
Demi Bangun Pabrik Baru, Chandra Asri Ngutang Lagi Rp 750 M
Monica Wareza, CNBC Indonesia
15 July 2019 16:25

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) baru saja menerbitkan obligasi senilai Rp 750 miliar dengan tingkat bunga sebesar 9,5% per tahun. Obligasi ini telah dicatatkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 31 Mei 2019 yang lalu.
Presiden Direktur CAP Erwin Ciputra mengatakan dana yang terkumpul dari obligasi ini akan digunakan untuk membiayai pembangunan proyek Methyl Tert-butyl Ether (MTBE) dan Butene-1 yang rencananya akan beroperasi pada kuartal ketiga 2020.
"Demi melebarkan sumber revenue perusahaan dan mempertahankan kepemimpinan di pasar petrokimia Indonesia yang senantiasa berkembang," kata Erwin dalam siaran persnya, dikutip CNBC Indonesia, Senin (15/7/2019).
Obligasi ini mendapatkan rating idAA- dari Pefindo dengan kesimpulan kapasitas CAP dalam memenuhi komitmen finansial jangka panjangnya atas debt security, dibandingkan dengan debitur lain sangat kuat.
Belum lama ini lembaga pemeringkat global S&P Global Ratings juga mengumumkan kenaikan peringkat utang jangka panjang CAP dari B+ menjadi BB- dengan outlook stable. Kenaikan peringkat BB- dari S&P ini juga berlaku untuk obligasi senior tanpa jaminan senilai US$ 300 juta milik perusahaan.
Adapun surat utang ini akan jatuh tempo pada 29 Mei 2022 mendatang. Obligasi ini merupakan tahap kedua dari obligasi berkelanjutan II Chandra Asri Petrochemical dengan target emisi senilai Rp 2 triliun.
Adapun untuk tahap pertamanya perusahaan telah menerbitkan obligasi senilai Rp 500 miliar dengan tingkat bunga sebesar 10% pada 20 Desember 2018. Jatuh temponya akan terjadi pada 19 Desember 2021.
Dari sisi Kinerja keuangan Chandra Asri tampaknya masih belum sepenuhnya pulih pada 3 bulan pertama tahun ini. Pasalnya, baik kinerja top line maupun bottom line perusahaan membukukan pertumbuhan negatif.
Mengacu laporan keuangan perusahaan, hingga akhir Maret 2019, total pemasukan yang diterima perusahaan menyusut 20,58% dibandingkan perolehan pada kuartal I-2018. Pendapatan TPIA pada kuartal I-2019 tercatat US$ 552,22 juta atau setara Rp 7,89 triliun (asumsi kurs Rp 14.286/US$).
Manajemen perusahaan menyampaikan bahwa pendapatan turun karena harga jual rata-rata lebih rendah terutama untuk produk kimia seperti olefins, polyolefins, dan styrene monomer.
Chandra Asri Himpun Utang Untuk Ekspansi
[Gambas:Video CNBC]
Sebagai contoh, harga jual rata-rata styrene monomer turun 7,63% secara kuartalan (QoQ) menjadi US$ 1.041/metrik ton dari sebelumnya US$ 1.127/metrik ton di kuartal empat 2018. Penurunan tersebut dikarenakan permintaan yang melambat dari China.
Jika ditilik lebih detail, sumber pendapatan perusahaan masih didominasi dari penjualan domestik dengan proporsi mencapai 74,51%. Adapun dari segi jenis produk, polyolefins masih memimpin dengan porsi sebesar 48,09%, disusul oleh olefins (23,84%), styrene monomer (17,5%), dan butadine (10,02%).
Meski demikian manajemen optimistis dengan kinerja perusahaan ke depan, apalagi dengan melihat catatan keselamatan kerja positif. "Kami mencatat 26 juta jam kerja tanpa lost time accident, sebuah catatan keselamatan baru," kata Suryandi, Direktur Chandra Asri, dalam siaran pers, Rabu (29/5/2019).
"Pabrik polyethylene 400 KTA [berkapasitas 400 kilotons per annum] baru kami akan segera selesai dan beroperasi sesuai rencana pada akhir tahun ini, bersamaan dengan debottlenecking [menghilangkan hambatan] pabrik polypropylene, untuk lebih meningkatkan skala ekonomi perusahaan," jelasnya.
Pada periode tersebut, laba bersih atau bottom line anak usaha dari Barito Pacific ini malah lebih buruk karena terperosok lebih dalam dengan mencatatkan koreksi 76,36% year-on-year (YoY) menjadi US$ 17,27 juta atau setara Rp 246,64 miliar.
Padahal pada periode yang sama tahun lalu, keuntungan yang dikantongi perusahaan bisa mencapai US$ 73,04 juta atau setara 1,04 triliun.
Jika ditelisik lebih lanjut, laba bersih perusahaan tertekan dikarenakan rasio biaya bahan baku terhadap pendapatan tercatat lebih tinggi, dan terdapat peningkatan pada pos beban keuangan dan bagian rugi bersih dari entitas asosiasi.
Sepanjang kuartal I-2019, biaya bahan baku TPIA mencapai US$ 377,82 juta atau setara 68,24% dari total pemasukan. Padahal pada periode yang sama tahun lalu proporsi biaya bahan baku hanya 56,41%. Bertambahnya porsi biaya bahan baku otomatis menekan ruang pergerakan margin laba kotor perusahaan.
Sementara itu, keuntungan perusahaan semakin ditekan dengan pos beban keuangan yang naik 19,22% YoY menjadi US$ 17,13 juta, serta rugi bersih entitas asosiasi yang melebar lebih dari 4 kali lipat (308,65% YoY) ke level US$ 8,5 juta.
Dengan demikian, di akhir periode kuartal pertama tahun ini, margin bersih yang mampu ditorehkan perusahaan hanya 3,13% dari sebelumnya 10,51% di kuartal I-2018.
Di lain pihak, dari sisi neraca, jumlah aset per 31 Maret 2019 turun 4,18% QoQ menjadi US$ 3,04 miliar dari US$ 3,17 miliar pada akhir Desember tahun lalu.
Total utang obligasi Chandra Asri hingga kuartal I 2019 tercatat sebesar US$ 25,37 juta atau setara Rp 353,43 miliar.
(hps/hps) Next Article Bos Chandra Asri Borong Saham TPIA 400 Ribu Lembar
Presiden Direktur CAP Erwin Ciputra mengatakan dana yang terkumpul dari obligasi ini akan digunakan untuk membiayai pembangunan proyek Methyl Tert-butyl Ether (MTBE) dan Butene-1 yang rencananya akan beroperasi pada kuartal ketiga 2020.
"Demi melebarkan sumber revenue perusahaan dan mempertahankan kepemimpinan di pasar petrokimia Indonesia yang senantiasa berkembang," kata Erwin dalam siaran persnya, dikutip CNBC Indonesia, Senin (15/7/2019).
Obligasi ini mendapatkan rating idAA- dari Pefindo dengan kesimpulan kapasitas CAP dalam memenuhi komitmen finansial jangka panjangnya atas debt security, dibandingkan dengan debitur lain sangat kuat.
Adapun surat utang ini akan jatuh tempo pada 29 Mei 2022 mendatang. Obligasi ini merupakan tahap kedua dari obligasi berkelanjutan II Chandra Asri Petrochemical dengan target emisi senilai Rp 2 triliun.
Adapun untuk tahap pertamanya perusahaan telah menerbitkan obligasi senilai Rp 500 miliar dengan tingkat bunga sebesar 10% pada 20 Desember 2018. Jatuh temponya akan terjadi pada 19 Desember 2021.
Dari sisi Kinerja keuangan Chandra Asri tampaknya masih belum sepenuhnya pulih pada 3 bulan pertama tahun ini. Pasalnya, baik kinerja top line maupun bottom line perusahaan membukukan pertumbuhan negatif.
Mengacu laporan keuangan perusahaan, hingga akhir Maret 2019, total pemasukan yang diterima perusahaan menyusut 20,58% dibandingkan perolehan pada kuartal I-2018. Pendapatan TPIA pada kuartal I-2019 tercatat US$ 552,22 juta atau setara Rp 7,89 triliun (asumsi kurs Rp 14.286/US$).
Manajemen perusahaan menyampaikan bahwa pendapatan turun karena harga jual rata-rata lebih rendah terutama untuk produk kimia seperti olefins, polyolefins, dan styrene monomer.
Chandra Asri Himpun Utang Untuk Ekspansi
[Gambas:Video CNBC]
Sebagai contoh, harga jual rata-rata styrene monomer turun 7,63% secara kuartalan (QoQ) menjadi US$ 1.041/metrik ton dari sebelumnya US$ 1.127/metrik ton di kuartal empat 2018. Penurunan tersebut dikarenakan permintaan yang melambat dari China.
Jika ditilik lebih detail, sumber pendapatan perusahaan masih didominasi dari penjualan domestik dengan proporsi mencapai 74,51%. Adapun dari segi jenis produk, polyolefins masih memimpin dengan porsi sebesar 48,09%, disusul oleh olefins (23,84%), styrene monomer (17,5%), dan butadine (10,02%).
Meski demikian manajemen optimistis dengan kinerja perusahaan ke depan, apalagi dengan melihat catatan keselamatan kerja positif. "Kami mencatat 26 juta jam kerja tanpa lost time accident, sebuah catatan keselamatan baru," kata Suryandi, Direktur Chandra Asri, dalam siaran pers, Rabu (29/5/2019).
"Pabrik polyethylene 400 KTA [berkapasitas 400 kilotons per annum] baru kami akan segera selesai dan beroperasi sesuai rencana pada akhir tahun ini, bersamaan dengan debottlenecking [menghilangkan hambatan] pabrik polypropylene, untuk lebih meningkatkan skala ekonomi perusahaan," jelasnya.
Pada periode tersebut, laba bersih atau bottom line anak usaha dari Barito Pacific ini malah lebih buruk karena terperosok lebih dalam dengan mencatatkan koreksi 76,36% year-on-year (YoY) menjadi US$ 17,27 juta atau setara Rp 246,64 miliar.
Padahal pada periode yang sama tahun lalu, keuntungan yang dikantongi perusahaan bisa mencapai US$ 73,04 juta atau setara 1,04 triliun.
Jika ditelisik lebih lanjut, laba bersih perusahaan tertekan dikarenakan rasio biaya bahan baku terhadap pendapatan tercatat lebih tinggi, dan terdapat peningkatan pada pos beban keuangan dan bagian rugi bersih dari entitas asosiasi.
Sepanjang kuartal I-2019, biaya bahan baku TPIA mencapai US$ 377,82 juta atau setara 68,24% dari total pemasukan. Padahal pada periode yang sama tahun lalu proporsi biaya bahan baku hanya 56,41%. Bertambahnya porsi biaya bahan baku otomatis menekan ruang pergerakan margin laba kotor perusahaan.
Sementara itu, keuntungan perusahaan semakin ditekan dengan pos beban keuangan yang naik 19,22% YoY menjadi US$ 17,13 juta, serta rugi bersih entitas asosiasi yang melebar lebih dari 4 kali lipat (308,65% YoY) ke level US$ 8,5 juta.
Dengan demikian, di akhir periode kuartal pertama tahun ini, margin bersih yang mampu ditorehkan perusahaan hanya 3,13% dari sebelumnya 10,51% di kuartal I-2018.
Di lain pihak, dari sisi neraca, jumlah aset per 31 Maret 2019 turun 4,18% QoQ menjadi US$ 3,04 miliar dari US$ 3,17 miliar pada akhir Desember tahun lalu.
Total utang obligasi Chandra Asri hingga kuartal I 2019 tercatat sebesar US$ 25,37 juta atau setara Rp 353,43 miliar.
(hps/hps) Next Article Bos Chandra Asri Borong Saham TPIA 400 Ribu Lembar
Most Popular