Membuka Tabir Kisruh Internal Jababeka, Siapa yang Benar?

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
15 July 2019 17:55
Persoalan internal pemegang saham PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) mulai terkuak ke publik.
Foto: Kawasan Industri Jababeka (dok. jababeka.com)
Jakarta, CNBC Indonesia - Persoalan internal pemegang saham PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) mulai terkuak ke publik pada awal Juli ini. Namun tabir gelap masalah internal tersebut tampaknya masih menjadi misteri yang belum juga diumbar kepada pemegang saham publik.

Alih-alih menyelesaikan kisruh di tubuh perseroan, manajemen baru Jababeka justru membantah isu yang mengemuka soal potensi gagal bayar (default) atas utang senilai US$ 300 juta atau sekitar Rp 4,2 triliun (asumsi kurs Rp 14.100/US$) karena perubahan pengurus perseroan.

Notes atau surat utang itu diterbitkan anak usaha Jababeka di Belanda, Jababeka International BV.

Selain itu, manajemen baru di bawah Direktur Utama Sugiharto, yang terpilih dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada 26 Juni lalu juga membantah adanya klausul "acting in concert", atau konspirasi dari pemegang saham KIJA untuk mengendalikan perusahaan.

Ia pun mengklaim sudah menjadi direktur utama perseroan yang sah dan memegang kendali perusahaan pengelola kawasan industri di Cikarang, Jawa Barat ini.

"Saya sudah mendapat tiga legal opinion sebagai direktur utama Jababeka yang sah, acting in concert tidak bisa dibuktikan," ungkap Direktur Utama KIJA yang baru, Sugiharto, kepada CNBC Indonesia, Senin (15/7/2019).

Menurut Uk.practicallaw, acting in concert adalah tindakan bersama yang berdasarkan perjanjian atau pemahaman (baik formal maupun informal), bekerja sama untuk mendapatkan atau mengkonsolidasikan kendali perusahaan.

Mantan Menteri Negara BUMN periode 2004-2007 ini menambahkan, jumlah kepemilikan saham Mu'min Ali Gunawan, Islamic Development Bank (IDB), dan PT Imakotama Investindo masing-masing di bawah 40%, sehingga tidak mengalahkan kepemilikan saham permitted holders (pemegang saham yang diizinkan) yaitu Setyono Djuandi Darmono dan Hadi Rahardja selaku co-founders KIJA.

Sayangnya, Sugiharto enggan menjelaskan, sebetulnya apa yang menjadi masalah utama antara pemegang saham perseroan selama ini.

Kisah di Balik Kisruh Internal Jababeka, Ada Tabir Kepalsuan?Foto: Sugiharto/Twitter Sugiharto Speaking

"Ini kan perusahaan publik, semua informasi bisa dibaca di keterbukaan informasi, laporan tahunan. Saya tidak bisa memberikan lebih dari itu," jelas dia.

Ditegaskan lagi, keputusan pengangkatannya sebagai direktur utama dan Aries Liman sebagai komisaris KIJA adalah keinginan mayoritas pemegang saham publik yang hadir pada RUPST yang mewakili suara 52,12% dari keseluruhan pemegang saham yang menggunakan hak suaranya.

"Kepemilikan saham tersebut terpisah-pisah, independen, dan bukan dalam satu grup atau afiliasi," kata Sugiharto.

Kisah di Balik Kisruh Internal Jababeka, Ada Tabir Kepalsuan?Foto: Konferensi pers direksi PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) terkait ancaman default di Hotel Batavia, Jakarta (CNBC Indonesia/Syahrizal Sidak)

Pernyataan ini, tentunya bertolak belakang dengan penjelasan mantan Direktur Utama Jababeka Budianto Liman yang menyebut telah terjadi acting in concert dalam pemungutan suara pemegang saham di mana sebanyak 52,11% suara setuju. Budianto menyebut ada pihak-pihak yang berada di bawah kendali Imakotama dan afiliasinya.


"Ini perusahaan jadi victim [korban] dari acting in concert, bukan karena kinerja," kata Budianto Liman, saat jumpa pers di Jakarta, Senin (9/7/2019).

Selain itu, Budianto menyebut bahwa jabatan direktur utama yang diemban oleh Sugiharto baru akan berlaku sebulan setelah RUPS pada 26 Juni 2019 atau baru dinyatakan efektif per 26 Juli 2019 nanti.

Hal ini, jelas disanggah Soegiharto. "Saya sudah sah diumumkan sebagai direktur utama yang baru," ucapnya lagi.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?

Dalam keterbukaan informasi 7 Juli di Bursa Efek Indonesia (BEI), manajemen perseroan mengungkapkan ada risiko gagal bayar atau default atas kewajiban pembayaran Notes yang diterbitkan anak usaha.

Manajemen perseroan saat itu menegaskan risiko default ini muncul akibat perubahan susunan anggota direksi dan anggota dewan komisaris perusahaan, yakni Sugiharto menjadi dirut dan Aries Liman sebagai komisaris.

Keputusan ini diusulkan oleh 
Imakotama Investido dan IDB sebagai pemegang saham KIJA masing-masing sebesar 6,387% dan 10,841% per 26 Juni, saat RUPST berlangsung.

Dengan kata lain menurut manajemen KIJA saat itu, ada perubahan pengendalian di perseroan sehingga sesuai dengan 
syarat dan kondisi dari Notes yang diterbitkan oleh Jababeka International BV, perseroan wajib melakukan buyback.

"Maka perseroan/Jababeka International berkewajiban untuk memberikan penawaran pembelian (buyback) kepada para pemegang Notes dengan harga pembelian sebesar 101% dari nilai pokok Notes sebesar US$ 300 juta ditambah kewajiban bunga," tulis keterangan KIJA tersebut.

Disebut terjadi perubahan pengendali karena, dalam keterbukaan informasi 11 Juli, manajemen KIJA mengungkapkan bahwa sebagian besar suara yang diberikan saat voting RUPST dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berada di bawah kendali Imakota dan Afiliasinya. Jumlah kehadiran pemegang saham saat RUPST juga mencapai 90,43%.

Saat voting itu,
 Imakotama dan IDB memberikan kuasa masing-masing kepada Iwan Margana dan PT Pratama Capital Assets Management.

Namun 
Sugiharto menampik tuduhan terjadi perubahan pemegang saham pengendali setelah RUPST yang disahkan. Sebab kepemilikan saham yang dimiliki Mu'min masih 21,09% sejak Juni 2018 hingga Juli 2019. Begitu juga dengan kepemilikan saham KIJA milik IDB yang jumlah sahamnya masih sama 9,32% dan Imakotama tetap 6,16% sejak 31 Desember 2018 sampai saat ini.

"Adanya pengakuan Tedjo Budianto Liman mantan Direktur Utama KIJA sebagai korban dari acting in concert atau konspirasi dari pemegang saham KIJA adalah tidak benar," bantah Sugiharto.


Sebagai perbandingan, data BEI mencatat per Mei 2019, Mu'min Ali yang menjadi pendiri Bank Panin masih memegang saham terbesar yakni 21,08%, IDB 10,93% (bukan 9,23%), dan Imakotama 6,16%, sementara publik 61,81%.

Jadi siapa pihak yang benar, bagaimana dengan nasib pemegang saham publik yang sahamnya masih disuspensi?


Siapa pemegang saham KIJA yang berebut aset Rp 11,9 T?


[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Laba Jababeka di 2019 Capai Rp 119 M, Saham Terjerembab 54%

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular