Rupiah Menguat Tajam, Asing Malah Hindari Pasar Saham RI

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 June 2019 11:07
Rupiah Menguat Tajam, Asing Malah Hindari Pasar Saham RI
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah terkoreksi selama 2 hari beruntun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih saja kesulitan pada Jumat (21/6) hari ini.

Walaupun dibuka menguat 0,12%, dengan cepat indeks acuan bursa saham Indonesia tersebut berbalik arah ke zona merah. Pada pukul 11.00 WIB, IHSG ditransaksikan melemah 0,58% ke level 6.299.

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham kawasan Asia yang juga ditransaksikan melemah: indeks Nikkei turun 0,22%, indeks Hang Seng turun 0,09%, indeks Straits Times turun 0,02%, dan indeks Kospi terkoreksi 0,08%.

Investor asing menjadi tokoh penting dibalik sulitnya IHSG keluar dari tekanan. Pada pukul 11.00 WIB, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 73 miliar di pasar saham tanah air (pasar reguler).

Saham-saham yang banyak dilepas investor asing pada hari ini di antaranya: PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGAS (Rp 25,9 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 21,3 miliar), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (Rp 16,8 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 15,4 miliar), dan PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (Rp 8,6 miliar).


Sejatinya, kinerja rupiah sangat-sangat mendukung bagi investor asing untuk masuk ke pasar saham. Hingga berita ini diturunkan, rupiah menguat 0,49% di pasar spot ke level Rp 14.110/dolar AS. Penguatan sebesar 0,49% tersebut dibukukan rupiah kala kemarin (20/6/2019) sudah terjadi penguatan sebesar 0,6%.

Kala rupiah menguat dengan signifikan, investor asing berpotensi terhindar dari yang namanya kerugian kurs sehingga aksi beli menjadi bisa dilakukan di bursa saham tanah air.

Rupiah menguat dengan signifikan merespons hasil pertemuan Bank Indonesia (BI). Sebagai informasi, BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu (19/6/2019) dan berakhir kemarin. Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.


Keputusan ini sesuai dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang juga memperkirakan bahwa tingkat suku bunga acuan belum akan diutak-atik dalam pertemuan bulan ini. Dari 11 ekonom yang kami survei, sebanyak 4 di antaranya memproyeksikan pemangkasan sebesar 25 bps, sementara sisanya memandang bahwa 7-Day Reverse Repo Rate masih akan ditahan di level 6%.

Namun, hal yang paling ditunggu pelaku pasar adalah kisi-kisi dari BI terkait dengan peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan ke depannya. Pasalnya, seperti yang sudah disebutkan di atas, The Fed sudah mengindikasikan bahwa tingkat suku bunga acuan bisa dipangkas nantinya.

Ternyata, ternyata BI masih ragu dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.

"...sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga," kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).

Dengan adanya kemungkinan bahwa tingkat suku bunga acuan belum akan dipangkas dalam beberapa waktu ke depan, praktis mata uang Garuda memiliki amunisi untuk menguat. Hal ini lantaran bank sentral negara-negara besar sudah mengindikasikan adanya normalisasi dalam waktu dekat.

Selain The Fed, pernyataan bernada dovish juga sudah diutarakan oleh European Central Bank (ECB) selaku bank sentral negara-negara zona euro dan Bank of Japan (BoJ) selaku bank sentral Jepang.

LANJUT KE HALAMAN 2>>

Walaupun hasil pertemuan Bank Indonesia terbukti membawa dampak positif bagi rupiah, namun beda cerita jika berbicara mengenai pasar saham.

Pasalnya, dengan menipisnya optimisme bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas, perekonomian Indonesia diproyeksikan akan terus lesu.

Memang, kalau dilihat dari kacamata perekonomian, Indonesia memerlukan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Perekonomian Indonesia saat ini sedang loyo, tak mampu tumbuh sesuai target, baik itu target dari para ekonom maupun target dari pemerintah sendiri.


Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.

Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.

Beralih ke tahun 2019, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.

Sejatinya, ada stimulus yang diberikan oleh bank sentral. Selepas menggelar pertemuan selama dua hari pada bulan ini, BI memutuskan untuk menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) untuk bank umum menjadi 6%, dari yang sebelumnya 6,5%. Sementara itu, GWM untuk bank syariah juga dipangkas sebesar 50 bps menjadi 4,5%, dari yang sebelumnya 5%.

Penurunan ini akan efektif berlaku pada 1 Juli 2019 dan disebut oleh BI akan menambah likuiditas perbankan senilai Rp 25 triliun.

“Rp 25 triliun ini kita akan nambah ke bank dan salurkan untuk kredit dan nambah perekonomian,” kata Perry.

Agaknya, pelonggaran rasio GWM tersebut dianggap belum akan cukup kuat untuk mendongkrak laju perekonomian Indonesia, mengingat di sisi lain peluang pemangkasan tingkat suku bunga acuan masih terbilang kecil.

Alhasil, aksi jual dilakukan oleh investor asing di pasar saham tanah air.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular