Demonstrasi Belum Berhenti, Rupiah KO Lagi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 October 2019 17:37
Demonstrasi Belum Berhenti, Rupiah KO Lagi
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada perdagangan Selasa (1/10/19), melanjutkan performa negatif awal pekan kemarin.

Rupiah mengakhiri perdagangan di level Rp 14.205/US$, melemah 0,11% di pasar spot, melansir data Refinitiv.



Pergerakan pada hari ini juga seperti ulangan Senin kemarin, rupiah membuka perdagangan hari ini dengan menguat 0,11% ke level Rp 14.175/US$. Penguatan tidak berlangsung lama, sebelum tengah hari rupiah sudah masuk ke zona mentah dan tertahan sepanjang perdagangan.

Dua puluh menit sebelum perdagangan berakhir depresiasi rupiah semakin menjadi-jadi, hingga menyentuh level terlemah Rp 14.215/US$.

Pelemahan rupiah pada hari ini sejalan dengan semua mata uang utama Asia. Hingga pukul 16:30 WIB, tidak ada satupun mata uang utama Benua Kuning yang menguat melawan dolar AS. Rupiah bahkan menjadi yang terbaik ketiga dibandingkan dengan mata uang yang melemah hari ini.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hari ini.



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS yang sedang perkasa menjadi penekan rupiah pada hari ini. Indeks dolar AS pada sore hari berada di level 99,51 menguat 0,14% setelah Senin kemarin menguat 0,27%. Titik indeks dolar saat ini merupakan yang tertinggi tertinggi sejak 12 Mei 2017. 

Harapan akan adanya damai dagang AS-China terus menopang penguatan dolar. Seperti diketahui sebelumnya perundingan dagang AS-China akan dilangsungkan di Washington pada 10-11 Oktober nanti. Ini merupakan perundingan tingkat tinggi, delegasi China akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He, sementara AS akan dikomandoi oleh Kepala Kantor Perwakilan Dagang Robert Lighthizer.

Harapan akan adanya damai dagang dua raksasa ekonomi ini terus membuncah setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan kesepakatan dagang bisa terjadi lebih cepat dibandingkan prediksi pelaku pasar. 



Di luar perundingan dagang tersebut, sempat beredar berita bahwa AS bakal melakukan langkah kontroversial. Pemerintahan Presiden Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk mengusir perusahaan-perusahaan China yang melantai di bursa saham New York (Wall Street). Berita ini membuat investor kelabakan, karena berisiko mengganggu proses menuju damai dagang.

Akan tetapi, hadir kabar yang melegakan. Bloomberg melaporkan, sebagaimana diberitakan oleh Reuters, Kementerian Keuangan AS membantah bahwa pemerintah bakal melakukan forced delisting terhadap emiten Negeri Tirai Bambu.

"Pemerintah tidak sedang mempertimbangkan melarang perusahaan China untuk mencatatkan saham di bursa AS untuk saat ini," kata Monica Crowley, Juru Bicara Kementerian Keuangan AS.

Asa menuju damai AS-China kembali membahana. Kini investor berharap pertemuan 10-11 Oktober nanti menelurkan hasil positif untuk mengakhiri perang dagang yang sudah berlangsung selama lebih dari setahun.

Deal kedua negara tentunya memacu perekonomian kedua negara yang sedang melambat, dan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi global. Jika perekonomian membaik, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tentunya tidak akan memangkas suku bunga lagi. 



Sementara itu dari dalam negeri Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2019. BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27%.

"Sehingga inflasi tahunan tercatat sebesar 3,39%," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS, Selasa (1/10/2019).

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi deflasi sebesar 0,15% secara month-on-month (MoM). 

Di sisi lain, situasi politik-sosial-keamanan masih kurang kondusif. Aksi demonstrasi kembali terjadi di Jakarta Senin kemarin, dan berlanjut pada hari ini. 

Kondisi dalam negeri memang mulai kurang kondusif sejak pekan lalu, ketika mahasiswa dan elemen masyarakat mengadakan demo menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selain juga RUU Permsayarakatan, RUU Ketenagakerjaan, dan juga RUU Minerba. 



Demonstrasi pada pekan lalu terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, dan berakhir ricuh di beberapa titik. 

Ketika kondisi dalam negeri kurang kondusif, investor akan melakukan aksi wait and see, menunggu situasi untuk kembali normal sebelum kembali berinvestasi. Dampaknya rupiah jadi tanpa tenaga, dan terus mengalami tekanan. 

TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular