Uji Nyali BI Jilid II: Beranikah Pangkas Bunga Hari Kamis?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 August 2019 14:48
The Fed Diekspektasikan Pangkas 75 Bps Lagi
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman
Sebelum mencermati faktor domestik yang mempengaruhi keputusan BI dalam menentukan tingkat suku bunga acuan, perlu dicermati juga persepsi pasar terhadap arah kebijakan moneter di AS. Maklum, AS merupakan kiblat perekonomian dunia sehingga arah kebijakan moneter di sana sangatlah menentukan arah kebijakan moneter di negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Bahkan jika diingat, keputusan BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan lalu didasari oleh pandangan bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini. Pemangkasan kemudian benar dilakukan oleh The Fed pada akhir bulan Juli, yakni sebesar 25 bps, menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pertama sejak tahun 2008 silam.

Kini, pelaku pasar justru mengharapkan The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak 75 bps lagi di sisa tahun 2019.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 19 Agustus 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps di sisa tahun ini mencapai 46,5%, naik jauh dari posisi sebulan lalu yang hanya sebesar 20,2%.  



Mencuatnya ekspektasi bahwa The Fed akan bertindak begitu agresif di sisa tahun 2019 datang seiring dengan pergerakan di pasar obligasi AS yang mengindikasikan datangnya resesi di negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut.

Pada perdagangan hari Rabu (14/8/2019), imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun sempat melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.

Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang sangat krusial lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan. Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

Analisis dari institusi lain menguatkan pandangan bahwa AS akan jatuh ke jurang resesi. Bank of America Merrill Lynch dalam risetnya bahkan menyebut bahwa inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun telah mendahului tujuh resesi terakhir yang terjadi di AS.

Jadi, kini peta permainan di Negeri Paman Sam sudah berubah. Sangat masuk akal jika The Fed diekspektasikan akan memangkas tingkat suku bunga acuan secara agresif di sisa tahun 2019.

Hal ini pada akhirnya dapat membuka ruang bagi BI untuk ikut melanjutkan pemangkasan tingkat suku bunga acuannya.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Defisit Neraca Dagang Kecil, Transaksi Berjalan Harusnya Oke (ank/dru)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular