Update Polling CNBC Indonesia

BI Diramal Tahan Bunga Acuan, Tapi Suara Penurunan Pun Ada...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 August 2019 12:24
BI Diramal Tahan Bunga Acuan, Tapi Suara Penurunan Pun Ada...
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Menambah proyeksi dari BCA
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih menahan suku bunga acuan dalam rapat bulan ini. Namun suara-suara yang meramal Gubernur BI Perry Warjiyo menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate tidak bisa dikesampingkan.

BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 21-22 Agustus untuk menentukan suku bunga acuan. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI masih mempertahankan suku bunga acuan di 5,75% pada bulan ini. 

InstitusiBI 7 Day Reverse Repo (%)
ING5.75
Citi5.5
Bahana Sekuritas5.5
Barclays5.75
ANZ5.75
CIMB Niaga5.75
UOB5.5
BTN5.5
Maybank Indonesia5.75
Bank Permata5.75
Bank Danamon5.75
Danareksa Research Institute5.75
BCA5.75
MEDIAN5.75
 
Namun, empat dari 13 ekonom yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate turun 25 basis poin (bps) ke 5,5%. Memang minoritas, tetapi tidak bisa dinafikan begitu saja. 

"Melihat data ekspor-impor terakhir, masih terlihat perlambatan permintaan domestik. Dengan defisit neraca perdagangan yang landai pada Juli, kami memperkirakan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal III-2019 berada di 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan pada kuartal berikutnya sekitar 2-2,5% PDB. Lebih rendah dibandingkan 2018," papar Heli Arman, Ekonom Citi. 

 

Baca: Bikin Gemetar, Ini Alasan CAD Bengkak di Atas 3% di Q2-2019

Sejak tahun lalu, transaksi berjalan begitu menentukan arah suku bunga kebijakan. Sebab, defisit transaksi berjalan menyebabkan fondasi rupiah menjadi rapuh sehingga cenderung melemah. 

Ini yang melatarbelakangi keputusan BI menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali tahun lalu. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat aktivitas ekonomi melambat, impor berkurang, dan defisit transaksi berjalan lebih terkendali.
 

Kini sepertinya dampak dari kenaikan suku bunga acuan yang agresif tahun lalu menuai hasil. Permintaan domestik melambat, impor pun terus terkontraksi. 

 

Permintaan domestik dan impor yang masih melambat, lanjut Helmi, menyebabkan ruang untuk menurunkan suku bunga acuan pekan ini cukup terbuka. Apalagi kini BI sudah berpindah haluan, dari penjaga stabilitas menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. 

Baca: BI: Jika Bunga Tak Turun, Ekonomi RI Tumbuh di Bawah 5,2%!

"Di tengah perlambatan permintaan domestik, penurunan suku bunga acuan berfungsi sebagai bantalan untuk menjaga iklim usaha dan kapasitas utang korporasi. Penurunan suku bunga acuan juga tidak serta-merta menaikkan siklus belanja modal dan mendongrak impor barang modal yang membuat CAD kembali memburuk," jelas Helmi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Namun, peluang BI mempertahankan suku bunga acuan sepertinya lebih besar. BI memang punya alasan kuat jika ingin bermain aman. 

Pertama, bulan ini tidak ada rapat Komite Pengambil Kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC). Rapat FOMC terdekat adalah 18 September waktu setempat. 

Kebetulan jadwal RDG BI bulan depan adalah 18-19 September, berarti tepat setelah keputusan rapat FOMC diumumkan. Lebih aman bagi BI jika menunggu keputusan Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega sebelum mengambil langkah selanjutnya. 

Kedua, arus modal portofolio di sektor keuangan (hot money) yang masuk ke Indonesia beberapa waktu terakhir agak seret. Sepanjang Juli, investor asing membukukan jual bersih Rp 257 miliar di pasar saham. Bahkan pekan lalu nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 2,64 triliun. 

Akibatnya, rupiah cenderung melemah akhir-akhir ini. Dalam sebulan terakhir, mata uang Tanah Air melemah 2,4% terhadap dolar AS. 

 

Penyebabnya adalah perekonomian global yang penuh dengan ketidakpastian. Perang dagang AS-China belum jelas juga juntrungannya, bahkan ada tendensi 'naik kelas' menjadi perang mata uang.


Sampai saat ini, AS-China masih berencana menggelar dialog dagang di Washington pada awal September. Jika dialog itu membuahkan hasil positif, maka akan membuat risk appetite pasar membuncah. Arus modal kembali berdatangan ke aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Namun itu baru terjadi awal September (itu juga kalau jadi). Sebelum ada kepastian, investor cenderung memilih wait and see dan bermain aman. Jadi ada baiknya BI menunggu hasil dialog dagang AS-China sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan suku bunga kebijakan.

Selain perang dagang AS-China, isu ancaman resesi juga menghangat beberapa waktu terakhir. Data-data ekonomi di berbagai negara terus menunjukkan bahwa perlambatan ekonomi adalah sesuatu yang nyata, bukan sekedar mitos. 


Jika perang dagang AS-China tidak kunjung selesai, maka rantai pasok global akan tersendat sehingga ekspor dan investasi macet. Bukan tidak mungkin perlambatan ekonomi akan berubah menjadi resesi. 

Ancaman resesi lagi-lagi akan membuat pasar keuangan negara berkembang menjadi kurang atraktif. Apalagi kalau suku bunga acuan diturunkan, pasar keuangan Indonesia menjadi semakin tidak seksi. Sudah berisiko, imbalannya turun pula. 

Jadi, tidak ada salahnya jika BI ingin bermain aman dan menunda penurunan suku bunga acuan bulan depan. Namun, bisa dipahami juga kalau MH Thamrin ingin menjadi agen pendorong pertumbuhan ekonomi karena saat ini hanya mereka yang bisa diandalkan. 

Kini Gubernur Perry dan sejawat bagai tim sepakbola yang bermain 0-0 jelang peluit akhir ditiup. Apakah BI ingin mengulur waktu dan mengamankan hasil imbang, atau memilih bermain agresif untuk mencetak gol?


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular