Naas! KIJA Pengelola KIK Ternama yang Tak Bisa Bayar Utang
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
08 July 2019 14:58

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) hari ini (8/7/2019) mengumumkan bahwa perusahaan memilki resiko gagal bayar dalam waktu dekat atas surat utang (notes) senior dengan total nilai US$ 300 juta atau setara Rp 4,26 triliun (kurs Rp 14.200/US$).
Surat utang tersebut (guaranteed senior notes 2023) diterbitkan oleh anak usaha perusahaan yang berdomisili di Singapura, Jababeka International BV (JIBV), yang dirilis pada tahun 2016 dan 2017.
Kondisi ini sungguh sangat tidak diduga oleh pelaku pasar. Hal ini dikarenakan resiko gagal bayar muncul hanya dikarenakan perubahan susunan anggota direksi dan dewan komisaris.
KIJA sejatinya merupakan perusahaan pengembang kawasan industri terbuka pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1989, dan menjadi perusahaan publik pada 1994.
Bisnis utama perusahaan menawarkan dan meningkatkan pembangunan kawasan komersial dan residensial, termasuk layanan infrastruktur dan jasa manajemen real estat yang akhirnya dapat menciptakan kota berbasis industri yang mandiri.
Salah satu kawasan industri yang berhasil dikembangkan perusahaan adalah kota Jababeka dengan luas lahan mencapai 5.600 hektar.
Perusahaan juga mulai mengembangkan kota terpadu lainnya sejak tahun 1991 di wilayah Tanjung Lesung (Banten) dengan luas lahan 1.500 hektar melalui anak perusahaannya PT Banten West Java.
Tahun lalu, kawasan terpadu di Tanjung Lesung terkena bencana tsunami, namun perusahaan mengaku dampak dari musibah tersebut tidak terlalu besar (secara finansial), meskipun memang memakan banyak korban jiwa.
KIJA juga bekerja sama perusahaan milik pemerintah Singapura, Sembawang Corp, untuk mengembangkan kawasan baru seluas 2.700 hektar di kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Dana yang didapat dari penerbitan guaranteed senior notes 2023 salah satunya digunakan untuk membiayai pembangunan kawasan terpadu di Kendal.
Lebih lanjut, total utang perusahaan memang tumbuh pesat dalam beberapa tahun belakangan. Di tahun 2011, total liabilitas KIJA hanya 2,09 triliun, sedangkan per akhir Maret 2019 total kewajiban melesat 177,73% menjadi Rp 5,82 triliun.
Nah, belakangan perseroan mulai terlilit masalah karena ada risiko gagal bayar atas surat utang (notes) senior yang diterbitkan anak perusahaan, Jababeka International BV (JIBV)
Berdasarkan keterangan yang disampaikan melalui keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), perubahan susunan anggota direksi dan dewan komisaris perusahaan, mengakibatkan perusahaan harus melakukan buyback (pembelian kembali) dengan harga pembelian 101% dari nilai pokok notes sebesar US$ 300 juta atau setara Rp 4,26 triliun (kurs Rp 14.200/US$). Nilai ini belum termasuk kewajiban bunga yang harus dibayarkan.
Risiko itu terlihat dari total arus kas dan setara kas perusahaan yang per Maret 2019 hanya berjumlah Rp 873,89 miliar rupiah. Kas ini pun sejatinya merupakan kumulasi kas dari pencatatan sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada kuartal I-2019, KIJA membukukan penurunan dalam kas hingga Rp 4,98 miliar.
Dengan nilai kewajiban yang harus dibayar mencapai Rp 4,26 triliun, selain kas tentunya perusahaan harus mencari alternatif lain.
Namun, pilihan yang paling memungkinkan untuk memenuhi buyback tersebut adalah dengan mengurangi kepemilikan lahan (land back), baik tanah untuk pengembangan maupun properti investasi yang dimiliki KIJA.
Akan tetapi, penjualan aset tersebut akan membawa masalah baru dengan pihak eksternal lain, seperti pengguna ruko di kawasan industri yang dikelola perusahaan. Belum lagi masalah dengan investor yang sudah menggelontorkan dana untuk proyek di tanah pengembangan, yang mayoritas terletak di daerah Cikarang dan Pandeglang, Jawa Barat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Laba Jababeka di 2019 Capai Rp 119 M, Saham Terjerembab 54%
Surat utang tersebut (guaranteed senior notes 2023) diterbitkan oleh anak usaha perusahaan yang berdomisili di Singapura, Jababeka International BV (JIBV), yang dirilis pada tahun 2016 dan 2017.
Kondisi ini sungguh sangat tidak diduga oleh pelaku pasar. Hal ini dikarenakan resiko gagal bayar muncul hanya dikarenakan perubahan susunan anggota direksi dan dewan komisaris.
KIJA sejatinya merupakan perusahaan pengembang kawasan industri terbuka pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1989, dan menjadi perusahaan publik pada 1994.
Salah satu kawasan industri yang berhasil dikembangkan perusahaan adalah kota Jababeka dengan luas lahan mencapai 5.600 hektar.
Perusahaan juga mulai mengembangkan kota terpadu lainnya sejak tahun 1991 di wilayah Tanjung Lesung (Banten) dengan luas lahan 1.500 hektar melalui anak perusahaannya PT Banten West Java.
Tahun lalu, kawasan terpadu di Tanjung Lesung terkena bencana tsunami, namun perusahaan mengaku dampak dari musibah tersebut tidak terlalu besar (secara finansial), meskipun memang memakan banyak korban jiwa.
KIJA juga bekerja sama perusahaan milik pemerintah Singapura, Sembawang Corp, untuk mengembangkan kawasan baru seluas 2.700 hektar di kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Dana yang didapat dari penerbitan guaranteed senior notes 2023 salah satunya digunakan untuk membiayai pembangunan kawasan terpadu di Kendal.
Lebih lanjut, total utang perusahaan memang tumbuh pesat dalam beberapa tahun belakangan. Di tahun 2011, total liabilitas KIJA hanya 2,09 triliun, sedangkan per akhir Maret 2019 total kewajiban melesat 177,73% menjadi Rp 5,82 triliun.
Nah, belakangan perseroan mulai terlilit masalah karena ada risiko gagal bayar atas surat utang (notes) senior yang diterbitkan anak perusahaan, Jababeka International BV (JIBV)
Berdasarkan keterangan yang disampaikan melalui keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), perubahan susunan anggota direksi dan dewan komisaris perusahaan, mengakibatkan perusahaan harus melakukan buyback (pembelian kembali) dengan harga pembelian 101% dari nilai pokok notes sebesar US$ 300 juta atau setara Rp 4,26 triliun (kurs Rp 14.200/US$). Nilai ini belum termasuk kewajiban bunga yang harus dibayarkan.
Risiko itu terlihat dari total arus kas dan setara kas perusahaan yang per Maret 2019 hanya berjumlah Rp 873,89 miliar rupiah. Kas ini pun sejatinya merupakan kumulasi kas dari pencatatan sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada kuartal I-2019, KIJA membukukan penurunan dalam kas hingga Rp 4,98 miliar.
Dengan nilai kewajiban yang harus dibayar mencapai Rp 4,26 triliun, selain kas tentunya perusahaan harus mencari alternatif lain.
Namun, pilihan yang paling memungkinkan untuk memenuhi buyback tersebut adalah dengan mengurangi kepemilikan lahan (land back), baik tanah untuk pengembangan maupun properti investasi yang dimiliki KIJA.
Akan tetapi, penjualan aset tersebut akan membawa masalah baru dengan pihak eksternal lain, seperti pengguna ruko di kawasan industri yang dikelola perusahaan. Belum lagi masalah dengan investor yang sudah menggelontorkan dana untuk proyek di tanah pengembangan, yang mayoritas terletak di daerah Cikarang dan Pandeglang, Jawa Barat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Laba Jababeka di 2019 Capai Rp 119 M, Saham Terjerembab 54%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular