Duh, Nampaknya IHSG Akan Akhiri Pekan di Zona Merah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 June 2019 12:15
Duh, Nampaknya IHSG Akan Akhiri Pekan di Zona Merah
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) nampaknya akan menutup pekan di zona merah. Walaupun dibuka menguat 0,12%, IHSG terjebak di zona merah pada tengah hari. Per akhir sesi 1, IHSG melemah 0,71% ke level 6.290,46.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Astra International Tbk/ASII (-2,96%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-2,11%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-1,49%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,59%), dan PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (-3,72%).


Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham kawasan Asia yang juga ditransaksikan melemah: indeks Nikkei turun 0,72%, indeks Hang Seng turun 0,26%, indeks Straits Times turun 0,2%, dan indeks Kospi turun 0,24%.

Angin segar yang dibawa oleh bank sentral AS nampak sudah tak ampuh dalam mengerek kinerja bursa saham utama kawasan Asia. Maklum, penguatan yang dibukukan pada perdagangan kemarin, Kamis (20/6/2019), sudah signifikan sehingga aksi ambil untung dilakukan pada hari ini. Alhasil, IHSG juga menjadi sulit untuk menguat walau sudah terkoreksi dalam dua hari perdagangan sebelumnya.

Pada perdagangan kemarin, indeks Nikkei ditutup naik 0,6%, indeks Shanghai naik 2,38%, indeks Hang Seng naik 1,23%, indeks Straits Times naik 0,8%, dan indeks Kospi naik 0,31%.


Sebagai informasi, pada Rabu (19/6/2019) waktu setempat atau Kamis (20/6/2019) dini hari waktu Indonesia, The Federal Reserve mengumumkan bahwa tingkat suku bunga acuan dipertahankan di level 2,25%-2,5%.

Namun, The Fed memberi sinyal yang kuat bahwa akan ada pemangkasan dalam waktu dekat. Dalam konferensi pers usai rapat, Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa prospek perekonomian AS pada dasarnya masih bagus, akan tetapi ada risiko yang semakin meningkat seperti friksi dagang AS dengan sejumlah negara yang membuat investasi melambat. Selain itu, ada pula risiko perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang dan investasi AS.

"Pertanyaannya adalah, apakah risiko-risiko ini akan membebani prospek perekonomian? Kami akan bertindak jika dibutuhkan, termasuk kalau memungkinkan, menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga ekspansi (ekonomi)," tuturnya, mengutip Reuters.


Selain karena aksi ambil untung, bursa saham utama kawasan Asia juga diterpa aksi jual seiring dengan rilis data ekonomi Jepang yang mengecewakan. Pada hari ini, tingkat inflasi periode Mei 2019 diumumkan sebesar sebesar 0,7% secara tahunan. Walaupun sesuai dengan konsensus, namun nilainya melandai dari capaian periode April 2019 yang sebesar 0,9%

Untuk inflasi inti periode yang sama, nilainya diumumkan di level 0,8% secara tahunan. Walaupun menyamai konsensus, tapi lagi-lagi nilainya lebih rendah dibandingkan capaian periode April 2019 yang sebesar 0,9%.

Kemudian, pembacaan awal atas data Manufacturing PMI periode Juni 2019 diumumkan di level 49,5, lebih rendah ketimbang konsensus yang sebesar 50. Sebagai informasi, angka di bawah 50 menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur mengalami kontraksi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Mengingat posisi Jepang selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar ketiga di dunia, tentunya tekanan terhadap perekonomian Jepang akan berdampak negatif bagi perekonomian negara-negara lain.

BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA

Dari dalam negeri, pelaku pasar terus merespons negatif hasil pertemuan Bank Indonesia (BI). Sebagai informasi, BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu dan berakhir kemarin.

Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.



Sejatinya, keputusan ini sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang juga memperkirakan bahwa tingkat suku bunga acuan belum akan diutak-atik dalam pertemuan bulan ini. Dari 11 ekonom yang kami survei, sebanyak 4 di antaranya memproyeksikan pemangkasan sebesar 25 bps, sementara sisanya memandang bahwa 7-Day Reverse Repo Rate masih akan ditahan di level 6%.

Namun, hal yang paling ditunggu pelaku pasar adalah kisi-kisi dari BI terkait dengan peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan ke depannya. Pasalnya, seperti yang sudah disebutkan di atas, The Fed sudah mengindikasikan bahwa tingkat suku bunga acuan bisa dipangkas nantinya.

Sayang, ternyata BI masih ragu dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.

“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).



Memang, ada stimulus yang diberikan oleh bank sentral. BI memutuskan untuk menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) untuk bank umum menjadi 6%, dari yang sebelumnya 6,5%. Sementara itu, GWM untuk bank syariah juga dipangkas sebesar 50 bps menjadi 4,5%, dari yang sebelumnya 5%.

Penurunan ini akan efektif berlaku pada 1 Juli 2019 dan disebut oleh BI akan menambah likuiditas perbankan senilai Rp 25 triliun.

“Rp 25 triliun ini kita akan nambah ke bank dan salurkan untuk kredit dan nambah perekonomian,” kata Perry.



Agaknya, pelonggaran rasio GWM tersebut dianggap belum akan cukup kuat untuk mendongkrak laju perekonomian Indonesia, mengingat di sisi lain peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan masih terbilang kecil.

Alhasil, aksi jual terus dilakukan oleh pelaku pasar saham tanah air.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular