
Ulasan Semester I-2019
Deretan Sentimen yang Bikin Harga Minyak Amblas di Q2-2019
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
05 July 2019 13:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia tercatat mengalami penurunan sepanjang kuartal II-2019. Minyak jenis Brent untuk patokan pasar Eropa dan Asia amblas 5,34%, sementara light sweet (WTI) untuk pasar Amerika turun 2,78% pada periode April-Juni 2019.
Kinerja harga minyak global juga tercatat berbalik arah dari kuartal sebelumnya, di mana Brent dan WTI mampu melesat masing-masing sebesar 27,12% dan 32,44% sepanjang kuartal I-2019.
Berikut beberapa faktor yang menyebabkan harga minyak mengalami penurunan sepanjang kuartal II-2019.
'Bensin' dari OPEC+ Mulai Habis
Seperti yang telah diketahui, pada awal Desember 2018 silam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya telah sepakat untuk memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari sepanjang periode Januari-Juni 2019.
Sejauh ini, OPEC+ (OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia) patuh pada kesepakatan tersebut. Itulah faktor utama yang mengangkat harga minyak hingga lebih dari 27% sepanjang kuartal I-2019.
Namun masuk kuartal II-2019, sentimen positif tersebut tidak mampu membawa harga minyak untuk terus menanjak. Diduga pelaku pasar sudah menemukan keseimbangan pasar yang baru.
Toh pasokan dari OPEC+ tidak semakin dikurangi. Artinya dari sisi pasokan, OPEC+ tidak menambah energi positif pada harga minyak. Alhasil, harga minyak mulai rentan berfluktuasi secara liar kala ada sentimen-sentimen negatif yang datang.
Eskalasi Perang Dagang AS-China
Salah satu sentimen yang datang secara mengejutkan adalah keputusan Presiden AS, Donald Trump untuk menaikkan bea impor produk China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10). Keputusan tersebut mulai berlaku pada 13 Mei 2019. Padahal sebelumnya, proses negosiasi dagang yang panjang telah dilakukan oleh pihak AS dan China.
Delegasi perdagangan AS telah berkali-kali terbang ke Beijing untuk melakukan dialog tatap muka dengan negosiator China. Tidak jarang pula tim negosiator China bertandang ke Washington untuk melakukan agenda serupa.
Bahkan hingga awal Mei 2019, aura negosiasi sudah sangat positif. Bahkan kala itu sebuah draft kesepakatan dagang dikabarkan telah selesai dibuat dan siap untuk ditandatangani dalam waktu dekat.
Namun apa daya. Pada awal Mei 2019 Trump tiba-tiba menuding China telah menarik komitmen dari beberapa poin kesepakatan yang telah dirundingkan sebelumnya. Atas tudingan tersebut, Trump lantas meloloskan aturan tarif baru.
Reaksi China sudah dapat ditebak, yaitu membalas dengan bea impor juga. Pemerintah China mulai 1 Juni 2019 memberlakukan bea impor tambahan antara 5-25% pada produk AS senilai US$ 60 miliar. Dengan begitu, 'derajat' perang dagang AS-China meningkat dari yang sebelumnya pada level tarif 10% menjadi 25%.
Alhasil pelaku pasar makin dibayangi 'hantu' perlambatan ekonomi global. Rantai pasokan seluruh dunia tentu akan semakin terhambat, mengingat yang sedang berseteru adalah dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi.
Parahnya lagi, pertumbuhan ekonomi seringkali bergerak searah degan pertumbuhan permintaan energi, termasuk minyak bumi. Kala ekonomi makin melambat, pertumbuhan permintaan energi pun kian lesu.
Proyeksi Pertumbuhan Permintaan Dipangkas
Benar saja, tidak lama kemudian sentimen negatif selanjutnya pun datang. Tidak tanggung-tanggung, tiga lembaga pemantau fundamental (pasokan-permintaan) minyak di pasar global dengan kompak menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak tahun 2019.
Tiga lembaga tersebut adalah US Energy Information Administration (EIA), Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), dan International Energy Agencu (IEA), yang mana masing-masing menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan tahun 2019 sebesar 160.000 barel/hari, 70.000 barel/hari, dan 100.000 barel/hari.
Alhasil, pelaku pasar makin khawatir akan terjadinya banjir pasokan yang dapat membebani harga minyak ke depan.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Kinerja harga minyak global juga tercatat berbalik arah dari kuartal sebelumnya, di mana Brent dan WTI mampu melesat masing-masing sebesar 27,12% dan 32,44% sepanjang kuartal I-2019.
Berikut beberapa faktor yang menyebabkan harga minyak mengalami penurunan sepanjang kuartal II-2019.
'Bensin' dari OPEC+ Mulai Habis
Seperti yang telah diketahui, pada awal Desember 2018 silam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya telah sepakat untuk memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari sepanjang periode Januari-Juni 2019.
Sejauh ini, OPEC+ (OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia) patuh pada kesepakatan tersebut. Itulah faktor utama yang mengangkat harga minyak hingga lebih dari 27% sepanjang kuartal I-2019.
Namun masuk kuartal II-2019, sentimen positif tersebut tidak mampu membawa harga minyak untuk terus menanjak. Diduga pelaku pasar sudah menemukan keseimbangan pasar yang baru.
Toh pasokan dari OPEC+ tidak semakin dikurangi. Artinya dari sisi pasokan, OPEC+ tidak menambah energi positif pada harga minyak. Alhasil, harga minyak mulai rentan berfluktuasi secara liar kala ada sentimen-sentimen negatif yang datang.
![]() |
Eskalasi Perang Dagang AS-China
Salah satu sentimen yang datang secara mengejutkan adalah keputusan Presiden AS, Donald Trump untuk menaikkan bea impor produk China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10). Keputusan tersebut mulai berlaku pada 13 Mei 2019. Padahal sebelumnya, proses negosiasi dagang yang panjang telah dilakukan oleh pihak AS dan China.
Delegasi perdagangan AS telah berkali-kali terbang ke Beijing untuk melakukan dialog tatap muka dengan negosiator China. Tidak jarang pula tim negosiator China bertandang ke Washington untuk melakukan agenda serupa.
![]() |
Bahkan hingga awal Mei 2019, aura negosiasi sudah sangat positif. Bahkan kala itu sebuah draft kesepakatan dagang dikabarkan telah selesai dibuat dan siap untuk ditandatangani dalam waktu dekat.
Namun apa daya. Pada awal Mei 2019 Trump tiba-tiba menuding China telah menarik komitmen dari beberapa poin kesepakatan yang telah dirundingkan sebelumnya. Atas tudingan tersebut, Trump lantas meloloskan aturan tarif baru.
Reaksi China sudah dapat ditebak, yaitu membalas dengan bea impor juga. Pemerintah China mulai 1 Juni 2019 memberlakukan bea impor tambahan antara 5-25% pada produk AS senilai US$ 60 miliar. Dengan begitu, 'derajat' perang dagang AS-China meningkat dari yang sebelumnya pada level tarif 10% menjadi 25%.
Alhasil pelaku pasar makin dibayangi 'hantu' perlambatan ekonomi global. Rantai pasokan seluruh dunia tentu akan semakin terhambat, mengingat yang sedang berseteru adalah dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi.
Parahnya lagi, pertumbuhan ekonomi seringkali bergerak searah degan pertumbuhan permintaan energi, termasuk minyak bumi. Kala ekonomi makin melambat, pertumbuhan permintaan energi pun kian lesu.
Proyeksi Pertumbuhan Permintaan Dipangkas
Benar saja, tidak lama kemudian sentimen negatif selanjutnya pun datang. Tidak tanggung-tanggung, tiga lembaga pemantau fundamental (pasokan-permintaan) minyak di pasar global dengan kompak menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak tahun 2019.
Tiga lembaga tersebut adalah US Energy Information Administration (EIA), Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), dan International Energy Agencu (IEA), yang mana masing-masing menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan tahun 2019 sebesar 160.000 barel/hari, 70.000 barel/hari, dan 100.000 barel/hari.
Alhasil, pelaku pasar makin khawatir akan terjadinya banjir pasokan yang dapat membebani harga minyak ke depan.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular