Risiko Global Meningkat, Asing Mulai Lepas Obligasi RI

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
13 August 2019 18:33
Pelaku pasar obligasi pemerintah global mulai melakukan aksi jual, termasuk di pasar surat utang negara (SUN).
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Risiko perang dagang AS-China dan potensi perlambatan ekonomi dunia membuat pelaku pasar obligasi pemerintah global mulai melakukan aksi jual, termasuk di pasar surat utang negara (SUN) milik pemerintah Indonesia. 

Mengacu data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, kepemilikan asing mulai berkurang sejak awal bulan ini, setelah sebelumnya selalu meningkat meskipun pasar terkoreksi sejak 26 Juli, baik dari sisi porsi maupun nominalnya.  

Per 9 Agustus lalu, asing tercatat memegang Rp 1.005,64 triliun. Padahal, ketika ketegangan perang dagang AS-China masih terjadi, nilai kepemilikan asing justru sempat mencetak rekor tertingginya yaitu Rp 1.019,36 triliun pada 2 Agustus. Porsi asing ini berkurang sekitar Rp 13,72 triliun.









Aksi jual tersebut juga terjadi ketika pelaku pasar keuangan global mulai mengkhawatirkan penguatan harga obligasi Amerika Serikat (AS) yang pergerakannya searah dengan dua risiko utama tadi.  

Belum lagi, penguatan harga yang terjadi pada obligasi AS, atau biasa disebut US Treasury tersebut, terjadi lebih besar pada seri menengah, atau artinya pada seri 3 tahun hingga seri 10 tahun.  

Tren penguatan harga itu tentu dibarengi oleh penurunan tingkat imbal hasil (yield) karena harga dan yield saling bertolak belakang di pasar sekunder obligasi.

Kekhawatiran pelaku pasar itu mengemuka karena yield US Treasury seri acuan 30 tahun sudah mencapai 2,19% pada akhir pekan lalu, rekor terendahnya sepanjang masa.

Penguatan harga dan penurunan yield pada seri tersebut masih terjadi hingga kemarin yield-nya berada pada 2,13% meskipun hari ini sudah mulai naik tipis ke 2,14%.
 

Investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek mencerminkan perhatian mereka yang sedang menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek pada ekonomi Negeri Paman Sam, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis yang tidak lama lagi. 

Data Refinitiv menunjukkan yield yang negatif sebelumnya sudah mulai lumrah tidak hanya di AS, tetapi pada negara lain. Pada obligasi pemerintah Jepang, atau biasa disebut JGB, yield negatif pertama kalinya terjadi pada seri 10 tahun sejak terakhir kalinya menapakkan kaki di zona negatif pada 2016 pada 5 Februari. 

Di pasar obligasi Jerman, yang instrumennya biasa disebut bunds, yield negatif seri 10 tahun mulai terjadi pada 22 Maret dan sekarang sudah turun semakin dalam. Dua negara lain yaitu obligasi pemerintah Belanda (DSLs atau NEDs) dan Belgia (OLOs) juga baru mencatatkan yield negatif pertama kalinya sepanjang sejarah pada tahun ini. 

Kenaikan harga obligasi itu dipengaruhi oleh risiko yang dianggap meningkat seiring dengan masih belum terlihatnya akhir dari perang dagang AS-China serta perlambatan ekonomi banyak negara serta dunia secara keseluruhan.   





Meskipun saat ini kondisi AS diprediksi masih jauh dari potensi yield negatif, tetapi risiko tersebut sudah tidak dapat dipandang sebelah mata lagi.  

"Tidak lagi mustahil untuk memikirkan nominal yield US Treasury dapat negatif," ujar Joachim Fels, global economic adviser PIMCO's, dalam blog yang dikutip Reuters pekan lalu (10/8/19).  

Lantaran obligasi jangka menengah mereka menguat lebih kencang maka yield-nya turun lebih dalam daripada seri jangka pendek. Akibatnya, yield tenor jangka pendek berada lebih tinggi daripada tenor jangka panjang, dan kondisi inilah yang dinamakan inversi.  

Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi 3 bulan-5 tahun, 2 tahun-5 tahun, 3 tahun-5 tahun, dan 3 bulan-10 tahun. Inversi lumrah terjadi sejak perang dagang China-AS memanas pada April lalu.   




Saat ini inversi yang terjadi pada tenor 3 bulan-10 tahun lebih dicermati pelaku pasar global, sebagai indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat dibanding inversi tenor lain. Saat ini inversi kedua seri mencapai 35 basis poin (bps). Besaran 100 bps setara dengan 1%.
 

Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.  



Foto: Irvin Avriano Arief
   

Pertumbuhan ekonomi global dan perang dagang yang sedang mencekam tersebut, belum lagi risiko adanya non-deal Brexit, penyelamatan Deutsche Bank, serta bayang-bayang sentimen negatif lain, tentu membuat minat investor asing untuk masuk ke dalam aset berisiko seperti surat berharga di Indonesia semakin minim, termasuk obligasi rupiah. 


Mode menghindari risiko (risk averse) investor global itulah yang menjadi momok di pasar keuangan Indonesia, karena hingga detik ini pasar obligasi Indonesia masih dianggap sebagai aset berisiko, bukan instrumen aman (safe haven instrument) layaknya di negara maju dan negara berkembang lain.

Dampak dari larinya dana asing panas (hot money) tentu pada nilai tukar rupiah karena investor dunia itu akan merealisasikan keuntungan dengan menjual rupiah dari penjualan SUN dan membeli dolar AS.

Nilai tukar greenback, sebutan lain dari dolar AS, relatif belum berhenti melemah hingga hari ini Rp 14.315 per dolar AS sejak berada di level terkuatnya Rp 13.915 per dolar AS pada 15 Juli.
  



Karena itu, penting bagi Indonesia untuk menjaga kondisi makro ekonominya, terutama defisit neraca berjalan (CAD) sehingga investor asing memiliki modal sentimen positif untuk tetap menggenggam SUN.
 

Belum lagi pekerjaan rumah (PR) yang sejak dulu harus dieskalasi dan dipercepat yaitu meningkatkan basis investor dalam negeri yang mumpuni, sehingga ketergantungan pasar modal, khususnya pasar SUN, pada investor asing akan semakin berkurang.         


TIM RISET CNBC INDONESIA



(irv/irv) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular