Uji Nyali BI Jilid II: Beranikah Pangkas Bunga Hari Kamis?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 August 2019 14:48
Uji Nyali BI Jilid II: Beranikah Pangkas Bunga Hari Kamis?
Foto: Dewan Gubernur Bank Indonesia (CNBC Indonesia/Lidya Kembaren)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini termasuk pekan yang sepi sentimen bagi pasar keuangan tanah air dari sisi domestik. Angka pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran, hingga perdagangan internasional semuanya sudah dirilis pada pekan-pekan sebelumnya. Namun, bukan berarti tak ada sama sekali sentimen dari dalam negeri yang patut dicermati.

Pada hari Rabu dan Kamis (21-22 Agustus), Bank Indonesia (BI) dijadwalkan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) guna menentukan tingkat suku bunga acuan terbarunya. Keputusan terkait dengan tingkat suku bunga acuan terbaru akan diumumkan pada hari Kamis (22/8/2019).

Konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan bahwa BI akan menahan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. Dari 12 ekonomi yang kami survei, hanya terdapat empat yang memperkirakan akan ada pemangkasan, yakni sebesar 25 basis poin (bps).



Sekedar mengingatkan, pasca menggelar RDG selama dua hari pada pertengahan bulan lalu, BI mengumumkan pemangkasan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps, dari 6% ke level 5,75%.

Pemangkasan tersebut terbilang historis lantaran menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pertama sejak September 2017. Pada tahun 2018, tingkat suku bunga acuan dikerek naik oleh BI sebesar 175 bps.



Namun, pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps tersebut tentulah belum cukup guna mendongkrak laju perekonomian Indonesia. Untuk diketahui, saat ini perekonomian Indonesia sedang lesu, kurang bergairah.

Pada awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%. Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.

Padahal, pada tiga bulan kedua tahun ini ada gelaran pemilihan umum (Pemilu) dan kehadiran bulan Ramadan yang diharapkan bisa mendongkrak konsumsi dan pertumbuhan ekonomi secara umum. Kenyataannya, perekonomian Indonesia tetap saja loyo.

Jelas dibutuhkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut guna merangsang laju perekonomian tanah air. Kala tingkat suku bunga acuan dipangkas lebih lanjut, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Ibarat mengendarai mobil, pada bulan lalu BI sudah memasukkan gigi dengan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps. Pertanyaannya kini, akankah BI menginjak gas dengan mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut?

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> The Fed Diekspektasikan Pangkas 75 Bps Lagi
Sebelum mencermati faktor domestik yang mempengaruhi keputusan BI dalam menentukan tingkat suku bunga acuan, perlu dicermati juga persepsi pasar terhadap arah kebijakan moneter di AS. Maklum, AS merupakan kiblat perekonomian dunia sehingga arah kebijakan moneter di sana sangatlah menentukan arah kebijakan moneter di negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Bahkan jika diingat, keputusan BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan lalu didasari oleh pandangan bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini. Pemangkasan kemudian benar dilakukan oleh The Fed pada akhir bulan Juli, yakni sebesar 25 bps, menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pertama sejak tahun 2008 silam.

Kini, pelaku pasar justru mengharapkan The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak 75 bps lagi di sisa tahun 2019.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 19 Agustus 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps di sisa tahun ini mencapai 46,5%, naik jauh dari posisi sebulan lalu yang hanya sebesar 20,2%.  



Mencuatnya ekspektasi bahwa The Fed akan bertindak begitu agresif di sisa tahun 2019 datang seiring dengan pergerakan di pasar obligasi AS yang mengindikasikan datangnya resesi di negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut.

Pada perdagangan hari Rabu (14/8/2019), imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun sempat melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang sangat krusial lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan. Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

Analisis dari institusi lain menguatkan pandangan bahwa AS akan jatuh ke jurang resesi. Bank of America Merrill Lynch dalam risetnya bahkan menyebut bahwa inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun telah mendahului tujuh resesi terakhir yang terjadi di AS.

Jadi, kini peta permainan di Negeri Paman Sam sudah berubah. Sangat masuk akal jika The Fed diekspektasikan akan memangkas tingkat suku bunga acuan secara agresif di sisa tahun 2019.

Hal ini pada akhirnya dapat membuka ruang bagi BI untuk ikut melanjutkan pemangkasan tingkat suku bunga acuannya.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Defisit Neraca Dagang Kecil, Transaksi Berjalan Harusnya Oke Beralih ke dalam negeri, kondisi yang ada juga mendukung bagi bank sentral untuk memangkas tingkat suku bunga acuan dalam pertemuan pekan ini.

Untuk diketahui, selama ini yang menjadi momok bagi BI sehingga membuatnya terkesan lamban dalam memangkas tingkat suku bunga acuan adalah defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) yang begitu lebar.

Pada kuartal I-2019, BI mencatat CAD berada di level 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 2,01% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 3,04% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 3,01% dari PDB.



Transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil,
berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

CAD yang begitu dalam kerap membuat BI ragu dalam mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan lantaran ada kekhawatiran bahwa rupiah akan diterpa tekanan jual yang besar karenanya.

Untuk diketahui, mandat dari BI adalah menjaga kestabilan harga di tanah air. Nah, salah satu tekanan bagi harga bisa datang dari pelemahan nilai tukar rupiah. Kala rupiah melemah, impor bahan baku akan menjadi lebih mahal sehingga bisa mendongkrak harga jual yang harus ditebus oleh konsumen.

Kini, ada harapan bahwa CAD akan membaik di dua kuartal terakhir tahun 2019 dan performa rupiah bisa terdongkrak karenanya.

Pada hari Kamis (15/8/2019), BPS merilis data perdagangan internasional periode Juli 2019. Sepanjang Juli 2019, BPS mencatat bahwa ekspor jatuh sebesar 5,12% secara tahunan, lebih baik dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi hingga 11,59%. Sementara itu, impor tercatat jatuh 15,21% YoY, juga lebih baik ketimbang konsensus yakni koreksi sebesar 17,76% YoY. Alhasil, neraca dagang tercatat membukukan defisit senilai US$ 63,5 juta, jauh lebih kecil dibandingkan konsensus yang sebesar US$ 384,5 juta.

Rilis data perdagangan internasional periode Juli 2019 menjadi sangat penting lantaran akan mempengaruhi posisi transaksi berjalan pada kuartal III-2019. Ingat, neraca barang merupakan salah satu komponen yang membentuk transaksi berjalan.

Pada Juli 2018, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,01 miliar, sementara defisit CAD pada kuartal III-2018 tercatat sebesar 3,3% dari PDB.

Dengan defisit neraca dagang pada Juli 2019 yang jauh lebih kecil dari ekspektasi, maka ada peluang yang besar bahwa CAD di kuartal III-2019 akan menyempit.

Hal ini tentu membuka ruang bagi BI untuk mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut.

BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Inflasi Aman Terkendali Masih dari dalam negeri, inflasi yang rendah juga mendukung bagi BI jika ingin mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada pekan ini. Per Juli 2019, BPS mencatat bahwa tingkat inflasi secara tahunan berada di level 3,32%, masih berada dalam rentang yang ditargetkan BI yakni 3,5 plus minus satu persen.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2020, pemerintah menargetkan inflasi berada di level 3,1% untuk tahun 2019. Untuk tahun 2020, inflasi masih dipatok di level 3,1%.

Sepanjang periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), salah satu capaiannya yang impresif adalah pengendalian inflasi. Pada periode satu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), secara rata-rata inflasi berada di level 8,49%. Pada periode dua SBY, rata-ratanya memang turun namun masih berada di level yang tinggi, yakni 6,17%. Beralih ke periode satu Jokowi, secara rata-rata inflasi bertengger di level 3,24%. Di era Jokowi, tak sekalipun inflasi melampaui level 4%.



Inflasi yang rendah berarti mandat dari BI untuk menstabilkan harga di tanah air sudah terpenuhi. Jika disandingkan dengan laju perekonomian yang sedang relatif lesu, tentu BI memiliki ruang untuk mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada hari Kamis mendatang.

Dengan mencermati berbagai perkembangan yang ada, kami meyakini bahwa Gubernur BI Perry Warjiyo dan koleganya di bank sentral akan mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada hari Kamis, setidaknya sebesar 25 bps.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular