
Arah Suku Bunga
Ribut-ribut Suku Bunga Acuan BI, Mana yang Pas untuk Bank?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 June 2019 07:20

Kini, mari berhenti sejenak dari memproyeksikan keputusan BI esok hari. Baik tingkat suku bunga acuan dipertahankan atau pun dipangkas, mari coba menganalisis dampaknya terhadap sektor usaha yang sangat berkaitan dengan tingkat suku bunga acuan, yakni perbankan.
Jika berbicara mengenai perbankan, tentu salah satu hal yang harus dilihat adalah dari sisi penyaluran kredit. Terkait penyaluran kredit, tahun 2019 terbilang lebih oke dari tahun 2018.
Hingga Maret 2019, melansir publikasi Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dipublikasikan oleh OJK, penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank tercatat Rp 5.085,3 triliun, naik 11,7% dibandingkan dengan nilai pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang capaian Maret 2018 yakni sebesar 8,6% (YoY).
Namun kencangnya penyaluran kredit ini tak dibarengi oleh kenaikan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK). Per Maret 2019, DPK bank umum konvensional tercatat Rp 5.410,2 triliun, naik 7,2% jika dibandingkan dengan nilai pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih rendah ketimbang capaian Maret 2018 sebesar 7,3% YoY.
Akibatnya, likuiditas pun menjadi ketat. Masih melansir publikasi SPI, rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau Loan to Deposit Ratio (LDR) naik menjadi 94% pada Maret 2019, dari yang sebelumnya 90,2% pada Maret 2018.
Karena likuiditas ketat, mau tak mau suku bunga simpanan yang ditawarkan bank harus menarik. Apalagi, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah berada di level yang tinggi dalam beberapa waktu terakhir sehingga secara tak langsung bank berhadapan dengan pemerintah dalam upayanya untuk menyerap dana masyarakat.
Alhasil, margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) perbankan menipis. Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, bank bisa mendapat keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama. Pada Maret 2018, NIM bank umum konvensional berada di level 5,07%. Per Maret 2019, nilainya sudah ambruk menjadi 4,86% saja.
Jadi, opsi mana yang paling baik untuk perbankan? Menurut kami, pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi opsi yang paling baik untuk bank-bank di Tanah Air, dengan catatan bahwa AS-China bisa segera meneken kesepakatan dagang atau setidaknya membangun negosiasi yang konstruktif.
Kenapa ada catatan tersebut? Alasannya, ketika AS-China meneken kesepakatan dagang atau setidaknya membangun negosiasi yang konstruktif, yield obligasi pemerintah yang selama ini terkerek naik merespons perang dagang AS-China bisa melandai.
Jika kondisi itu tercipta, dan ditambah dengan pemangkasan suku bunga acuan, maka yield bisa turun lebih dalam lagi. Dengan turunnya yield obligasi pemerintah, perbankan bisa memotong tingkat suku bunga deposito.
Di sisi lain, tingkat suku bunga kredit rasanya tak perlu dipangkas karena semenjak BI mengerek BI 7-Day Repo Rate sebesar 175 bps sejak Mei 2018, tingkat suku bunga kredit justru cenderung turun.
Per April 2018, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja dan konsumsi (denominasi rupiah) masing-masing tercatat sebesar 10,57% dan 12,4%. Per Maret 2019, nilainya turun menjadi masing-masing sebesar 10,54% dan 11,64%.
Sementara itu, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk investasi (denominasi rupiah) naik tipis menjadi 10,34% pada Maret 2019, dari 10,3% pada April 2018.
Kombinasi antara penurunan tingkat suku bunga deposito dan dipertahankannya tingkat suku bunga kredit akan membuat NIM perbankan kembali naik, sembari mempertahankan penyaluran kredit tetap deras.
Namun jika BI repo rate turun tanpa diimbangi penyelesaian perang dagang AS-China, yield obligasi akan terus berada di level yang relatif tinggi dan terus membuat likuiditas ketat.
Sementara itu, kalau skenarionya justru tingkat suku bunga acuan dipertahankan sementara perang dagang AS-China memanas, yield obligasi berpotensi terkerek naik dan terus memperparah kondisi likuiditas perbankan, kecuali perbankan rela mengerek naik tingkat suku bunga deposito yang pada akhirnya lagi-lagi akan menggerus NIM.
Jadi sekali lagi, opsi terbaik bagi bankir Tanah Air adalah BI memangkas tingkat suku bunga acuan, dengan catatan bahwa perang dagang AS-China mendingin.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm)
Jika berbicara mengenai perbankan, tentu salah satu hal yang harus dilihat adalah dari sisi penyaluran kredit. Terkait penyaluran kredit, tahun 2019 terbilang lebih oke dari tahun 2018.
Hingga Maret 2019, melansir publikasi Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dipublikasikan oleh OJK, penyaluran kredit bank umum konvensional kepada pihak ketiga non-bank tercatat Rp 5.085,3 triliun, naik 11,7% dibandingkan dengan nilai pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut lebih baik ketimbang capaian Maret 2018 yakni sebesar 8,6% (YoY).
Akibatnya, likuiditas pun menjadi ketat. Masih melansir publikasi SPI, rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau Loan to Deposit Ratio (LDR) naik menjadi 94% pada Maret 2019, dari yang sebelumnya 90,2% pada Maret 2018.
Karena likuiditas ketat, mau tak mau suku bunga simpanan yang ditawarkan bank harus menarik. Apalagi, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah berada di level yang tinggi dalam beberapa waktu terakhir sehingga secara tak langsung bank berhadapan dengan pemerintah dalam upayanya untuk menyerap dana masyarakat.
Alhasil, margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) perbankan menipis. Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, bank bisa mendapat keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama. Pada Maret 2018, NIM bank umum konvensional berada di level 5,07%. Per Maret 2019, nilainya sudah ambruk menjadi 4,86% saja.
Jadi, opsi mana yang paling baik untuk perbankan? Menurut kami, pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi opsi yang paling baik untuk bank-bank di Tanah Air, dengan catatan bahwa AS-China bisa segera meneken kesepakatan dagang atau setidaknya membangun negosiasi yang konstruktif.
Kenapa ada catatan tersebut? Alasannya, ketika AS-China meneken kesepakatan dagang atau setidaknya membangun negosiasi yang konstruktif, yield obligasi pemerintah yang selama ini terkerek naik merespons perang dagang AS-China bisa melandai.
Jika kondisi itu tercipta, dan ditambah dengan pemangkasan suku bunga acuan, maka yield bisa turun lebih dalam lagi. Dengan turunnya yield obligasi pemerintah, perbankan bisa memotong tingkat suku bunga deposito.
Di sisi lain, tingkat suku bunga kredit rasanya tak perlu dipangkas karena semenjak BI mengerek BI 7-Day Repo Rate sebesar 175 bps sejak Mei 2018, tingkat suku bunga kredit justru cenderung turun.
Per April 2018, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja dan konsumsi (denominasi rupiah) masing-masing tercatat sebesar 10,57% dan 12,4%. Per Maret 2019, nilainya turun menjadi masing-masing sebesar 10,54% dan 11,64%.
Sementara itu, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk investasi (denominasi rupiah) naik tipis menjadi 10,34% pada Maret 2019, dari 10,3% pada April 2018.
Kombinasi antara penurunan tingkat suku bunga deposito dan dipertahankannya tingkat suku bunga kredit akan membuat NIM perbankan kembali naik, sembari mempertahankan penyaluran kredit tetap deras.
Namun jika BI repo rate turun tanpa diimbangi penyelesaian perang dagang AS-China, yield obligasi akan terus berada di level yang relatif tinggi dan terus membuat likuiditas ketat.
Sementara itu, kalau skenarionya justru tingkat suku bunga acuan dipertahankan sementara perang dagang AS-China memanas, yield obligasi berpotensi terkerek naik dan terus memperparah kondisi likuiditas perbankan, kecuali perbankan rela mengerek naik tingkat suku bunga deposito yang pada akhirnya lagi-lagi akan menggerus NIM.
Jadi sekali lagi, opsi terbaik bagi bankir Tanah Air adalah BI memangkas tingkat suku bunga acuan, dengan catatan bahwa perang dagang AS-China mendingin.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/prm)
Pages
Most Popular