
Demonstrasi Belum Berhenti, Rupiah KO Lagi
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 October 2019 17:37

Dolar AS yang sedang perkasa menjadi penekan rupiah pada hari ini. Indeks dolar AS pada sore hari berada di level 99,51 menguat 0,14% setelah Senin kemarin menguat 0,27%. Titik indeks dolar saat ini merupakan yang tertinggi tertinggi sejak 12 Mei 2017.
Harapan akan adanya damai dagang AS-China terus menopang penguatan dolar. Seperti diketahui sebelumnya perundingan dagang AS-China akan dilangsungkan di Washington pada 10-11 Oktober nanti. Ini merupakan perundingan tingkat tinggi, delegasi China akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He, sementara AS akan dikomandoi oleh Kepala Kantor Perwakilan Dagang Robert Lighthizer.
Harapan akan adanya damai dagang dua raksasa ekonomi ini terus membuncah setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan kesepakatan dagang bisa terjadi lebih cepat dibandingkan prediksi pelaku pasar.
Di luar perundingan dagang tersebut, sempat beredar berita bahwa AS bakal melakukan langkah kontroversial. Pemerintahan Presiden Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk mengusir perusahaan-perusahaan China yang melantai di bursa saham New York (Wall Street). Berita ini membuat investor kelabakan, karena berisiko mengganggu proses menuju damai dagang.
Akan tetapi, hadir kabar yang melegakan. Bloomberg melaporkan, sebagaimana diberitakan oleh Reuters, Kementerian Keuangan AS membantah bahwa pemerintah bakal melakukan forced delisting terhadap emiten Negeri Tirai Bambu.
"Pemerintah tidak sedang mempertimbangkan melarang perusahaan China untuk mencatatkan saham di bursa AS untuk saat ini," kata Monica Crowley, Juru Bicara Kementerian Keuangan AS.
Asa menuju damai AS-China kembali membahana. Kini investor berharap pertemuan 10-11 Oktober nanti menelurkan hasil positif untuk mengakhiri perang dagang yang sudah berlangsung selama lebih dari setahun.
Deal kedua negara tentunya memacu perekonomian kedua negara yang sedang melambat, dan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi global. Jika perekonomian membaik, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tentunya tidak akan memangkas suku bunga lagi.
Sementara itu dari dalam negeri Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2019. BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27%.
"Sehingga inflasi tahunan tercatat sebesar 3,39%," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS, Selasa (1/10/2019).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi deflasi sebesar 0,15% secara month-on-month (MoM).
Di sisi lain, situasi politik-sosial-keamanan masih kurang kondusif. Aksi demonstrasi kembali terjadi di Jakarta Senin kemarin, dan berlanjut pada hari ini.
Kondisi dalam negeri memang mulai kurang kondusif sejak pekan lalu, ketika mahasiswa dan elemen masyarakat mengadakan demo menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selain juga RUU Permsayarakatan, RUU Ketenagakerjaan, dan juga RUU Minerba.
Demonstrasi pada pekan lalu terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, dan berakhir ricuh di beberapa titik.
Ketika kondisi dalam negeri kurang kondusif, investor akan melakukan aksi wait and see, menunggu situasi untuk kembali normal sebelum kembali berinvestasi. Dampaknya rupiah jadi tanpa tenaga, dan terus mengalami tekanan.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Harapan akan adanya damai dagang AS-China terus menopang penguatan dolar. Seperti diketahui sebelumnya perundingan dagang AS-China akan dilangsungkan di Washington pada 10-11 Oktober nanti. Ini merupakan perundingan tingkat tinggi, delegasi China akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He, sementara AS akan dikomandoi oleh Kepala Kantor Perwakilan Dagang Robert Lighthizer.
Harapan akan adanya damai dagang dua raksasa ekonomi ini terus membuncah setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan kesepakatan dagang bisa terjadi lebih cepat dibandingkan prediksi pelaku pasar.
Di luar perundingan dagang tersebut, sempat beredar berita bahwa AS bakal melakukan langkah kontroversial. Pemerintahan Presiden Donald Trump sedang mempertimbangkan untuk mengusir perusahaan-perusahaan China yang melantai di bursa saham New York (Wall Street). Berita ini membuat investor kelabakan, karena berisiko mengganggu proses menuju damai dagang.
Akan tetapi, hadir kabar yang melegakan. Bloomberg melaporkan, sebagaimana diberitakan oleh Reuters, Kementerian Keuangan AS membantah bahwa pemerintah bakal melakukan forced delisting terhadap emiten Negeri Tirai Bambu.
"Pemerintah tidak sedang mempertimbangkan melarang perusahaan China untuk mencatatkan saham di bursa AS untuk saat ini," kata Monica Crowley, Juru Bicara Kementerian Keuangan AS.
Asa menuju damai AS-China kembali membahana. Kini investor berharap pertemuan 10-11 Oktober nanti menelurkan hasil positif untuk mengakhiri perang dagang yang sudah berlangsung selama lebih dari setahun.
Deal kedua negara tentunya memacu perekonomian kedua negara yang sedang melambat, dan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi global. Jika perekonomian membaik, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tentunya tidak akan memangkas suku bunga lagi.
Sementara itu dari dalam negeri Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2019. BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27%.
"Sehingga inflasi tahunan tercatat sebesar 3,39%," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS, Selasa (1/10/2019).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi deflasi sebesar 0,15% secara month-on-month (MoM).
Di sisi lain, situasi politik-sosial-keamanan masih kurang kondusif. Aksi demonstrasi kembali terjadi di Jakarta Senin kemarin, dan berlanjut pada hari ini.
Kondisi dalam negeri memang mulai kurang kondusif sejak pekan lalu, ketika mahasiswa dan elemen masyarakat mengadakan demo menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selain juga RUU Permsayarakatan, RUU Ketenagakerjaan, dan juga RUU Minerba.
Demonstrasi pada pekan lalu terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, dan berakhir ricuh di beberapa titik.
Ketika kondisi dalam negeri kurang kondusif, investor akan melakukan aksi wait and see, menunggu situasi untuk kembali normal sebelum kembali berinvestasi. Dampaknya rupiah jadi tanpa tenaga, dan terus mengalami tekanan.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular