Newsletter

Hantu Resesi Belum Pergi, Demo Memperparah Situasi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 October 2019 05:27
Hantu Resesi Belum Pergi, Demo Memperparah Situasi
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia belum bosan terkoreksi pada perdagangan kemarin. Faktor eksternal dan dalam negeri memang masih kurang kondusif.

Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,5%. Namun IHSG tidak sendirian karena indeks Shanghai Composite terkoreksi 0,92%, Sensex India minus 0,54%, PSEI Filipina negatif 0,5%, dan SET Thailand melemah 0,8%.


Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,11%. Depresiasi juga bukan monopoli rupiah, karena hampir seluruh mata uang utama Benua Kuning melemah di hadapan greenback.

 


Terlihat bahwa memang arus modal sedang mengarah ke Negeri Paman Sam, investor sedang getol memborong dolar AS. Ini tidak lepas dari perkembangan di Eropa yang semakin gloomy.

Sejumlah lembaga di Jerman menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Negeri Panser untuk 2019 dari 0,8% menjadi 0,5%. Sementara untuk 2020, pertumbuhan ekonomi Jerman diperkirakan sebesar 1,1%. Juga direvisi ke bawah dari proyeksi sebelumnya yaitu 1,8%.

Data Federal Labor Office menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja di Jerman pada September turun 10.000 dari bulan sebelumnya menjadi 2,28 juta jiwa. Lebih buruk dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan kenaikan 5.000.

Kabar kurang sedap juga datang dari Inggris. Menteri Keuangan Sajid Javid mengatakan bahwa Inggris akan mempersiapkan diri untuk menghadapi No-Deal Brexit. Sebab, Perdana Menteri Boris Johnson menegaskan Inggris tetap akan keluar dari Uni Eropa pada 31 Oktober apa pun yang terjadi, dengan atau tanpa kesepakatan.

"Saya sudah menginstruksikan kepada kementerian untuk mempersiapkan respons yang komprehensif untuk mendukung perekonomian. Kami bekerja bersama Bank of England (Bank Sentral Inggris). Deal or no deal, kami akan siap," kata Javid, seperti diberitakan Reuters.

Inggris dan Jerman adalah dua perekonomian terbesar di Benua Biru. Jika perlambatan ekonomi terus terjadi, maka risiko resesi akan semakin besar.


Akibatnya, investor pun meninggalkan pasar keuangan Eropa dan kembali memilih dolar AS. Donald Trump, Presiden Negeri Adidaya, pun meradang karena mata uangnya terlalu kuat.

"Seperti perkiraan saya, Jay Powell (Jerome Powell, Ketua Bank Sentral AS The Federal Reserve/The Fed) membiarkan dolar AS terlalu kuat relatif terhadap SELURUH mata uang, yang berdampak negatif terhadap industri manufaktur. Suku bunga acuan terlalu tinggi. Mereka (The Fed) adalah musuh terbesar kita, mereka tidak punya arah. Menyedihkan!" cuit Trump di Twitter.

Sementara dari dalam negeri, situasi politik-sosial-keamanan masih belum kondusif. Aksi demonstrasi masih saja terjadi, yang mewarnai hari pertama kerja DPR periode 2019-2024.

Kondisi yang masih penuh tanda tanya dan bisa memanas kapan saja kemungkinan membuat investor menahan diri bahkan tidak nyaman. Akibatnya, investor asing mencatatkan jual bersih Rp 607,11 miliar di pasar saham.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)



Beralih ke Wall Street, ada kabar buruk yang sepertinya bakal memukul pasar keuangan Asia hari ini. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 1,28%, S&P 500 amblas 1,22%, dan Nasdaq Composite ambrol 1,13%.

Investor mencemaskan masa depan perekonomian Negeri Paman Sam setelah rilis data terbaru yang mengecewakan. Institute fo Supply Management melaporkan angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS periode September berada di 47,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 49,1.

Angka PMI di bawah 50 menunjukkan industriawan tidak melakukan ekspansi. Selain itu, skor 47,8 adalah yang terendah sejak Juni 2009.

 


Ternyata AS tidak imun terhadap kontraksi manufaktur yang sudah terjadi di Asia dan Eropa. Bahkan PMI manufaktur Indonesia pun sudah terkontraksi dengan catatan 49,1 pada September.

"Ini adalah angka yang buruk, sejalan dengan masalah manufaktur yang dialami dunia. Saya rasa pasar layak untuk cemas," tegas Jim Bianco, Kepala Riset Bianco Research yang berbasis di Chicago, seperti dikutip dari Reuters.

"Sektor manufaktur sudah mengalami resesi. Namun bukan berarti ekonomi secara keseluruhan sudah dalam resesi," tambah Thomas Simons, Ekonom di Jeffries, juga dikutip dari Reuters.

Ya, ekonomi AS memang masih tumbuh sehingga belum masuk resesi. Namun perlambatan ekonomi terlihat jelas.

Pada kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi AS adalah 2%. Namun untuk kuartal III-2019, The Fed Atlanta memperkirakan pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 1,8%.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu memperhatikan sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang mencemaskan. Anjloknya bursa saham New York sangat mungkin merusak mood pelaku pasar di Asia.

Kedua adalah risiko resesi ekonomi global yang semakin nyata. Data-data ekonomi di berbagai negara menunjukkan aktivitas yang semakin lesu. Di AS sudah terlihat, angka PMI menyentuh titik terendah dalam 10 tahun terakhir.

Di Eropa situasinya tidak kalah mengkhawatirkan. Pembacaan awal angka inflasi September di Zona Euro adalah 0,9% year-on-year (YoY), masih jauh di bawah target Bank Sentral Eropa (ECB) yaitu 2%. Ini menandakan permintaan di Benua Biru masih lesu, tidak ada gairah.

Akibatnya, PMI manufaktur di beberapa negara Eropa mengalami kontraksi. PMI Jerman pada September tercatat 41,7, terendah sejak Juni 2009. Sementara di Inggris, PMI juga masih di bawah 50 tepatnya 48,3.

Kemudian di Italia, PMI September tercatat 47,8, turun dibandingkan Agustus yang sebesar 48,7. PMI Negeri Pizza sudah terkontraksi selama 12 bulan beruntun. Lalu di Spanyol, PMI September berada di 47,7, terendah sejak April 2013.

Semua ini terjadi gara-gara perang dagang AS-China, yang membuat rusak rantai pasok dunia. Arus perdagangan dan investasi global terganggu saat dua kekuatan ekonomi terbesar saling hambat.

Jadi harapan satu-satunya adalah AS-China harus berdamai. Kalau perang dagang terus berkobar, maka resesi ekonomi global akan sangat sulit untuk dihindari.



(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen kedua, investor perlu memantau perkembangan harga minyak. Pada pukul 04:36 WIB, harga si emas hitam memang masih turun di mana brent terkoreksi 0,2% dan light sweet melemah 0,17%.

Namun ada peluang harga minyak akan naik karena pasokan yang menipis. American Petroleum Institute memperkirakan stok minyak AS pada pekan lalu berkurang 5,92 juta barel menjadi 417,94 juta barel. Jauh lebih dalam ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan penurunan 1,6 juta barel.

Sedangkan produksi minyak para anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) pada September diperkirakan 28,9 juta barel, turun 750.000 barel dibandingkan Agustus. Ini adalah produksi terendah sejak Maret 2011.

 


Kalau harga minyak betul-betul naik, maka bisa menjadi sentimen negatif bagi Indonesia. Sebagai negara net importir minyak, kenaikan harga akan membuat neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) tertekan. Ini tentu membuat posisi rupiah menjadi rawan.

Namun rupiah masih punya harapan, karena sentimen ketiga yaitu koreksi dolar AS. Setelah kemarin mengamuk, greenback sepertinya mulai tenang.

Pada pukul 04:45 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah 0,21%. Bisa jadi akibat investor mulai mencairkan keuntungan atau ciut karena cuitan Trump.

Amukan dolar AS yang mereda membuat rupiah dkk di Asia punya ruang untuk menguat. Semoga sentimen ini cukup kuat untuk menopang penguatan rupiah.

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah gelombang aksi massa yang kemungkinan masih akan terjadi. Rencananya massa buruh yang akan berdemonstrasi menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan revisi UU Ketenagakerjaan serta mendesak pemerintah mencabut PP No 78/2015 tentang Pengupahan.


Well, aksi demonstrasi yang tidak kunjung usai membuat situasi keamanan belum 100% kondusif. Ini bisa membuat investor merasa tidak nyaman, sehingga arus modal asing menjauh dari pasar keuangan Indonesia.

Ditambah dengan 'hantu' resesi yang kembali bergentayangan, kondisi politik-sosial-keamanan domestik yang belum kondusif bisa memperparah situasi...


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
1. Seminar nasional Infrastruktur Menuju Indonesia Maju yang dihadiri oleh Menko Perekonomian, Menko Kemaritiman, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (09:00 WIB).
2. Pembukaan masa penawaran ORI016 (10:00 WIB).
3. Rilis data keyakinan konsumen Jepang periode September (12:00 WIB).
4. Rilis data proyeksi data tenaga kerja AS periode September versi ADP (19:15 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q II-2019 YoY)

5,05%

Inflasi (September 2019 YoY)

3,39

BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2019)

5,25%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q II-2019)

-3,04% PDB

Neraca pembayaran (Q II-2019)

-US$ 1,98 miliar

Cadangan devisa (Agustus 2019)

US$ 126,44 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular