
5 Bulan Prajogo Sudah Lepas Rp 2,59 T Saham Barito Pacific
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
12 April 2019 17:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Nama, Prajogo Pangsetu sedang hangat diperbincangkan oleh pelaku pasar karena keputusannya untuk menjual 350 juta unit saham PT Barito Pacific Tbk (BRPT) senilai Rp 1,22 triliun.
Ini merupakan penjualan kedua dalam kurun waktu lima bulan terakhir. Pada Desember lalu, Prajogo juga menyampaikan penjualan sahamnya senilai Rp 1,37 triliun.
Artinya dalam kurun waktu tersebut, Prajogo sudah melepas kepemilikan saham Barito Pacific senilai Rp 2,59 triliun.
Jika bicara Prajogo tidak pernah bisa terlepas dari Barito Pacific, yang dulu merupakan perusahaan pengolahan kayu yang kemudian bermertamorfosis menjadi perusahaan induk untuk perusahaan kimia dan energi.
Bagaimana sih sepak terjangnya?
Prajogo Pangestu adalah pebisnis tanah air yang masuk ke dalam daftar 10 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes tahun 2019.
Forbes memperkirakan kekayaan Prajogo menyentuh US$ 4,8 miliar atau setara Rp 68,16 triliun (kurs Rp 14.200/US$).
Pria yang tahun ini genap berusia 74 tahun, pertama kali bekerja sebagai sopir angkut di Kalimantan pada 1960-an yang akhirnya mempertemukan dirinya dengan pengusaha kayu asal Malaysia, bernama Bong Sun On, atau Burhan Uray. Pertemuan itulah yang kemudian mengubah nasibnya.
Prajogo memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan milik Burhan, PT Djajanti Group, di tahun 1969, yang pada kala itu merupakan perusahaan kayu terbesar di Indonesia.
Terkesan dengan kerja keras yang dilakukannya, tujuh tahun kemudian, Burhan pun mengangkat Prajogo menjadi general manager (GM) di pabrik Plywood Nusantara, Gresik, Jawa Timur.
Namun, tidak lama menjabat sebagai GM, Prajogo memutuskan untuk keluar dan membangun usahanya sendiri, dengan mengambil alih CV Pacific Lumber Coy yang kala itu mengalami kesulitan keuangan.
Namam perusahaan kemudian berganti menjadi PT Barito Pacific Lumber dan didaftarkan menjadi perusahaan public di tahun 1993.
Sepanjang perjalanan, dirinya terus melakukan ekspansi usaha yang artinya mengurangi porsi bisnis kayu. Alhasil di tahun 2007, Prajogo merubah kembali nama perusahaannya menjadi PT Barito Pacific Tbk.
Di tahun yang sama, BRPT mengakuisisi 70% saham perusahaan petrokimia, PT Chandra Asri Tbk. Lalu setahun kemudian, mengakuisisi PT Tri Polyta Indonesia Tbk. Dimana keduanya kemudian digabung menjadi produsen petrokimia terintegrasi terbesar di Indonesia dengan nama PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA).
Di tahun 2015, TPIA bekerja sama dengan perusahaan ban asal Perancis, Michelin, untuk mengembangkan pabrik karet sintetis di Indonesia.
BRPT kembali melebarkan sayapnya dengan mengakuisisi Star Energy Group Holding Pte Ltd di tahun 2018. Perusahaan tersebut memiliki usaha pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Hingga hari ini bisnis Barito Group berkembang luas di bidang perkayuan, petrokimia, minyak sawit mentah, hingga properti.
(dwa/hps) Next Article Barito Pacific Dapat Utang Rp 2,9 T dari Barclays dan DBS
Ini merupakan penjualan kedua dalam kurun waktu lima bulan terakhir. Pada Desember lalu, Prajogo juga menyampaikan penjualan sahamnya senilai Rp 1,37 triliun.
Artinya dalam kurun waktu tersebut, Prajogo sudah melepas kepemilikan saham Barito Pacific senilai Rp 2,59 triliun.
Jika bicara Prajogo tidak pernah bisa terlepas dari Barito Pacific, yang dulu merupakan perusahaan pengolahan kayu yang kemudian bermertamorfosis menjadi perusahaan induk untuk perusahaan kimia dan energi.
Prajogo Pangestu adalah pebisnis tanah air yang masuk ke dalam daftar 10 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes tahun 2019.
Forbes memperkirakan kekayaan Prajogo menyentuh US$ 4,8 miliar atau setara Rp 68,16 triliun (kurs Rp 14.200/US$).
Pria yang tahun ini genap berusia 74 tahun, pertama kali bekerja sebagai sopir angkut di Kalimantan pada 1960-an yang akhirnya mempertemukan dirinya dengan pengusaha kayu asal Malaysia, bernama Bong Sun On, atau Burhan Uray. Pertemuan itulah yang kemudian mengubah nasibnya.
Prajogo memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan milik Burhan, PT Djajanti Group, di tahun 1969, yang pada kala itu merupakan perusahaan kayu terbesar di Indonesia.
Terkesan dengan kerja keras yang dilakukannya, tujuh tahun kemudian, Burhan pun mengangkat Prajogo menjadi general manager (GM) di pabrik Plywood Nusantara, Gresik, Jawa Timur.
Namun, tidak lama menjabat sebagai GM, Prajogo memutuskan untuk keluar dan membangun usahanya sendiri, dengan mengambil alih CV Pacific Lumber Coy yang kala itu mengalami kesulitan keuangan.
Namam perusahaan kemudian berganti menjadi PT Barito Pacific Lumber dan didaftarkan menjadi perusahaan public di tahun 1993.
Sepanjang perjalanan, dirinya terus melakukan ekspansi usaha yang artinya mengurangi porsi bisnis kayu. Alhasil di tahun 2007, Prajogo merubah kembali nama perusahaannya menjadi PT Barito Pacific Tbk.
Di tahun yang sama, BRPT mengakuisisi 70% saham perusahaan petrokimia, PT Chandra Asri Tbk. Lalu setahun kemudian, mengakuisisi PT Tri Polyta Indonesia Tbk. Dimana keduanya kemudian digabung menjadi produsen petrokimia terintegrasi terbesar di Indonesia dengan nama PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA).
Di tahun 2015, TPIA bekerja sama dengan perusahaan ban asal Perancis, Michelin, untuk mengembangkan pabrik karet sintetis di Indonesia.
BRPT kembali melebarkan sayapnya dengan mengakuisisi Star Energy Group Holding Pte Ltd di tahun 2018. Perusahaan tersebut memiliki usaha pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Hingga hari ini bisnis Barito Group berkembang luas di bidang perkayuan, petrokimia, minyak sawit mentah, hingga properti.
(dwa/hps) Next Article Barito Pacific Dapat Utang Rp 2,9 T dari Barclays dan DBS
Most Popular