
Arah Suku Bunga
Ribut-ribut Suku Bunga Acuan BI, Mana yang Pas untuk Bank?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 June 2019 07:20

Walaupun AS dan Eropa sudah bersIkap dovish, sikap Bank Indonesia (BI) hingga saat ini belum jelas. Belum ada kejelasan terkait dengan arah kebijakan suku bunga bank sentral ke depannya. Pada Kamis (20/6/2019), BI dijadwalkan merilis angka tingkat suku bunga acuan terbarunya.
Sebagai informasi, sikap dovish dari The Fed dan ECB sudah membuka ruang bagi bank sentral negara-negara tetangga untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Malaysia misalnya, pada bulan lalu Bank Negara Malaysia (BNM) memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke 3%, menandai pemangkasan pertama sejak tahun 2016 silam.
Beralih ke Australia, The Reserve Bank of Australia (RBA) pada awal bulan ini memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 1,25%, menandai pelonggaran pertama dalam nyaris 3 tahun. Teranyar, Reserve Bank of India (RBI) yang merupakan bank sentral India memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 5,75%.
Memang, kalau dilihat dari kacamata perekonomian, Indonesia memerlukan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Perekonomian Indonesia saat ini tak mampu tumbuh sesuai target, baik target para ekonom maupun target pemerintah sendiri.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Beralih ke tahun 2019, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Sejumlah pejabat negara pun sudah menyuarakan wacana agar Perry Warjiyo (Gubernur BI) dan kolega mempertimbangkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan, di antaranya adalah Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"Pada saat kondisinya berubah di negara negara maju, termasuk direction kebijakan moneter dan adanya tanda-tanda pelemahan ekonomi, saya rasa BI juga akan melakukan adjustment atau penyesuaian dari stance monetary policy-nya. Bagaimana BI akan melakukan, saya tentu hormati BI karena mereka akan menggunakan policy suku bunga dan makroprudensial," kata Sri Mulyani.
Namun, ada faktor yang membuat langkah BI menjadi sulit dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, yakni defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD). Transaksi berjalan merupakan salah satu komponen pembentuk Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), di mana NPI itu sendiri menggambarkan arus devisa yang masuk dan keluar dari Indonesia.
Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan komponen pembentuk NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Pada tahun 2018, CAD Indonesia tercatat sebesar 2,98% dari PDB. Data teranyar, CAD periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.
CAD Indonesia jauh lebih dalam jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Bahkan, Thailand & Malaysia justru bisa membukukan surplus transaksi berjalan.
Guna mencegah pelemahan rupiah, salah satu caranya adalah menahan tingkat suku bunga acuan di level yang relatif tinggi. Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Perry. Dirinya menyebut bahwa NPI menjadi faktor yang menjadi pertimbangan bank sentral kala ingin memangkas tingkat suku bunga acuan.
"Jika mempertimbangkan inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi, maka ruang suku bunga turun itu ada. Namun masalahnya perlu dilihat kondisi global dan neraca pembayaran," kata Perry.
NEXT
(ank/prm)
Sebagai informasi, sikap dovish dari The Fed dan ECB sudah membuka ruang bagi bank sentral negara-negara tetangga untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Malaysia misalnya, pada bulan lalu Bank Negara Malaysia (BNM) memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke 3%, menandai pemangkasan pertama sejak tahun 2016 silam.
Beralih ke Australia, The Reserve Bank of Australia (RBA) pada awal bulan ini memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 1,25%, menandai pelonggaran pertama dalam nyaris 3 tahun. Teranyar, Reserve Bank of India (RBI) yang merupakan bank sentral India memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 5,75%.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Beralih ke tahun 2019, pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.
Sejumlah pejabat negara pun sudah menyuarakan wacana agar Perry Warjiyo (Gubernur BI) dan kolega mempertimbangkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan, di antaranya adalah Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"Pada saat kondisinya berubah di negara negara maju, termasuk direction kebijakan moneter dan adanya tanda-tanda pelemahan ekonomi, saya rasa BI juga akan melakukan adjustment atau penyesuaian dari stance monetary policy-nya. Bagaimana BI akan melakukan, saya tentu hormati BI karena mereka akan menggunakan policy suku bunga dan makroprudensial," kata Sri Mulyani.
Namun, ada faktor yang membuat langkah BI menjadi sulit dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, yakni defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD). Transaksi berjalan merupakan salah satu komponen pembentuk Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), di mana NPI itu sendiri menggambarkan arus devisa yang masuk dan keluar dari Indonesia.
Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi finansial (yang merupakan komponen pembentuk NPI lainnya) yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Pada tahun 2018, CAD Indonesia tercatat sebesar 2,98% dari PDB. Data teranyar, CAD periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.
CAD Indonesia jauh lebih dalam jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Bahkan, Thailand & Malaysia justru bisa membukukan surplus transaksi berjalan.
Guna mencegah pelemahan rupiah, salah satu caranya adalah menahan tingkat suku bunga acuan di level yang relatif tinggi. Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Perry. Dirinya menyebut bahwa NPI menjadi faktor yang menjadi pertimbangan bank sentral kala ingin memangkas tingkat suku bunga acuan.
"Jika mempertimbangkan inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi, maka ruang suku bunga turun itu ada. Namun masalahnya perlu dilihat kondisi global dan neraca pembayaran," kata Perry.
NEXT
(ank/prm)
Next Page
Cocok Mana Untuk Perbankan?
Pages
Most Popular