoM.

Penurunan penjualan ritel di bulan September menunjukkan melambatnya belanja konsumen AS. Sektor belanja konsumen berkontribusi sekitar 66% terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Dengan pelambatan di tersebut, pertumbuhan ekonomi Negeri Adikuasa di kuartal III-2019 tentunya akan terseret juga.

Sementara Kamis kemarin, indeks aktivitas manufaktur wilayah Philadelphia turun drastis menjadi 5,6 di bulan ini, dibandingkan bulan September sebesar 12,0.



Akibatnya rilis data-data tersebut, spekulasi pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) semakin menguat. Berdasarkan piranti FedWatch milik CME Group, pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 85,% The Fed akan memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 1,5-1,76% pada 30 Oktober (31 Oktober dini hari WIB).

Emas mendapat dua keuntungan, dari kecemasan akan terjadinya resesi, serta peluang penurunan suku bunga The Fed.

Kecemasan akan resesi tentunya membuat investor mengamankan kekayaannya di aset safe haven seperti emas. Di sisi lain, emas merupakan aset yang dibanderol dolar AS, ketika suku bunga dipangkas, dolar AS cenderung melemah dan harga emas akan menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya. Dampaknya permintaan emas akan meningkat.

Selain AS, data pertumbuhan ekonomi China juga menebar kecemasan akan semakin melambatnya pertumbuhan ekonomi global. 



Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 diumumkan sebesar 6% year-on-year (YoY). Ini adalah laju terlemah sejak 1992, kali pertama China memperkenalkan data pertumbuhan ekonomi secara YoY.

Ke depan, buka tidak mungkin pertumbuhan ekonomi China terus melambat. China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia di bawah Amerika Serikat. Ketika sang raksasa sedang lesu, negara-negara lain yang terlibat perdagangan dengan China pertumbuhan ekonominya tentunya akan ikut terseret.

(BERLANJUT KE HALAMAN 3) 

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular